Budaya Guyub dan Budaya Mudik Selama Pandemi

Budaya kolektif masyarakat Indonesia terhadap pandemi membawa dilema tersendiri dalam pencegahan persebaran COVID-19, khususnya terhadap berbagai implementasi kebijakan yang memperketat aturan berkumpul dan bermobilitas. Saat ini, budaya guyub dan budaya mudik menjadi tantangan yang dianggap mempersulit implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah. Namun, sesi Sekolah Urbanis kali ini mencoba lebih banyak kembali kepada esensi dari budaya itu sendiri hingga kaitannya dengan transformasi pemaknaan mudik/pulang kampung sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia dan adaptasinya terhadap pandemi.

Menurut Raphaella Dewantari[1], budaya mencakup banyak hal, termasuk artefak, institusi, pendidikan, agama, hingga hobi di waktu luang. Mengutip dari Milner, wilayah budaya dibedakan dari wilayah ekonomi dan cakupan politik. Untuk memahami budaya guyub, penting untuk diingat agar kita berdiri dalam lingkup ilmu, dimana dalam ilmu tersebut tidak membedakan (no judgement) antara baik atau buruknya suatu budaya. Kemudian yang penting untuk diingat adalah bagaimana budaya ini dimaknai, diproduksi dan diterima oleh masyarakat. Masih menurut Milner, perkembangan budaya bukanlah sesuatu yang sifatnya given (‘dari sononya’), melainkan seiring berjalannya waktu, ada usaha untuk memproduksi budaya tersebut. Jika dibawa ke konteks budaya guyub/kongkow/gotong royong, maka sebetulnya budaya ini merupakan hasil dari kebiasaan yang diproduksi di masa lampau hingga dimaknai oleh kebiasaan masyarakat sampai sekarang ini.

Dalam kajian ilmu Sosiologi, terdapat beberapa pedekatan yang digunakan sebagai basis dalam melihat fenomena sosial. Yang pertama adalah pendekatan struktural fungsionalis. Pendekatan ini melihat tingkah laku anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kolektif yang keseimbangannya dapat tercapai jika fungsi dalam anggota masyarakat dapat terwujud. Yang kedua adalah pendekatan konflik sosial, dimana pendekatan ini melihat bagaimana sebuah sistem menguntungkan sebagian pihak dan merugikan yang lain. Yang ketiga adalah pendekatan sosio-biologi. Kacamata sosio-biologi melihat kondisi fisik kelompok tertentu dapat melatari diferensiasi pemaknaan budaya tersendiri. Sebagai contoh dalam konteks pandemi COVID-19, pendekatan yang pertama yaitu struktural fungsionalis melihat peran masyarakat bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan bersama, misalnya dalam memenuhi ketahanan pangan dan sembako. Jika melihat dari pendekatan konflik sosial, maka ada kelompok masyarakat yang melihat pandemi ini dalam bentuk ketimpangan. Misalnya, merasa tidak adil apabila salah satu fasilitas di daerahnya menjadi tempat karantina pasien COVID-19.

Lebih spesifik untuk memahami bagaimana konteks budaya guyub/gotong royong di perkotaan, Emile Durkheim menjelaskan bahwa sistem keguyuban masyarakat perkotaan lahir dari berbagai kompleksitas; populasi yang lebih banyak, pembagian sistem kerja yang lebih rumit, dan sebagainya. Kesadaran ini kemudian disebut Durkheim sebagai solidaritas organik yang membentuk karakter indentitas suatu masyarakat yang intensitasnya bisa berbeda-beda karena terbentuk dari fungsionalitas yang sangat beragam dalam konteks kota/wilayah tersebut. Misalnya, level budaya gotong royong penduduk di Kota Tokyo berbeda dengan tingkat gotong royong masyarakat di Kota Jakarta.

Budaya guyub/gotong royong dapat dilihat dari sudut pandang Cultural Sociology sebagai alat analisis yang mencakup identitas, memori kolektif, klasifikasi sosial dan logika bertindak. Identitas berkaitan dengan representasi karakter individu dan kelompok yang kedua nature-nya dapat dikatakan sama secara tindakan. Kemudian, budaya juga dapat dianalisis melalui memori kolektif, dimana memori kolektif ini banyak termanifestasi sebagai cikal bakal kebangsaan suatu negara dan politik. Contohnya budaya guyub masyakarat Indonesia yang dikenal karena sejarah nenek moyang yang menurunkan budaya tersebut. Berikutnya, dari klasifikasi sosial yaitu bagaimana masyarakat masuk ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Hal ini terkait dengan perspektif konflik sosial bahwa di dalam ada kelompok masyarakat yang saling tarik-menarik antar kepentingan terhadap kesempatan dan akses. Mengerti bahwa ada lapisan-lapisan dari kelompok masyarakat tertentu (yang berpotensi menguasai sumberdaya/termarjinalkan) menjadi penting dalam konteks penanganan pandemi. Melalui pemahaman ini, kita dapat memahami logika dalam menentukan tindakan kelompok masyarakat tersebut, dimana pada dasarnya, logika bertindak ditentukan dari reaksi antara kondisi eksternal yang berinteraksi dengan kondisi internal yang elemen-elemennya tidak selalu konsisten.

Sesi selanjutnya diberikan oleh seorang seniman, Irwan Ahmett[2]. Secara statistik, arus mudik yang dalam fase normal dilakukan oleh 20 juta penduduk pasti akan turun drastis tapi tidak akan sampai 100% menghilangkan tradisi ini. Mudik sebetulnya masih dijalankan oleh beberapa masyarakat yang mengandalkan celah-celah jalur untuk melewati penjagaan. Menurut laporan Mas Iwang dari beberapa teman di Indramayu, mudik di jalur laut khususnya via perahu dapat dilakukan seperti yang dilakukan oleh warga Indramayu. Namun, penjagaan diprediksi akan semakin diperketat menjelang hari raya Lebaran untuk mencegah mata rantai COVID-19.

Mudik/pulang kampung erat kaitannya terhadap pemaknaan mengenai ‘rumah’, dimana rumah adalah suatu hal yang sangat personal bagi masyarakat Indonesia. Salah satu alasan yang paling banyak melatari orang melakukan mudik adalah perasaan ingin kembali/bernostalgia ke rumah asal (dalam artian keluarga dan lingkungan sosialnya) setelah sekian lama bernaung di tempat lain. Namun pemaknaan mudik/pulang kampung sendiri banyak yang sudah tereduksi sekedar menjadi kegiatan rutin tahunan tanpa arti yang mendalam. Misalnya, pulang kampung menjadi ajang pamer kesuksesan terhadap sesama anggota keluarga, hilangnya menghargai privasi dengan bertanya hal-hal yang sifatnya personal (kapan punya anak, kapan nikah), bahkan sampai menghakimi perubahan yang terjadi antara anggota keluarga, seperti perubahan preferensi gaya hidup. Hal ini berkaitan dengan stigma-stigma yang masih dipercayai oleh masyarakat yang dampaknya mempengaruhi interaksi keluarga saat berkumpul pulang kampung. Kualitas pemaknaan interaksi saat pulang kampung perlu didefinisikan ulang mengingat banyak yang konteksnya sudah tidak relevan (bahkan menganggu kenyamanan) untuk dibicarakan.

Kemudian, konteks mudik/pulang kampung saat ini lebih dinilai sebagai escape terhadap pandemi di kota, dimana mudik/pulang kampung tidak lagi menjadi tradisi tahunan, melainkan cenderung sebagai strategi bertahan. Hal ini disebabkan karena kerentanan kota di tengah pandemi lebih signifikan dibandingkan di desa/kampung halaman. Sebagai contoh, masyarakat desa dapat bertahan dengan mengandalkan hasil pertanian sedangkan di kota, segala keperluan mengandalkan daya beli. Lalu, muncul pertanyaan penting; apakah ke depannya ‘kembali ke desa’ akan menjadi pilihan setelah pandemi selesai?

 

[1] Raphaella Dewantari Dwianto adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia. Beliau membawakan sesi Sekolah Urbanis 2020 tentang Budaya Guyub dan Kongkow di Masa Pandemi

[2] Irwan Ahmett, yang akrab disapa Mas Iwang merupakan seorang seniman yang aktif mengangkat isu-isu sosial ke dalam karyanya. Beliau membawakan sesi Budaya Mudik di Masa Pandemi dalam sesi Sekolah Urbanis 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *