Oleh: Rahmadi Fajar Himawan, Mahasiswa Sosiologi, Universitas Indonesia.
Diskusi buku Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubis diselenggarakan pada Selasa, 27 Maret 2018 di perpustakaan Rujak Center for Urban Studies, Cikini, Jakarta Pusat. Acara ini merupakan bentuk kerjasama Rujak Center for Urban Studies dengan penerbit Komunitas Bambu dalam rangka program literasi yang memperkenalkan narasi tentang kota. Diskusi yang berlangsung dari pukul 18:00–19:30 WIB tersebut menghadirkan J.J. Rizal (pendiri penerbitan Komunitas Bambu) sebagai pembicara dan Elisa Sutanudjaja (Direktur Rujak Center for Urban Studies) sebagai Pembicara diskusi.
Jakarta 1950-1970 pada awalnya diterbitkan secara terpisah. Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja dan Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa diterbitkan pada 2008. Buku ketiga adalah Jakart 1970-an: Kenangan Sebagai Dosen yang diterbitkan pada 2010. Ketiga buku tersebut kini disatukan dalam Jakarta 1950-1970 yang diterbitkan pada Maret, 2018. Buku tersebut telah dimodifikasi sehingga dapat menyasar pembaca dari golongan ‘milenial.’
Menurut J.J. Rizal keunggulan dari buku karya Firman Lubis dibandingkan buku lainnya yang menceritakan sejarah Jakarta adalah sudut pandang penulis dalam memberi ruang terhadap wong cilik sebagai subjek naskah sejarahnya. J.J. Rizal mengenang bagaimana Jakarta 1950-1970 pada awalnya merupakan naskah setebal bantal yang dibawa Firman Lubis kepada Komunitas Bambu dan diperkenalkan sebagai karya otobiografi.
Pada saat itu, Firman Lubis menyatakan bahwa tulisan miliknya banyak merekam kenangan tentang Jakarta sejak dirinya masih remaja. Karya Firman Lubis juga dikatakan ‘unik’ karena sejarah Jakarta versi Firman Lubis tidak bersumber dari data-data arsip sebagaimana lazimnya penulisan sejarah. Hal ini senada dengan corak buku terbitan Komunitas Bambu.“Kita ingin mendapatkan cerita yang tidak ada dalam arsip,” jelas J.J. Rizal.
Firman Lubis, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pernah menjalani pergaulan intens dengan para sosiolog dan antropolog dan saat itulah Firman mulai menekuni pokok analisis sosial-historis dari bidanganya sebagai dokter dalam memahami kota. Pergaulan tersebut didapatkannya ketika dirinya terlibat dalam proyek pemberdayaan dukun beranak sekaligus sosialisasi program KB (Keluarga Berencana) di Serpong pada 1970’an. Sejak itu, menurut J.J. Rizal, Firman memahami bahwa sejarah atau pun aspek sosial penting untuk memahami kota.
“pengalaman yang tidak ada dalam catatan resmi pemerintah atau pun arsip penguasa pada saat itu, Firman menyuarakan suara dari lingkungan di mana dia hidup dan berada berdasarkan perspektif yang sungguh menantang yaitu perspektif rakyat,” jelas J.J. Rizal. Menurut J.J Rizal bahwa banyak fenomena-fenomena di masyarakat yang terjadi tanpa difasilitasi oleh negara. Lebih lanjut, J.J. Rizal menjelaskan, jika mayoritas buku-buku sejarah tentang Jakarta menceritakan Jakarta sebagai ibukota negara berikut dinamika pembangunan dan politik yang sifatnya narasi makro, Firman Lubis menyajikan narasi yang tidak pernah diceritakan oleh narasi besar tersebut dalam melihat kota dan entitasnya.
