Perempuan dan Hak Atas Kota

 

15 Mei 2016, hampir genap 1 bulan pasca penggusuran Pasar Ikan/Aquarium, saya dan Uni Lubis jurnalis senior mengunjungi Kampung Akuarium dan berbincang-bincang dengan korban penggusuran. Kami bertemu dengan Ibu Suharti, Ibu Halimah dan Mbak Musdalifah. Anak perempuan Ibu Suharti, Eka, sedang terbaring sakit karena kekurangan kalium dan tidak bisa berjalan dan bekerja (akhirnya Eka meninggal dunia, akhir tahun 2017 di puing Kampung Akuarium). Ibu Suharti menjelaskan kenapa dia bertahan di lokasi penggusuran karena sekolah anak-anaknya. Ibu Halimah, yang sebelumnya adalah korban penggusuran Waduk Pluit Muara Baru, juga menunjukkan bukti pembelian rumah dan pinjaman bank atas rumahnya di Kampung Akuarium itu. Jika Ibu Halimah menempati bangunan itu secara ilegal, mengapa bank malah memberikan kredit kepadanya.

Penggusuran paksa berdampak besar pada kehidupan perempuan dan anak-anak. Penggusuran paksa tak hanya memiskinkan dan merupakan pelanggaran HAM berat. Solusi tunggal yang saat itu ditawarkan pemerintah juga tidak serta merta menyejahterahkan korban penggusuran. Bahkan Pemprov DKI sendiri sekarang harus berhadapan dengan tunggakan rusunawa yang mencapai 32 Milyar di tahun 2016, dengan penghuni rusunawa adalah sebagian besar korban penggusuran.

Terlepas dari banyak kisah menyedihkan pasca penggusuran, penggusuran paksa juga membawa perubahan terhadap perempuan. Ada banyak perempuan yang alih-alih larut pasrah terhadap kondisi (seperti yang kerap distigmakan terhadap perempuan), mereka bangkit dan justru berjuang memastikan hak atas kota, terutama melalui hak atas hunian layak.

Ibu Dharma Diani, misalnya, korban penggusuran paksa Kampung Akuarium. Berkali-kali saat memulai kisahnya, selalu berujar, “Saya ini cuma Ibu Rumah Tangga, anak 4! Mana kepikir sekarang saya jadi aktivis.” Di hari penggusuran paksa 11 April 2016, Ibu Dharma Diani bersama Mbak Musdalifah dan demikian banyak perempuan berdiri didepan Satpol PP dan aparat polisi dan TNI untuk menghentikan penggusuran paksa. Upaya penolakan penggusuran paksa dilakukan, mulai dari memohon penundaan dengan alasan karena anak-anak hendak menghadapi ujian sekolah, hingga bersujud doa didepan aparat di hari penggusuran. Sejak itu, Ibu Dharma Diani dan Mbak Musdalifah adalah salah dua dari banyak perempuan yang terdepan melakukan advokasi pembangunan kampung Akuarium kembali, mulai dari menjadi pihak penggugat dalam pengadilan hingga bertemu dengan berbagai pihak serta pengorganisasian warga.

Hak Hidup dengan bermartabat termanifestasi dari hak atas hunian layak. Rumah pun tidak bisa dilepaskan dari ruang hidup perempuan. Di saat bersamaan, perempuan yang sudah memiliki anak, semakin dekat memperjuangkan rumahnya, karena rumah pun adalah masa depan bagi anak-anaknya. Karena itu, di dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota Jakarta, ada begitu banyak perempuan aktif memperjuangkan hak atas kota, termasuk diantaranya penolak penggusuran paksa.

Koordinator Jaringan Rakyat Miskin Kota pun adalah seorang perempuan, Ibu Enni namanya. Beliau bersama rekan-rekannya, seperti Ibu Kokom, memimpin srikandi JRMK untuk menagih janji politik Presiden Joko Widodo (yang sudah 2 kali kontrak politik dengan JRMK dan Urban Poor Consortium) didepan Istana Negara. Selama 5 hari, mereka berdiri di depan Istana Negara meminta Joko Widodo untuk memenuhi segenap janjinya, yang sesungguhnya janji-janji itu seharusnya memang dipenuhi dan kewajiban Negara atas pemenuhan Hak Asasi Manusia di bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya.

 

Perempuan sebagai aktivis kota tidak hanya aktif dalam berbagai kegiatan kewargaan dan politik diatas, seperti kontrak politik dan demo. Perempuan-perempuan di Kampung Tongkol, Lodan, Kerapu telah menunjukkan bahwa mereka mendorong perubahan di kampungnya melalui program tabungan bergulir dan program pengurangan sampah. Program tabungan bergulir itu ada yang digunakan untuk membangun Septic Tank komunal hingga membangun dan memperbaiki rumah warga.

Karenanya, mari dalam rangka Hari Perempuan Internasional, mari kita bersama-sama mengapresiasi perjuangan luar biasa para perempuan ini, untuk memastikan hak atas kota dan menjadikan kota-kota Indonesia menjadi lebih humanis.

(Foto oleh JRMK Jakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *