Oleh Shanty Syahril
Informasi Sayembara Green Metropolis Jakarta 2050, demikian subyek surel yang saya terima pagi ini (12/11/2012). Ternyata isinya informasi sebuah sayembara perencanaan untuk mencari ide inovatif dan implementatif untuk Jakarta masa depan. Besok, Rabu 13/11/2012 pukul 13:00, akan ada penjelasan tentang sayembara tersebut di Kementerian PU – Ditjen Penataan Ruang Lantai 3, terbuka untuk umum.
Sayembara ini seketika mengingatkan saya atas satu nama, Jaime Lerner. Ia tak cuma dikenang sebagai seorang demonstran yang menjadi salah seorang Walikota Curitiba, ibukota Parana City, sebuah kota di negeri Samba. Tapi, di tangan Lernerlah, pengembangan kota Curitiba berhasil dikerjakan dengan apik secara kreatif dan melibatkan warganya secara aktif.
Lerner, dari demonstran hingga walikota
Sebelum diangkat menjadi walikota, Lerner adalah seorang demonstran. Pada 1961, saat masih menjadi mahasiswa, Lerner bersama mahasiswa lain, pernah mendemo kebijakan walikota Curitiba saat itu. Sebab, sang walikota berencana mengubah pusat kota dengan membangun jalan besar dengan cara memperlebar jalan. Proyek itu akhirnya hanya akan membunuh sejarah dan karakter kota, kata Lerner.
Mengapa Lerner nekat menentang rencana walikotanya? Rupanya, ia dan kawan-kawan punya pemikiran sendiri tentang pengembangan sebuah kota. Menurut Lerner, untuk mengembangkan sebuah kota, dibutuhkan suatu konsep yang dinamis. Bukan konsep statis yang hanya merencanakan peruntukan wilayah dan hirarki jalan, ujarnya.
Di benak Lerner, konsep pengembangan kota yang dipikirkannya adalah sebuah rechargeable city. Maksudnya, kota yang mampu meminimalkan pemborosan dan memaksimalkan penghematan. Dengan konsep ini, asumsi yang menganggap bahwa manusia memiliki sumber daya yang tak terbatas, harus mulai ditinggalkan.
Upaya penentangan Lerner itu berbuah hasil. Walikota menyerah dan akhirnya mengadakan sayembara perancangan master plan Curitiba. Akhirnya didapatkanlah beberapa buah rancangan yang dianggap optimal guna pengembangan kota. Dan, Lerner termasuk salah seorang anggota tim arsitek yang memenangkan sayembara tersebut. Tapi, tidak serta-merta konsep itu dijadikan sebagai rancangan akhir pengembangan. Warga kota pun masih diajak diskusi untuk memperoleh hasil yang paling baik.
Sepuluh tahun setelah melakukan aksi demonstrasi menentang rencana pengembangan kota, Lerner pun akhirnya ditunjuk pemerintah militer Brazil menjadi walikota Curitiba. Maka, dapatlah ia sebuah kesempatan untuk mewujudkan konsep pengembangan kota yang sudah lama mengendap di otaknya. Dan, karena ia sadar akan kondisi perekonomian Brazil yang sedang megap-megap, Lerner harus memikirkan sesuatu yang sederhana, murah, serta melibatkan masyarakat Brazil.
Lantas, mulailah Lerner melaksanakan pengembangan Curitiba. Selain, mencoba menerapkan konsep rechargeable city, ia menghitung seluruh fungsi kota. Mengapa ia melakukan itu. Sebab, menurut Lerner, perkembangan sebuah kota ternyata tidak bisa hanya dilihat dari perkembangan ekonomi. Kota masa depan yang berkualitas berkaitan erat dengan ide rekonsiliasi manusia dengan lingkungannya. Dari penerapan konsep seperti ini, diharapkan akan lahir sebuah kota yang tiap-tiap komponennya bisa saling melengkapi dan menghargai sejarah, warga, serta lingkungannya.
Beberapa ide kecil, murah, dan partisipatif
Tentu Anda kenal Transjakarta, dan barangkali pernah mendengar sistem tersebut diadaptasi dari Kota Bogota. Padahal ide sistem angkutan umum masal berbasis bus, dengan jalur khusus, dan membayar tiket sebelum naik, lahir dari pemikiran Lerner. Dengan biaya hanya 1/8 sistem subway, Curitiba berhasil memiliki sistem angkutan umum masal yang handal.
Lerner juga pernah mendapat perlawanan dari para pemilik toko ketika ia mengusulkan sebuah wilayah komersial menjadi zona pejalan kaki. Sebagai jalan keluar ia menyarankan masa percobaan selama tiga puluh hari. Zona ini sangat populer sehingga para pemilik toko di jalan lainnya justru meminta diterapkan aturan serupa di wilayahnya.
Warga Curitiba diminta memilah sampah, kemudian diangkut oleh truk yang terpisah. Keluarga berpenghasilan rendah di permukiman yang tidak terjangkau oleh truk, diminta membawa kantong sampah mereka ke TPS. Di tempat tersebut mereka dapat menukar sampah dengan tiket bus atau telur, susu, jeruk, dan kentang, yang berasal dari pertanian lokal di sekitar kota. Curitiba berhasil mendaur ulang dua-pertiga dari sampah kota. Inovasi pengelolaan sampah ini membuat kota bersih, petani didukung, dan keluarga berpenghasilan rendah mendapatkan makanan dan akses transportasi.
PKL diatur dan diorganisir berkeliling sebagai kelompok ke area-area permukiman di kota dalam bentuk pasar keliling secara terencana. Yang paling unik adalah pemangkasan rumput di taman kota yang cukup luas dilakukan dengan melepas sekawanan domba. Masih banyak inovasi berbiaya rendan dan melibatkan warga lainnya yang diterapkan di Curitiba.
Bagaimana dengan Jakarta?
Mungkinkah warga Jakarta, yang selama ini sudah gregetan dengan kondisi Jakarta seperti halnya Jaime Lerner dan kawan-kawan 50 tahun yang lampau, berkolaborasi menggagas perencanaan kota yang kreatif, partisipatif, dan lestari untuk menjawab tantangan sayembara ini?
Bukan semata-mata gagasan yang sekedar mengandalkan pembangunan fisik yang menyedot modal kapital, melainkan juga mengoptimalkan kembali modal sosial yang sebenarnya telah lama kita miliki. Sebuah gagasan yang dapat berkembang dan diterima menjadi mimpi kolektif warga Jakarta.
Dalam sebuah wawancara, Lerner sudah buka-bukaan soal resep suksesnya. If you want creativity, cut one zero from your budget. If you want sustainability, cut two zeroes from your budget, ujarnya. Mengintip jajaran dewan juri, terselip juga harapan, semoga mereka semua cukup visioner dan amanah dalam menentukan pemenang. Tapi ketika melihat fitur mitra kerjasama di situs sayembara, timbul pertanyaan “apakah sayembara ini bisa netral?” Terlihat jelas kesempatan ditawarkan kepada pemilik modal, baik produk dan perusahaan, untuk beriklan. Terbayang nantinya akan berjejer produk dan perusahaan di presentasi, backscreen, goody bag, dan wesbite. Tak masuk di akal logika saya yang awam ini, kenapa sayembara yang “inovatif” begini lagi-lagi diwarnai modus cari dana yang “konvensional” :-(.
Sumber tulisan:
Artikel Jonas Rabinovitch dan Josef Leitman
Artikel Donella Meadows
Presentasi dalam TED http://www.ted.com/talks/jaime_lerner_sings_of_the_city.html
Wawancara http://www.asla.org/ContentDetail.aspx?id=30875
Sumber foto: