Distopia di Tempat Salah

MVRDV, The Jerde Partnership dan Arup, ketiganya adalah nama internasional untuk bidang arsitektur, lansekap dan rekayasa. Ketiganya akan bersatu dalam megaproyek arsitektur yang dikhayalkan akan berada di Jalan Palatehan 4, Jakarta Selatan.

Pertama kali melihat bangunan ini, sepertinya cukup bagus. Tetapi apakah cukup bagus untuk Jakarta? Menurut saya tidak.

Image perspective, courtesy of: http://www.dsgnwrld.com/

Bangunan seperti terlepas dari kenyataan. Perspektif diatas tidak memperlihatkan kondisi sekitar Jalan Palatehan, Trunujoyo dan sekitarnya, yang sudah memiliki banyak bangunan seperti Kepolisian, kompleks Kementerian Pekerjaan Umum, dan lain-lain.

Bangunan tersebut akan berdiri di Kebayoran Baru. Ini menjadi sebuah beban yang tak tertanggungkan secara visual, arsitektural dan tata kota bagi Kebayoran Baru khususnya dan Jakarta umumnya. Sebuah unbearable lightness. Bangunan yang nantinya disebut Peruri 88 akan menghancurkan kompleks Peruri yang saat ini adalah bangunan pemugaran dengan Golongan D. Maksud dari Golongan D tersebut adalah bangunan tersebut bisa dibangun ulang dengan mempertahankan semangat dan karakter lingkungan sekitar. Lalu, apakah bangunan diatas memiliki semangat Kebayoran Baru? Kawasan Kebayoran Baru memiliki sejarah panjang tak terpisahkan dengan sejarah moderen tata kota Jakarta. Kebayoran Baru adalah karya perencanaan kota pertama oleh orang Indonesia, yaitu M.Susilo (ayahanda dari Suhartono Susilo, salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia). Untuk suatu desain di kawasan pemugaran, seharusnya mereka memperlihatkan relasi bangunan tersebut dengan konteks bangunan sekitarnya. Mungkin tiga firma ternama tersebut tidak memiliki cukup data dan informasi, tetapi jika benar demikian bukankah hal ini memalukan untuk firma sekelas mereka? Atau jangan-jangan konteks dan nilai sejarah Kebayoran Baru tidak dianggap penting oleh tiga firma tersebut.

Peruri 88 nantinya akan setinggi 400 meter, terdiri atas retail, kantor, hotel mewah, sebuah tempat pernikahan, mesjid, teater imax dan amphitheater. Dan hanya 4 lantai parkir. Entah, berapa tingkat kepadatan yang diharapkan akan ada di bangunan tersebut. Apakah kondisi tersebut diperhitungkan oleh pihak perencana. Berapa banyak air yang dibutuhkan, dimana kota ini masih belum bisa menyelesaikan masalah air bersih.

Mari lihat ketentuan dan rencana Jakarta. Peruntukan Peruri 88 pada rencana detil 2005 dan draft rencana 2030 adalah kawasan pemerintahan nasional dan asing. Peruntukan yang sama untuk bangunan-bangunan kementrian. Dan tentunya itu bukan untuk Teater IMAX. Tanah ini sekarang milik pemerintah, yang seharusnya digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik, malah direncanakan untuk kepentingan komersial.

Berdasarkan ketentuan kota sekarang, kompleks Peruri diarahkan untuk menjadi bangunan 4 lantai dengan satu titik di Utara bisa setinggi 16.

Mungkin nilai estetika dapat diperdebatkan, tetapi ini merupakan pelanggaran yang fundamental terhadap nilai-nilai yang telah disepakati sebelumnya: nilai tata ruang dan pemugaran yang sebagai mana sudah ditetapkan dalam berbagai aturan termasuk Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kebayoran Baru. Apakah dia berhak menjadi preseden lain dari rentetan pelanggaran tata ruang yang kerap sekali terjadi?

 

 

15 thoughts on “Distopia di Tempat Salah

  1. Realrich Sjarief says:

    konteks kebayoran ini yang yang perlu dimasyarakatkan, juga tegaknya peraturan kota. Baiknya tulisan ini bisa disadur ke bahasa inggris untuk kemudian dipublikasikan juga. Terima kasih atas kekritisannya 🙂

  2. Peter YG says:

    Berhala arsitektur. Sebuah menara congkak yg disembah karena tidak ada iman dan keyakinan atas budaya, langgam, ikatan sejarah, dedikasi, dan keberanian memahami jati diri sendiri. Altar sembah kepada tuhan yg lain malah dipakai, daripada jatuh bangun memahami keyakinan atas arsitektur diri.

  3. Vincent V says:

    Apa tidak bisa ditelusuri dan ditinjau lagi izin yang tidak sesuai dgn RDTR ini? Kapan kota ini akan BERHENTI menjadi komersial?

  4. Pingback: Rumah Susun Di atas Ciliwung Usulan Kementerian Perumahan Rakyat « Rujak

  5. Grey says:

    Selain ketidakpekaan 3 konsultan global tsb hrs juga dicermati diskonektifitas informasi dari owner dalam paparan sejarah inisiasi dan keberadaan kawasan Kebayoran Baru. Jika memang benar terjadi ‘kesengajaan’ dlm diskonektifitas atau ‘penutupan’ imformasi ini maka desain harus ditinjau ulang tdk peduli dgn uang yg sdh dikeluarkan – dan jikapun jadi proyek ini dibangun maka bisa jadi ini akan mjd project terburuk sekaligus yg tidak memiliki konteks dgn lingkungan. Memalukannya mereka ketiga konsultan global tadi 🙁

  6. Gemawang says:

    kritik yang menarik dan menyadarkan kita untuk melihat fundamental peraturan kota yang bukan hanya berdebat estetika semata.

    • Tommy Tamtomo says:

      Although “pretty in its drawings” (and looks mighty comphrehensive), i see no local character or DNA or sense of hiostory, being expressed here (other than a creation of a mechanized closed society in an isolated island of ivory tower cocoon which creates a heavy pressure to its surrounding, to perimeter ‘ecological footprint’; let alone the traffic gridlock that it will cause. There is no relation to the supposed ‘genius-loci’ of the “place and space”; to a balanced societal weigh for playing, work, recreation, health, education, spirituality, aquatic architecture; and the ‘down-to-earth-ness’ of the scheme. Not even close to the mechanistic influence, and inspirations derived from the philosophy of Corbusier’s Unite d’habitation or its modern interpretation and developments today.

  7. Rachmat Rhamdhani Fauzi says:

    Pertama lihat project ini pas iseng2 klik newsletter dezeen di inbox email beberapa hari lalu. Tagnya serem “Is Jakarta the new Dubai?”.

    Membaca artikel ini, jawabannya makin jelas Jakarta bukan Dubai. Terlalu banyak masalah terkait daya dukung infrastruktur lingkungan sekitar dan daya dukung kota Jakarta secara keseluruhan yang harus dibenahi dulu sebelum Jakarta bisa dijadikan bahan eksperimen seperti Dubai. Dubai saja yang secara daya dukung sudah dipersiapkan dengan lebih baik dari Jakarta menemui banyak masalah di kemudian hari. Alih-alih menyelesaikan masalah, jangan sampai proyek ini malah menambah masalah. Itu baru bicara masalah daya dukung teknis, belum bioara masalah langgam, culture, estetika, dll…

    Agaknya untuk sebuah proyek raksasa seperti ini, perlu lebih banyak “ahli-ahli pribumi” yang dilibatkan, daripada sekedar tender tertutup yang hanya terbatas untuk arsitek2 internasional (baca: orang asing). Jangan sampai kita terlalu dijajah (dan repotnya lagi, malah bangga dengan hal itu)… Entahlah…

  8. Wido D Soebagjo says:

    My understanding of ‘building classification D’ is that it has no architectural or historical signifance and could be demolished. Correct me if I’m wrong.
    The design looks very disharmonious and very much out of place and context with Kebayoran. Interesting at first but I believe it would soon create an eye sore.

  9. Dito Roso says:

    Setelah Kebayoran Baru “kecolongan” di area Kemang…
    Jangan sampai kecolongan dua kali…
    Adalah sebodoh-bodohya manusia yg bisa “terjerumus dua kali.. bahkan berkali-kali”…
    Kenapa PERURI yg notabene perusahaan milik Negara (Rakyat ?)begitu antusias investasi utk bangunan “Peruri88 yg MENGERIKAN”, ketimbang turut berpartisipasi mempercepat terealisasiya Pengembangan SISTEM TRANSPORTASI ANGKUTAN MASSAL (MRT, LRT, BRT dll)..??? atau investasi untuk Pengembangan Sistem Pengendalian Banjir…????
    Begitu pentingkah Gedung 88 lantai ini dibangun… apa dampak /benefit yg bisa diberikan bagi Rakyat Jakarta..???

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *