Kapital Berkuasa, Komunitas Merana: Sebuah Refleksi Kegagalan Penataan Kota Dari Toronto

Perkemahan Tunawisma di Toronto, Kanada. | Foto oleh: Fred Victor.

Kanada, negara terbesar kedua di dunia, sering kali dipandang sebagai negara dengan kultur yang unik dan identitas yang kontras dengan tetangganya selatannya yaitu Amerika Serikat. Negara ini menjadi tujuan populer bagi jutaan imigran dikarenakan reputasinya sebagai negara yang inklusif dan maju secara pembangunan sosial. Namun, di balik citra positif ini, Kanada menghadapi masalah besar yang menggerogoti kesejahteraan banyak warganya, yaitu krisis perumahan yang berkepanjangan. Pasar perumahan Kanada saat ini bertengger menjadi salah satu yang paling overvalued (lebih mahal dari nilai intrinsik) di dunia. Harga sewa hunian rata-rata di negara ini 89% lebih tinggi dibandingkan harga wajar, dan harga rumah melampaui 35% dari pendapatan rata-rata masyarakat1. Hal ini berakibat pada ketidakmampuan sebagian besar warga untuk menjangkau perumahan layak, sehingga menciptakan tekanan sosial dan ekonomi yang signifikan di berbagai kota di Kanada.

Toronto, kota terbesar di Kanada, menjadi contoh nyata dari dampak krisis ini. Daerah ini menduduki peringkat kesepuluh sebagai pasar properti termahal di dunia, dengan harga median rumah pada Januari 2024 mencapai Rp11,4 miliar (CAD 1 juta)2. Ironisnya, harga ini bahkan lebih tinggi dibandingkan kota-kota yang lebih padat di Amerika Utara seperti New York dan Miami3. Tingginya biaya perumahan di Kanada memunculkan pertanyaan substantif: bagaimana negara dengan luas lahan yang melimpah bisa menghadapi krisis perumahan yang begitu tinggi? Masalah ini tidak hanya mencerminkan kegagalan dalam menyediakan perumahan yang terjangkau, tetapi juga menyoroti buruknya kebijakan tata kota pemerintah dan distribusi sumber daya yang lebih menguntungkan hanya segelintir pihak.

Konteks Kota di Kanada: Banjir Imigran dan Urbanisasi Tajam
Urbanisasi di Kanada adalah salah satu yang tertinggi di dunia, dengan 81,86% penduduk tinggal di daerah perkotaan4. Fenomena ini semakin dipercepat oleh tingginya angka imigrasi, di mana Kanada menerima sekitar 1,28 juta pendatang setiap tahunnya5. Dari jumlah tersebut, sekitar 470,000 orang merupakan imigran permanen yang memilih untuk menetap jangka panjang6. Sebagian besar pendatang ini menetap di kota-kota pusat ekonomi seperti Toronto, Vancouver, dan Montreal. Meski meningkatkan pertumbuhan ekonomi, lonjakan populasi ini membawa tekanan besar pada sistem perumahan Kanada yang rapuh, mendorong krisis menjadi semakin dalam. Data menunjukan bahwa 35% pembelian rumah baru di Provinsi Ontario berasal dari warga pendatang yang didominasi oleh usia millenial7. Hal ini diperparah oleh akuisisi agresif perumahan oleh Investor yang tercatat membeli lebih dari 20% hunian baru untuk dijadikan komoditas sewa dan bisnis properti8.

Permintaan perumahan yang meningkat akibat urbanisasi besar-besaran tidak diimbangi oleh pembangunan perumahan yang terjangkau (affordable housing). Akibatnya, banyak pendatang, yang sering kali merupakan kelompok termarginalkan, tidak memiliki akses yang memadai ke perumahan layak atau sumber daya ekonomi. Situasi ini memperburuk ketimpangan sosial, dengan banyak imigran terpaksa tinggal di kawasan dengan fasilitas yang minim atau bahkan menghadapi risiko tunawisma. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengimbangi pertumbuhan urbanisasi ini menjadi salah satu faktor kunci di balik krisis perumahan yang meluas di Kanada.

Krisis Perumahan Toronto, Ketimpangan Spasial dan Peningkatan Tunawisma
Krisis perumahan di Toronto bukan hanya menjadi masalah ekonomi, tetapi juga tragedi sosial yang semakin dalam. Tingginya angka imigrasi dan keterbatasan suplai perumahan telah menciptakan kesenjangan yang sulit diatasi. Harga rumah rata-rata di Toronto mencapai 9,5 kali pendapatan median tahunan rumah tangga, menjadikannya salah satu pasar properti paling tidak terjangkau di dunia9. Biaya sewa rata-rata untuk hunian satu kamar kini hampir melampaui Rp28 juta (CAD 2.500) per bulan, membuatnya hampir mustahil diakses oleh pekerja berupah minimum10. Ketika harga properti rata-rata telah melampaui CAD 1 juta sejak 2021, banyak keluarga terpaksa menghadapi pilihan yang tidak adil: terus membayar sewa yang tidak terjangkau, atau kehilangan tempat tinggal mereka.

Dampak dari situasi ini terlihat jelas melalui angka eviksi (pengusiran) yang semakin bertambah. Pada 2018, 5% penyewa di Toronto menghadapi pengusiran karena ketidakmampuan membayar sewa dan terus berkembang sebesar 77% dibandingkan tahun sebelumnya11. Hal ini membuktikan minimnya perlindungan terhadap penyewa, terutama mereka yang tidak memiliki akses terhadap kepemilikan hunian tetap12. Masyarakat yang terdampak ini sering kali terpaksa pindah ke pinggiran kota yang lebih murah, sehingga kehilangan akses terhadap transportasi, pekerjaan, dan layanan publik yang sebelumnya ada di pusat kota. Hal ini menciptakan ketimpangan spasial yang mencolok, sebagaimana diungkapkan oleh penelitian “Three Cities of Toronto”13. Mereka yang kurang beruntung, terutama dari kelompok berpenghasilan rendah dan termarginalkan, akhirnya terperangkap dalam kondisi kehidupan yang lebih tidak manusiawi di pinggiran kota Toronto. 

Lebih dari itu, krisis ini telah memicu peningkatan jumlah tunawisma atau homeless di Toronto, yang kini mencapai 11.000 orang dan tersebar di 202 titik perkemahan14. Tunawisma bukan hanya cerminan kegagalan sistem perumahan, tetapi juga pengabaian terhadap kebutuhan dasar manusia. Ketika kota terus membangun kondominium mewah untuk kelas atas, kebutuhan masyarakat rentan dan ekonomi kelas bawah terpinggirkan. Toronto menjadi bukti nyata bahwa tanpa kebijakan yang inklusif dan terfokus pada kesejahteraan sosial, kota tidak lagi menjadi tempat perlindungan, tetapi medan pertempuran bagi kelompok termarginallkan.

Evolusi Ketimpangan Spasial Toronto Dari Tahun 1970, Kredit Foto: David Hulchanski

Kuasa Kapital Diatas Komunitas: Pengaruh Politik Ekonomi Pengembang
Pengembang properti memiliki pengaruh besar dalam menentukan kebijakan tata kota Toronto, sehingga menjadikan keuntungan komersial sebagai prioritas utama diatas kepentingan publik. Pada pemilu lokal 2018, 34% dana kampanye politik berasal dari sumbangan pengembang, menunjukkan dominasi mereka dalam proses politik15. Akibatnya, pembangunan kota berfokus pada kondominium mewah yang menyasar kelas atas, sementara kebutuhan perumahan terjangkau untuk masyarakat kelas bawah dan menengah diabaikan. Kebijakan ini tidak hanya memperlebar kesenjangan sosial, tetapi juga menciptakan kota yang terfragmentasi, di mana akses terhadap perumahan layak menjadi hak istimewa, bukan kebutuhan universal yang dapat dijangkau setiap penduduk. 

Selain itu, pengembang memanfaatkan kebijakan longgar untuk menjadikan properti sebagai aset spekulatif dan komoditi, bukan hak kehidupan. Komodifikasi ini menyebabkan harga properti melonjak hingga 83% masyarakat Toronto tidak mampu membeli rumah16. Dengan harga rata-rata mencapai Rp11,4 miliar (CAD 1 juta), hanya 1 dari 6 orang yang memiliki daya beli di pasar properti saat ini17. Ketika kota lebih mengutamakan kapital dibanding komunitas, dampaknya adalah semakin tingginya ketimpangan sosial dan hilangnya fungsi kota sebagai ruang inklusif bagi semua warganya. Toronto adalah bukti nyata dari krisis ini, yang menjadi peringatan bagi kota-kota lain untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.


