Hari ini kita merayakan Hari Air Dunia. Dan tema pilihan tahun ini adalah Alam untuk Air (Nature for Water) yang mengeksplorasi pendekatan yang menggunakan alam untuk mengatasi tantangan terhadap masalah air yang kita hadapi akhir-akhir ini.
Beberapa hari lalu, sebagian publik Jakarta dikejutkan dengan gambar lautan sampah diatas Teluk Jakarta, tepatnya di muara Kali Adem, Muara Angke. Kerusakan lingkungan pada akhirnya mendorong krisis air, dan itu tidak eksklusif hanya di Jakarta. Kerusakan lingkungan, yang juga terwakili oleh rusaknya vegatasi, tanah, sungai dan danau, serta hutan tersebut juga ditambah dengan perubahan iklim yang akhirnya membawa bencana seperti banjir, kekeringan dan polusi air menjadi lebih parah. Dan tak jarang ketidakpahaman kita juga membawa pada tata kelola dan perlakuan yang salah, yang seakan-akan mengabaikan ekosistem air secara holistik.
Tema kali ini menyatakan dengan lantang: solusinya ADA PADA ALAM. Kita harus lebih banyak lagi melakukan pendekatan lestari sambil menyelaraskan dengan lingkungan terbangun kita sebanyak mungkin. Solusi alam (nature-based solution) misalnya, melakukan reboisasi dan konservasi hutan pada daerah hulu, menghubungkan kembali sungai dengan dataran banjir (flood plain) – dalam hal ini menyambungkan kembali manusia dengan alam, memulihkan lahan basah seperti rawa, payau dan hutan bakau, yang pada intinya akan menyeimbangkan siklus hidrologi secara alami. Solusi berbasis alam ini juga diharapkan mampu meningkatkan kesehatan dan kehidupan manusia, di saat bersamaan juga mampu memitigasi perubahan iklim.
Kembali dan mencari jawaban pada alam bukanlah hal baru, dan sesungguhnya banyak dilakukan berbagai kota dunia. Singapura, misalnya mengubah sungai Kallang yang sudah terbeton di hampir 3 sisinya menjadi natural dan menyatukan hunian sekitar dengan taman. Pada saat hujan besar, taman itu dibiarkan tergenang, untuk kemudian air surut sesuai secara alami.

Dan perubahan sungai berbeton (yang tadinya alami) untuk kembali menjadi alami lagi tidak hanya terjadi di Singapura, tapi sedang dilakukan di Tokyo, Hongkong hingga Sungai Los Angeles yang terkenal lewat film Terminator itu. Serta contoh terkenal lain adalah ketika Walikota Seoul, Lee Myung Bak memutuskan untuk mengembalikan sungai Cheonggyecheon yang saat itu ditutup oleh jalan dan jalan layang menjadi sungai alami.
Sementara kota-kota seperti Sydney dan Melbourne, yang tidak diberkahi curah hujan tinggi, berusaha mengkonservasi air semaksimal mungkin dengan menerapkan konsep yang disebut water sensitive urban design, sejak awal tahun 2000. Banyak proyek-proyek residensial yang terbangun pada masa itu hingga sekarang, berupaya menerapkan siklus hidrologi secara lokal, sambil menerapkan manajemen air lokal. Contoh seperti di Victoria Park, Sydney.

Jika pun ada aliran sungai yang sudah terpolusi tinggi dan kehilangan bentuk alaminya, kita harus tetap mengupayakan pemulihannya dan membantu sungai tersebut memulihkan diri. Salah satu program revitalisasi dan konservasi adalah yang terjadi di Gowanus Canal di New York City. Pada masa tertentu, terutama di musim hujan, sampah tercampur dengan air kotor membuat Gowanus Canal semakin tercemar, seperti foto dibawah ini. Dan yang dilakukan oleh kelompok konservasi bekerja sama dengan pemerintah dan para arsitek lansekap dan warga lokal adalah mengembalikan ekosistemnya sedikit demi sedikit, sambil mencegah pencemaran sungai melalui mekanisme yang mereka sebut Sponge Park.


Dan pendekatan konservasi dan berbasis alam tak hanya diterapkan pada Daerah Aliran Sungai, namun juga pada pesisir dan teluk. Seperti yang terjadi di Chesapeake Bay, yang bahkan berkali-kali lipat lebih besar daripada DAS Ciliwung dan Teluk Jakarta. Pekerjaan tersebut demikian besar, karena meliputi sekitar 500 sungai dan anak-sungai yang melewati 6 Negara Bagian berbeda, serta melewati sekitar 16 juta hektar daratan berupa hutan, lahan perkebunan dan lahan perkotaan.
Pendekatan dan solusi alami sendiri juga mulai diterapkan Cina. Sejak tahun 2015, ada 16 kota yang berkomitmen untuk secara progresif menggunakan ulang air hujan. Pemerintah Cina menyadari bahwa solusi teknis dan berbasis infrastruktur adalah intervensi yang populer, namun kota tidak bisa hanya membuang secepat-cepatnya air ke laut. Untuk mengatasi masalah ini, inisiatif Sponge City di Cina memiliki tujuan yang ambisius: pada tahun 2020, 80% wilayah perkotaan harus menyerap dan menggunakan kembali setidaknya 70% air hujan. Untuk mencapai tujuan itu, pada tahun 2016, Shanghai mengumumkan akan membangun 400.000 taman atap. Sementara kota seperti Xiamen menggunakan material berpori pada ruang publik dan membangun taman air. Hingga akhir tahun 2017, investasi dan anggaran total Sponge City telah mencapai 12 milyar dolar, dimana 15-20% anggaran ditanggung oleh pemerintah pusat.
Lalu bagaimana dengan kota-kota Indonesia?
Sayangnya masih banyak kota-kota Indonesia menawarkan pendekatan yang tidak ekologis, dan hanya bertumpu pada infrastruktur besar. Di Jakarta pendekatan yang ditawarkan pemerintah adalah pendekatan yang justru memperparah keadaan seperti betonisasi sungai Ciliwung dan kanalisasi. Bahkan dalam Rencana Detil Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, pemerintah mewacanakan sodetan besar di Sungai Ciliwung yang mengabaikan bentuk alami sungai. Betonisasi tak hanya ekslusif terjadi pada sungai Ciliwung, juga memutuskan pandangan visual dan relasi manusia dengan sungai lewat tembok setinggi 1.5-2.5 meter. Dan menyedihkannya lagi, betonisasi tersebut membawa bencana kemanusiaan melalui penggusuran paksa, yang terjadi di Kampung Pulo, Bukit Duri, Kampung Kunir, hingga Kampung Rawa.
Sementara di pesisir, masalah yang terjadi kembali berupaya dijawab oleh pemerintah lewat infrastruktur besar, reklamasi dan dinding beton yang tergantung pada sistem pemompaan yang pastinya tidak ramah lingkungan. Sampai hari ini Bappenas masih terus berkutat pada solusi infrastruktur besar yang mengabaikan kondisi alam. Padahal jikapun NCICD dengan tembok laut dan pemompaan yang sangat mahal itu dipaksa dibangun, setidaknya butuh waktu minimal 20 tahun untuk selesai, dengan anggaran diatas 200 Triliun. Sementara konservasi Chesapeake Bay yang memiliki luas jauh lebih besar dari Teluk Jakarta dan minim dampak negatif, butuh waktu yang kurang lebih 20 tahun juga untuk mendapatkan hasil positif.
Pemerintah pusat dan daerah harus mengubah strategi dan pendekatan yang selama ini sedang mereka jalankan. Pendekatan yang sedang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini adalah pendekatan yang sebetulnya sudah terbukti gagal di banyak tempat. Manajemen air ala kanalisasi di Jakarta pun sudah terbukti gagal, bahkan sampai ada buku yang didedikasikan untuk menyorot kegagalan itu. Saat Proyek Strategis Nasional terus ingin membangun hingga 54 bendungan baru, justru satu persatu bendungan dihancurkan, karena ternyata bendungan-bendungan terbukti merusak aliran sungai.
Walau demikian, ada kota-kota Indonesia yang melakukan perubahan. Misalnya Kota Banjarmasin melarang penggunaan plastik dengan tujuan mengurangi sampah plastik yang biasanya berakhir di sungai. Terlepas dari pro-kontra di Jakarta, setidaknya pasca penggantian gubernur, Pemprov DKI Jakarta tetap berupaya menjaga kebersihan badan air. Walau tentunya Daerah Aliran Sungai, dalam hal ini Ciliwung, tidak bisa menjadi tanggung jawab dan beban Pemprov DKI sendiri saja.
Pemerintah daerah dan pusat harus bekerja sama. Daerah Aliran Sungai dan Teluk tidak mengenal batas administratif. Teluk Jakarta terbentang dari Provinsi Banten hingga Jawa Barat. Daerah Aliran Sungai Ciliwung adalah tanggung jawab bersama Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor, Kotamadya Depok hingga Provinsi DKI Jakarta. Penanganan di hilir tidak bisa dan tidak pernah terlepas dari hulu. Masih untung DAS Ciliwung berada dalam 1 pemerintah, sementara Sungai Rhine melewati begitu banyak negara di Eropa sampai 5 negara membentuk konsorsium untuk mengelola bersama secara internasional.
Sebagian besar wilayah Indonesia memang memiliki curah hujan yang tinggi, namun perubahan iklim juga mempengaruhi temperatur dan curah hujan juga, dan pada daerah tertentu mengalami penurunan curah hujan. Jika Indonesia masih terus melakukan cara yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan siklus ekologi, bukannya tidak mungkin dampak perubahan iklim terakselerasi dan membahayakan genarasi berikutnya. Kita harus berubah, bukan hanya demi kita sekarang, tapi juga demi generasi masa depan.