Oleh Anita Halim
Penanganan masalah permukiman kumuh ibarat tari poco-poco, di mana kita seperti sudah maju, namun ternyata bergerak mundur, melihat ke kanan kiri sambil terus tersenyum saja – Budi Prayitno
Pernyataan tersebut diucapkan oleh Budi Prayitno, dari PUSPERKIM UGM pada acara Seminar Nasional Percepatan Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Menuju Kota-Kota Tanpa Kumuh 2020, sebagai bagian peringatan Hari Habitat Dunia, pada 1 Oktober 2012. Seminar ini merupakan salah satu agenda dalam serangkaian acara yang telah dipersiapkan Habitat Indonesia, Kementrian Perumahan Rakyat, dan Kementrian Pekerjaan Umum.
Sebelumnya, pada pra seminar yang diadakan pada 18-19 September 2012 telah diusulkan pendekatan berbasis hak dasar dan berbasis kota dalam penanganan perumahan dan permukiman kumuh, yang kemudian dipertajam dalam seminar ini.
Selain Budi Prayitno yang membahas mengenai Pendekatan Berbasis Hak Dasar: Pemberdayaan Masyarakat dan Keamanan Bermukim, seminar juga diisi oleh Moh. Jehansyah Siregar dari ITB dengan tema Kebijakan, Strategi, dan Pengembangan Sistem dalam Penanganan Kumuh Berbasis Pendekatan Skala Kota.
Menuju Paradigma Baru: Pendekatan Berbasis Hak Dasar
Budi Prayitno membuka diskusi dengan memaparkan kondisi penanganan kumuh saat ini, yang menurutnya masih berjalan di tempat. Selain itu, penanganan kekumuhan belum terintegrasi dengan mata rantai perekonomian perkotaan (urban economic chains), koordinasi masih lemah, dan pembagian peran dan fungsi stakeholders yang tidak jelas.
Untuk itu, menurutnya, diperlukan perubahan paradigma yaitu pendekatan berbasis hak dan meninggalkan pendekatan berbasis spasial yang lama. Yang dimaksud dengan basis spasial lama adalah pengkategorisasian rakyat miskin berdasarkan statusnya ilegal dan non-ilegal. Menurutnya, setiap manusia memiliki hak untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak. Lebih daripada itu, negara sebagai welfare state memiliki kewajiban menghormati, melindungi, memenuhi hak rakyatnya.
Paradigma yang baru adalah paradigma beyond shelter di mana kita tidak melihat kekumuhan hanya dari sisi permukiman saja, melainkan dari faktor yang lain. Kekumuhan disebabkan karena tidak ada sumber daya penanganan bermukim tetapi juga karena tidak adanya hak (entitlement) untuk mengaksesnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang peserta diskusi dari Bapennas. Menurutnya, pemerintah harus meningkatkan akses masyarakat terhadap perumahan yang layak dan didukung infrastruktur publik yang memadai, sehingga tidak ada lagi kondisi yang membahayakan masyarakat. Peran pemerintah sebagai fasilitator dan regulator harus ditingkatkan dengan mengadakan kontrol yang lebih baik terhadap tata kelola. Kebijakan yang dibuat pun tidak perlu banyak, tetapi harus baik dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Keefektifan Kinerja Pemangku Kewajiban
Kebijakan yang baik tentunya membutuhkan kinerja yang baik pula. Namun selama ini, sering kali pencapaian kinerja masih diukur berdasarkan capaian administratif, misalnya berapa MOU yang telah dihasilkan. Hal ini jangan sampai menghambat outcome yang seharusnya lebih diperhatikan.
Saat ini, menurut Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Sri Maharani, salah satu upaya yang dilakukan menanggapi penanganan permukiman kumuh ini adalah konsolidasi tanah. Namun, karena belum menjadi Undang-Undang, proses konsolidasi tanah masih terhambat.
Menanggapi hal tersebut, akademisi ITS Johan Silas berpendapat bahwa konsolidasi tanah hanya salah satu dari sekian banyak alat untuk menyelesaikan masalah kekumuhan. Kekumuhan adalah sesuatu yang tidak bisa terelakkan dalam perkembangan sebuah kota bahkan New York, Paris, Amsterdam, dan Hamburg pun memiliki sisi yang kumuh. Berdasarkan pengalamannya di Surabaya, ia menekankan pentingnya community mapping sebagai suatu sumber data yang berasal dari warga. Hal ini mudah dilakukan oleh siapa saja, dan dapat memberikan gambaran suatu daerah mulai dari tingkat RW hingga tingkat nasional, bila mapping tersebut digabungkan. Dan memang, data yang ada mengenai kekumuhan belum terkoordinasi dengan baik. Menurut salah satu hadirin dari BPS, data yang dimiliki BPS baru mengenai rumah tangga kumuh, belum ada laporan mengenai lingkungan kumuh.
Budi Priyatno kemudian menambahkan bahwa saat ini pemerintah telah mengembangkan peranti lunak yang dapat mengindikasikan dan memetakan wilayah kumuh mulai dari yang embrional, transisional, hingga masif. Namun, penemuan ini belum cukup diimplementasikan dengan baik.
Untuk itu, ia mengusulkan agar para pemangku kewajiban segera mempersiapkan desk khusus, membuat skema subsidi untuk sewa, milik, dan gratis, skema calon penerima bantuan, serta kapan bantuan tersebut akan diberikan.
Ia juga mengingatkan bahwa sebaiknya kita memanfaatkan momentum gubernur yang baru dan segera mengajukan pilot project. Isu-isu kekumuhan juga harus sebisa mungkin diangkat sehingga mendapat perhatian Presiden dan Menkokesra.
Maka, untuk mencapai target 2020 bebas kumuh, harus dilakukan akselerasi dengan strategi implementasi, yang secara garis besar dibagi menjadi: 1) tahap konsolidasi 2012 di mana pemerintah mempersiapkan desk khusus, kerangka regulatif, kelembagaan, dan penganggaran, juklak dan juknis, pilot projects, dan rencana replikasi; 2) tahap akselerasi 2015 yang terdiri dari replikasi dan upscale dari program yang telah berjalan; 3) tahap tangguh 2020 yang berupa peningkatan kualitas dan keragaman.
Diagnosis Kekumuhan
Sesi kedua seminar dengan pembicara Moh. Jehansyah Siregar memaparkan berbagai persoalan yang perlu dikaji lebih lanjut menyangkut diagnosis kumuh, terutama yang menyangkut:
Indikator Kumuh
Masalah indikator kumuh menjadi topik pembahasan yang telah dibahas berulang kali. Ukuran dan indikator kekumuhan sebenarnya bukan lagi hal yang baru untuk didefiniskan kembali. Namun, masih dipandang perlunya dilakukan penyepakatan sehingga ada satu indikator sama untuk menentukan kawasan kumuh. Penyepakatan tersebut menjadi langkah awal penyediaan data kumuh yang kemudian akan mendukung perumusan kebijakan penanganan kumuh.
Di lain pihak, kalangan akademisi mengatakan bahwa indikator kumuh sangat jelas, antara lain:
– Lingkungan permukiman padat dan semrawut,
– Rumah-rumah yang tidak layak huni dan terbuat dari material yang mudah terbakar,
– Kurangnya pelayanan air bersih dan sanitasi,
– Rendahnya tingkat keamanan bermukim,
– Tempat berbagai penyakit sosial,
– Tingkat kesehatan rendah,
– Angka kriminal yang tinggi,
– Dan berbagai indikasi menurunnya tingkat kualitas hidup masyarakat.
Oleh sebab itu, menurutnya, pokok persoalan kekumuhan adalah pilihan kebijakan dan strategi penanganan, bukan ada tidaknya indikator yang disepakati.
Kebijakan dan Strategi Penanganan Kumuh
Jehansyah berpendapat, bahwa penyepakatan indikator kumuh jangan sampai menghambat pembuatan kebijakan. Indikator itu cukup ditetapkan secara umum, untuk kemudian dilakukan diagnosa secara tepat, yang kemudian menghasilkan pendekatan, strategi, dan kebijakan yang efektif.
Pemahaman awal yang dibutuhkan adalah bahwa pemukiman kumuh di perkotaan telah menjadi fenomena global. Menurut data PBB (2003), satu dari enam penduduk adalah penduduk yang tinggal di kawasan kumuh. UN-Habitat menggarisbawahi, bahwa jika tidak ada kebijakan dan strategi yang efektif, maka penyebaran populasi kaum urban potensial kumuh diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Kebijakan dan strategi yang efektif harus segera diterapkan untuk menghindari eskalasi kekumuhan yang semakin sulit diatasi ini.
Kumuh dan Kemiskinan
Kemiskinan dan kekumuhan adalah dua sisi mata uang yang sama, bukan yang satu menyebabkan yang lain. Oleh karena itu, penanganan kumuh adalah bagian dari pengentasan kemiskinan melalui kebijakan yang terpadu di bidang perumahan, permukiman dan pembangunan kota.
Melalui pendekatan berbasis hak dasar, disadari bahwa kemiskinan diakibatkan karena belum terpenuhinya hak-hak dasar manusia. Maka, kekumuhan diakibatkan oleh belum terpenuhinya hak-hak dasar perumahan. Dengan demikian, kesepakatan global mengenai hak dasar perumahan bagi setiap penduduk menjadi landasan bagi penggunaan pendekatan berbasis hak dasar (right based approach) di dalam penyediaan perumahan dan permukiman bagi semua penduduk, termasuk dalam menerapkan prinsip jaminan bermukim (secure tenure).
Kumuh dan Urbanisasi
Urbanisasi umumnya dipandang oleh kalangan pemerintah sebagai penyebab munculnya permukiman kumuh. Namun kenyataannya tidak demikian. Permukiman kumuh bukanlah fenomena yang diakibatkan oleh urbanisasi, tetapi oleh pengelolaan urbanisasi yang belum efektif dan berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi berupa pertumbuhan kota yang cepat namun belum mampu diimbangi oleh kapasitas yang memadai dalam pengelolaannya.
Kota-Kota Bebas Kumuh
Target RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) yang menargetkan tahun 2025 bebas kumuh kini ditargetkan oleh presiden agar bisa dicapai pada tahun 2020. Target yang tidak mudah tersebut hanya mungkin tercapai dengan komitmen yang tinggi. Kota-kota bebas kumuh hanya dapat dicapai melalui pengelolaan urbanisasi yang berkelanjutan, yaitu pada suatu keadaan di mana kota-kota telah mencapai tahapan stabilitas urbanisasi (urbanization stability).
Sembilan Agenda Aksi Menuju Kota-Kota Bebas Kumuh
Lebih lanjut, Jehansyah mengemukakan bahwa target mencapai kota-kota tanpa perumahan dan permukiman kumuh harus direalisasikan ke dalam langkah-langkah aksi (peta jalan) yang dijalankan bersama-sama. Kesembilan agenda aksi tersebut yaitu:
1) Menyepakati penggunaan Pendekatan Hak Dasar (right-based approach) dan Pendekatan Keterpaduan Skala Kota (integrated city-wide approach),
2) Menyusun kerangka kebijakan dan strategi, program dan rencana, dan berbagai sistem dan kelembagaan secara partisipatif dan terpadu (SAPOLA, tingkat nasional dan provinsi) dengan dukungan Perpres dan Wapres,
3) Evaluasi terhadap kebijakan, peraturan, dan program perumahan rakyat dan pembangunan kota beserta implementasinya, termasuk diagnosis kumuh (lama dan baru) dan berbagai bentuk fragmentasi dan rendahnya kapasitas,
4) Melakukan berbagai program pengembangan kapasitas dan pembinaan pengelolaan kota,
5) Menyusun SPK dan Program Terpadu Skala Kota secara partisipatif (participatory urban decision making), termasuk strategi from slum upgrading to cities without slums.
6) Mengembangkan sistem penyediaan perumahan dan permukiman swadaya melalui pengembangan sistem kelembagaan jejaring komunitas (Pokmas dan LSM), kelembagaan pemberdaya simpul, pembuatan instrumen-instrumen dan program kegiatan percontohan yang menggunakan konsep bertumpu pada pemberdayaan komunitas, yang tentunya semuanya mendukung penerapan Pendekatan Hak Dasar,
7) Prioritisasi program-program terpadu yang menyentuh kawasan kumuh yang paling buruk, dengan angka kematian dan penyakit paling tinggi, tingkat ketiadaan prasarana dan sanitasi paling rendah dan tingkat ketidak-amanan bermukim paling tinggi (squatter), melalui pendekatan keamanan bermukim, strategi regularisasi/formalisasi, membuka akses ke tanah, pemberdayaan sosial ekonomi, pembukaan lapangan kerja,
8) Komitmen penuh untuk prioritisasi investasi kota pada penyediaan pelayanan dasar umum, didukung mobilisasi pelayanan kota, menuju Kota Inklusif, yang menjangkau permukiman penduduk golongan miskin dan berpendapatan rendah di kota, seperti: air minum, sanitasi, energi listrik, prasarana jalan dan drainase, fasos-fasum, termasuk penyediaan pilihan-pilihan perumahan sosial, perumahan umum, dan fasilitas perumahan swadaya.
9) Manajemen pengetahuan tentang perumahan dan permukiman kumuh di perkotaan, termasuk pengetahuan kebijakan strategi dan studi-studi kasus praktek terbaik di lapangan.
Satu hal yang perlu diperhatikan juga adalah para pemateri dan peserta seminar, berulang kali mengingatkan bahwa jangan sampai di masa yang akan datang diadakan lagi seminar yang masih membahas masalah serupa tanpa adanya kemajuan.
Semoga tidak ada lagi tari Poco-Poco untuk penanganan pemukiman kumuh.