Teks dan foto oleh Fatchy Muhamad (Masyarakat Air Indonesia)
Umumnya dipahami, mengatasi banjir atau genangan adalah dengan cara mengalirkannya, segera, ke sungai atau laut melewati gorong-gorong atau selokan. Cara ini termasuk juga dilakukan pengembang perumahan atau bangunan yang hanya menyiapkan talang atap rumah dan pipa air buangan serta mengarahkan air hujan dan limbah rumah ke selokan.
Genangan atau sebenarnya “banjir lokal” terjadi akibat ruang selokan tak mampu menampung air. Hal ini bisa disebabkan karena jumlah air ke selokan bertambah banyak atau ada banyak kotoran, tanah, dan sampah yang menumpuk serta menghambat laju aliran.
Tetapi sebenarnya, semua air yang dibuang lewat “drainase horizontal” hanya akan menambah volume air di selokan yang berujung ke sungai dan berakhir di muara pantai utara Jakarta. Akibatnya bisa dibayangkan tatkala rob atau air laut pasang, maka banjir akan menggenangi wilayah dekat pantai.
Gagasan drainase horizontal Jakarta dimulai ketika rencana Prof H. Van Breen dijalankan di abad 19 dengan dibangunnya Kanal Banjir Barat. Di balik tujuan untuk menggeser aliran sungai ke luar kota Batavia, telah disadari adanya potensi banjir akibat alih fungsi lahan hutan menjadi perkebunan teh di daerah Bogor dan Puncak .
Kemudian, dari zaman ke zaman penduduk bertambah dan pemukiman menjamur di daerah aliran sungai Ciliwung hingga Jakarta. Ruang terbuka hijau berkurang drastis. Penyerapan air hujan menjadi air tanah berkurang banyak, akibat nya muka air tanah makin lama makin jauh dari permukaan tanah dan masyarakat mengganti pompa dengan kapasitas yang lebih besar dan lebih dalam.
Pengambilan air tanah terjadi terus menerus dan bertambah besar sejalan dengan meningkatnya konsumsi air, sementara pasokan air ke dalam bumi berkurang. Permukaan aspal, beton, bangunan melimpaskan air hujan begitu saja. Daerah aliran sungai tak lagi menyerap air hujan.
Secara umum, siklus air di bumi relatif tak berubah, pun volumenya. Air menguap ke udara, menumpuk sebagai awan, turun ke bumi menjadi hujan. Yang berubah ialah, ketika tiba di bumi, air tak banyak lagi terserap ke dalam tanah, tetapi melimpas ke permukaan.
Dalam musim hujan, mengatasi banjir dengan memperbesar saluran atau drainase horizontal memang efektif. Tetapi, cara tersebut hanya memindahkan banjir di daerah hulu ke arah hilir atau ke daerah dengan permukaan yang lebih rendah dan pada akhirnya menuju ke laut. Persoalan terkait air juga muncul pada musim kemarau di mana Jakarta kekurangan air baku sampai 10 m3/ dt. Lalu apa yang harus dilakukan?
Konservasi Total sebagai Solusi Jakarta
Dalam jangka pendek cara tersebut memadai, karena masyarakat butuh tindakan segera. Namun, kita juga butuh pemecahan jangka menengah dan panjang guna memecahkan masalah banjir Jakarta, sekaligus mengatasi krisis air di Jakarta.
Jawabannya adalah melalui ” konservasi total” .
Dengan Konservasi Total ditargetkan:
Mengurangi ancaman banjir meskipun terjadi curah hujan sebesar 73 mm/ 2 jam atau 73 liter/m2/2 jam.
(Sebagai catatan, saat ini Jakarta banjir meski curah hujan baru 40 mm/2 jam atau 40 lietr/m2 /2 jam ).
Keadaan banjir Jakarta terjadi akibat tingkat penyerapan air ke dalam tanah antara 5% sampai dengan 25%. Artinya, persentase air yang melimpas atau terbuang antara 75% sampai dengan 95%.
Oleh sebab itu dengan aksi Konservasi Total diarahkan supaya:
1. Penyerapan air hujan ke dalam tanah kembali ke keadaan ideal atau mendekati angka semula, antara 75% sampai dengan 95%.
2. Limpasan atau buangan air diturunkan ke angka 5% sampai dengan 25%.
Solusi Jakarta kita
Siapa sajakah yang musti terlibat dalam aksi Konservasi Total ? Kalau hanya Pemerintah DKI saja mungkin akan terbatas. Perlu kerja bersama seluruh pihak yang berkepentingan. Terutama peran serta segenap warga masyarakat.
Enam (6) agenda aksi Konservasi Total ) :
- Penghijauan dan pembuatan sumur resapan (untuk daerah Jakarta selatan kapasitas serap 5,5 m3 / jam s/d 20 m3/jam ) di sepanjang tepi dan median jalan.
- Penghijauan dan pembuatan sumur resapan di masing-masing rumah warga menengah atas di Jakarta.
- Pembuatan sumur resapan dalam (kapasitas serap 12 m3/jam s/d 18 m3/jam ) di setiap bangunan bertingkat tinggi: kantor, hotel, apartemen dan lainnya.
- Pembuatan biopori ( kapasitas serap < 0,1 m3 / jam ) di kawasan pemukiman padat yang masih memiliki halaman.
- Memanen air hujan dan disimpan dalam storage / basement (rain harvesting ) untuk daerah peresapan yang kecil, contoh Jakarta Pusat dan Jakarta Utara.
- Pembuatan waduk resapan di Jakarta Selatan dan selatan Jakarta, selain bermanfaat untuk meredam banjir juga sekaligus tempat cadangan air di musim kemarau.
Bila sasaran aksi Konservasi Total tercapai, maka tidak saja ancaman banjir berkurang drastis, tapi sekaligus menghindarkan Jakarta dari ancaman krisis air atau kekeringan.
artikelnya sangat bagus, kota jakarta memang perlu perbaikan yang cepat dan efektif
apa gak akan terjadi penurunan hebat di kalo misalkan drainase vertikal gak didukung sama resapan seperti pohon di sekitar e
Untunglah sekarang Jokowi sudah bertindak cepat membuat drainase vertikal? coba kalau ada waktu kunjungi situs ini drainasevertikal.com
@sebastian
situs drainasevertikal tidak bisa diakses