“Dalam Jakarta 1950-1970, Firman Lubis banyak menarasikan peristiwa-peristiwa di kalangan wong cilik.” J.J. Rizal pun mencontohkan bagaimana Firman Lubis berkisah etika pacaran di kalangan masyarakat berstatus sosial rendah, tatacara berpacaran pasangan-pasangan berbeda etnis, ataupun penggusuran kampung di Jakarta pada periode 1950-1960’an yang dianggap ‘lebih manusiawi.’ “Atau cerita bagaimana Masjid Istiqlal dibangun… kampung ‘mana yang memberikan pasirnya… dari daerah mana saja para pekerjanya,” tutur J.J. Rizal.
Salah satu bagian menarik dari buku tersebut, menurut J.J. Rizal, adalah bab mengenai perkampungan di Jakarta. Firman Lubis bercerita bagaimana kampung mulai dimusuhi sejak periode oil boom di tahun 1970’an dan mulai tercipta segmentasi yang jelas antara orang kampung dan orang gedongan. Cerita dalam bab tersebut juga dialami oleh Firman Lubis sebagai orang ‘Babe’ (Batak-Betawi) dari golongan kelas menengah yang bermukim di sekitar Menteng, Jakarta Pusat.
Menurut Firman Lubis, sebelum 1950’an, kampung menjadi ranah penyatuan berbagai golongan masyarakat berbeda etnis ataupun berbeda kewarganegaraan. “Orang bule pun tinggal di kampung,” jelas J.J. Rizal, mengutip dari buku Firman Lubis. Kondisi penyatuan antar golongan tersebut berubah ketika kebijakan nasionalisasi perusahaan asing diberlakukan di Indonesia pada 1950’an dan menyebabkan terjadinya migrasi besar-besaran masyarakat berkewarganegaraan asing dari Indonesia ke negara asalnya. Pada periode oil boom di tahun 1970’an itu, orang bule kembali bermukim di Indonesia namun perilakunya berubah. “Mereka justru membuat ‘kampung’ baru, seperti yang terjadi di Kemang,” jelas J.J. Rizal, mengutip buku Firman Lubis.
Narasi-narasi seperti itulah yang menurut J.J. Rizal menjadi keunggulan Jakarta 1950-1970 karya Firman Lubis ini. “Sejarah-sejarah oral ini hanya ada dalam memori, tidak ada dalam arsip-arsip atau data hasil penggalian para historian,” tandasnya.
Menurut Elisa Sutanudjaja bahwa, Sebenarnya dalam buku Firman Lubis, narasi kampung tahun 1970-an telah menunjukan jurang kemiskinan semakin besar antara kampung yang dianggap informal dan wilayah yang dianggap formal, semakin kemari memang kita melihat tiga atau empat tahun belakangan, narasi kampung yang berkembang juga tidak lebih buruk, bahwa kampung dianggap penyebab banjir, tukang colong tanah Negara dan sebagainya.
Kelamahan dalam buku Firman Lubis menurut J.J. Rizal, Firman Lubis juga terbawa semangat zaman. “Ada kebanggaan dia sebagai ‘anak UI’ yang ikut mendirikan Orba (Orde Baru),” jelas J.J. Rizal. Kebanggaan tersebut termaktub pada beberapa bab dalam buku. J.J. Rizal mengaku bahwa bagian tersebut sesungguhnya dapat dipotong karena penjelasan dalam bab-bab tersebut tergolong ‘pengetahuan umum’ yang telah diketahui masyarakat. Bab-bab tersebut dipertahankan atas dasar penghormatan terhadap Firman Lubis: sebelum meninggal, Firman Lubis berwasiat agar beberapa bab yang dimaksud oleh J.J. Rizal jangan dipotong dari buku.
Elisa Sutanudjaya menyatakan bahwa buku tersebut memulihkan nama baik terhadap perkampungan di Jakarta. Elisa menambahkan bahwa narasi yang telah ada sebelumnya menempelkan citra yang buruk terhadap kampung. Penerbitan Jakarta 1950-1970 dapat dipandang sebagai usaha mengpopulerkan kembali kampung kepada generasi milenial. “Tapi jangan sampai kita terjebak romantisme,” ujar Elisa sebelum diskusi diakhiri.
Pingback: Bedah Buku Firman Lubis: Jakarta 1950-1970 - Komunitas Bambu