oleh : Shendy Adam
Bukan Ahok namanya kalau tidak bikin heboh. Kali ini soal Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) DKI Jakarta yang bergerak di bidang produksi dan distribusi bir. Daripada ikut-ikutan berpolemik soal minuman keras, dalam tulisan ini saya mau mengajak pembaca mengenal lebih dekat beberapa BUMD yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta.
Boleh jadi banyak yang baru tahu kalau Pemprov DKI Jakarta ternyata memiliki saham di PT. Delta Jakarta. Saat berbicara BUMD, selama ini publik hanya akrab dengan Bank DKI, PD Pasar Jaya, atau mungkin PT. Pembangunan Jaya (Ancol). Padahal, kepemilikan saham oleh Pemprov tersebar di sejumlah lini usaha.
Mengacu pada klasifikasi yang dilakukan Badan Penanaman Modal dan Promosi (BPMP) Provinsi DKI Jakarta, BUMD diklasifikasikan ke dalam lima bidang usaha yaitu properti (7 perusahaan), pariwisata (5), perdagangan dan industri (8), perbankan dan keuangan (2), serta jasa dan utilitas (4). Sehingga total keseluruhan berjumlah 26.
BUMD dan Keuangan Daerah
Dalam konteks keuangan daerah, kepemilikan BUMD merupakan instrumen non konvensional yang sebetulnya menjanjikan. Sayangnya, di banyak daerah termasuk Jakartakontribusi dari pembagian dividen BUMD terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangat minim. PAD didapat melalui pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan keuangan daerah yang dipisahkan (laba dari BUMD masuk kategori ini) dan sumber lain yang sah. Dari Tabel 2 kita bisa lihat betapa proporsi hasil pengelolaan keuangan daerah yang dipisahkan amat jomplang jika dibandingkan dengan pendapatan dari pajak maupun retribusi. Jika dipersentasekan, selama periode 2008-2012 tersebut kontribusi keuntungan BUMD tak pernah lebih dari 1 persen dari PAD. Pada 2012, dividen yang didapat DKI sebesar Rp. 353 miliar. Tidak seberapa jika dibandingkan penerimaan pajak yang mencapai Rp.17 triliun.
Data berikut ini akan semakin mengafirmasi bahwa keberadaan BUMD selama ini justru berkorelasi negatif terhadap anggaran daerah. Tabel 3 menunjuk-kan seberapa besar pembiayaan yang dilakukan Provinsi DKI Jakarta untuk BUMD yaitu berupa Penyertaan Modal Pemerintah (PMP). Sebagai ilustrasi, pada 2012 Pemprov DKI berinvestasi sebesar Rp. 618,48 miliar, padahal pada tahun yang sama pendapatan dari BUMD hanya sebesar Rp.353,72 miliar (lihat tabel 2).
Dari sekian banyak BUMD yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta, tidak semua menguntungkan secara ekonomi. Beberapa di antaranya malah memble. Sejak beberapa tahun terakhir, muncul wacana untuk melakukan divestasi terhadap BUMD yang tidak menguntungkan. Keputusan untuk divestasi cukup bijak apabila menggunakan asas manfaat. Lebih baik Pemprov DKI Jakarta fokus membesarkan BUMD yang memang potensial atau bisa diandalkan. Tentu saja harus ada dukungan kongkrit berupa penyertaan modal yang memadai.
Untuk beberapa tahun ke depan, Pemprov DKI Jakarta memang berencana meningkatkan penyertaan modal secara signifikan. Tahun 2015 ini saja rencananya BUMD akan digelontorkan suntikan dana hingga lebih dari Rp. 11 triliun. BUMD yang akan mendapatkan PMP yakni PT MRT Jakarta sebesar Rp 4,62 triliun, PT Jakarta Propertindo Rp 550 miliar, PD PAL Jaya Rp 570 miliar, PT Bank DKI Rp 1,5 triliun, PT Transportasi Jakarta Rp 2 triliun, PD Pasar Jaya Rp 1,08 triliun, PT Jakarta Tourisindo Rp 500 miliar, dan PT Pembangunan Jaya Ancol Rp 500 miliar. Namun, dengan adanya polemik penyusunan APBD antara eksekutif dengan legislatif maka sepertinya akan ada penyesuaian terhadap besaran PMP.
Salah satu BUMD yang menarik perhatian di era Jakarta Baru adalah PT. Jakarta Propertindo (Jakpro). Berbagai penugasan diberikan kepada Jakpro, antara lain pembangunan rusunawa, pengambilalihan saham Persija Jakarta, pengelolaan Stadion BMW, rencana pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) atau pengolahan sampah terpadu, dan proyek-proyek lainnya. Sulit melacak alasan mengapa Jakpro seolah menjadi anak emas oleh gubernur, baik saat Jokowi masih berkuasa maupun ketika Ahok naik takhta.
Sementara dilihat dari jumlah PMP yang akan diberikan, prioritas tampaknya diberikan pada BUMD yang menggarap sektor transportasi (PT. MRT dan PT. Transportasi Jakarta). Prioritas selanjutnya adalah perbankan (Bank DKI) dan perpasaran (PD Pasar Jaya). Sedangkan BUMD yang tidak menguntungkan sudah tidak mendapat PMP lagi.
So, masih mau ribut-ribut soal PT. Delta Djakarta?