Pelajaran Berharga dan Peluang Reformasi Tata Kota Indonesia

  • Investasi Pada Perumahan Publik atau Perumahan Rakyat: Pemerintah perlu meningkatkan investasi modal dan anggaran operasional terhadap perumahan publik untuk memastikan akses terhadap hunian yang layak bagi kelombok Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)
  • Perencanaan Tata Kota Yang Inklusif: Kebijakan penataan kota harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat luas, bukan hanya keuntungan finansial atau pertumbuhan ekonomi semata. Hal ini dapat dicapai melalui memaksimalkan aktivitas Musrenbang sebelum pembuatan kebijakan tata ruang atau tata kota. 
  • Reformasi Regulasi Untuk Menyeimbangkan Pasar: Perluya adopsi kebijakan seperti pajak hunian kosong untuk menekan spekulasi, komodifikasi perumahan dan menjaga keterjangkauan murah. Kebijakan ini akan menjaga pasokan hunian, sehingga membuat harga lebih terjangkau kepada masyarakat luas
  • Mendorong Pengembangan Non-Market Housing: Indonesia dapat mempromosikan pengembangan perumahan berbasis komunitas atau non-profit sehingga bisa menciptakan sistem perumahan yang adil. Program ini harus dimotori oleh Kementerian Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) sebagai government agency yang berwenang di bidang regulasi perumahan rakyat
  • Diversifikasi Pendanaan Politik: Untuk mengurangi dominasi pengembang properti dalam kebijakan penataan kota dan perumahan, pemerintah harus memberlakukan transparansi penuh dalam pendanaan politik. Hal ini akan membuka lebar akses informasi dan pula peluang pendanaan politik selain dari sektor konstruksi dan properti.

Mendorong Perencanaan Kota Yang Berkadilan
Dominasi kapital atas komunitas di Toronto telah menciptakan ketimpangan yang merusak esensi kota sebagai ruang inklusif dan terbuka untuk semua pihak. Ketika pembangunan hanya diarahkan pada keuntungan finansial, kebutuhan dasar masyarakat seperti akses ke perumahan yang layak akan terabaikan. Toronto menjadi contoh nyata bagaimana kebijakan yang dimotori oleh kepentingan kaum kapitalis dapat memperburuk segregasi spasial, meningkatkan tunawisma, dan merugikan masyarakat marginal. Akibatnya, kota akan kehilangan fungsinya sebagai tempat perlindungan bagi seluruh warganya, terjebak dalam peraihan kapital yang tidak berkeadilan.

Indonesia, sebagai negara dengan urbanisasi yang pesat, harus belajar dari kegagalan Toronto. Reformasi tata kota yang inklusif dan berkeadilan sangatlah penting untuk mencegah terjadinya krisis serupa. Dengan memastikan bahwa kebijakan perumahan memprioritaskan kebutuhan masyarakat, Indonesia dapat menciptakan kota yang berfungsi sebagai ruang hidup bersama, bukan sekadar arena investasi. Pelajaran ini menjadi langkah mendasar untuk menciptakan keadilan sosial bagi masyarakat Nusantara yang semakin urban. Urbanisasi harus menjadi peluang untuk menciptakan kota-kota yang lebih adil, bukan ajang untuk memperlebar kesenjangan sosial.

. . . . .

Toronto Foundation, “Toronto Vital Sign Report 2023.”
Solomon, “Toronto Housing Market | 2024 Home Prices.”
Vega, “Toronto Housing Is Now More Expensive than New York, Real Estate Report Finds.”
Statistic Canada, “Canada Urban Area Population.”
Serebrin, “Statistics Canada Says Population Growth Rate in 2023 Was Highest since 1957.”
Robitaille, “Canada Welcomed 371,550 New Permanent Residents.”
Demarco, “One-Third of New Home in Ontario Purchased by New Canadians.”
Kulkarni, “1 in 5 Properties across Much of Canada Are Owned by Investors. That Makes It Harder for 1st-Time Buyers.”
Toronto Foundation, “Toronto Vital Sign Report 2023.”
10 Campbell, “Toronto Rents Hit Three-Year Low — but Brace for a Swift Comeback.”
11 Harrison and Bowden, “Applications for Personal Use Eviction Are up 77% in Toronto.”
12 Walker and Jeraj, The Rent Trap.
13 CBC News, “Toronto 2025: The Disappearing Three Cities.” CBC News
14 Draaisma, “Number of Tents Set up by Unhoused People Rising, City Data Shows.”
15 Hanrahan, “Daily Hive.”
13 Wong, “Less Than 1 in 6 Torontonian Can Afford to Buy a Home.”
14 TRREB, “Sales and Average Selling Price Increases in October.”

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *