Ode Sebuah Taman

Danau Kalibata, foto © Okky Madasari

Oleh : Okky Madasari

Rasanya seperti kerampokan. Kehilangan satu barang kesayangan, yang bersamanya saya telah merangkai banyak kenangan, sekaligus menyimpan harapan. Tapi ini bukan barang. Bukan juga milik saya, yang untuk mendapatkannya saya harus menukar uang. Ini hanya sebuah taman dengan danau buatan. Milik negara, di sebelah timur Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kami menemukannya tanpa kesengajaan.

Mungkin memang berlebihan. Tapi memang seperti itu rasanya, saat kemarin petugas itu menutup rapat pagar dan menolak saya untuk bertandang. Taman berdanau itu tak lagi bisa dikunjungi orang-orang. Demi ketertiban. Juga demi keindahan pemandangan.

Kata petugas itu, perintah sudah turun sejak Obama mau datang. Katanya, jangan sampai presiden negara besar itu terganggu dengan kehadiran orang-orang. Lalu saat istri Jenderal AH Nasution meninggal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, katanya, banyak pejabat tinggi yang marah karena taman itu bisa dipakai tempat pacaran.

Padahal, taman ini berbatas tembok tinggi dengan Taman Makam Pahlawan. Masing-masing dengan gerbang sendiri-sendiri. Tidak akan pernah ada yang terganggu satu sama lain. Lagipula, seberapa sering ada presiden yang mau datang? Juga seberapa sering ada upacara kematian?

Ah, beginilah rasanya kehilangan kesenangan. Tempat itu terlanjur menghiasi benak saya. Danaunya yang tak terlalu luas, di mana burung-burung prenjak suka menukik rendah, menyentuh air sebentar lalu terbang bebas. Taman rumput di pinggir danau, tempat tumbuh frangipani, aster, dan berbagai bunga yang saya tak tahu namanya. Di situ saya kerap duduk, membaca buku atau melipat kaki dan memejamkan mata. Batako di sekelilingnya, tempat saya dan suami lari pagi. Dan yang terindah adalah saat matahari perlahan-lahan turun, membuat air danau keemasan, lalu menghilang tepat tegak lurus dari tempat duduk di pinggir danau.

Kami berdua memang pecinta taman-taman kota. Kami selalu ingat bagaimana matahari tenggelam di balik Gedung Departemen Perhubungan saat kami duduk di kolam ikan koi, sebelah lapangan basket Monas. Di Situ Lembang, saya melebur dalam keceriaan anak-anak yang berenang-renang di danau. Di Suropati kami tahu bagaimana burung dara menikmati alunan biola. Di Danau UI, kalau sedang tak memandang ke arah bangunan tinggi rektorat, kami kerap lupa ini hanya selangkah dari Jakarta. Dan betapapun indahnya taman-taman itu, tetap saja rasa kecewa itu menggelanyuti ketika salah satu terpaksa pergi.

Tolong, tolong, buka kembali pintu pagar itu. Biarkan kami menjadi warga kota yang manusiawi. Jangan paksa kami menua di dalam gedung-gedung tinggi berpendingin udara, mengukur bahagia dengan hanya berbelanja. Biarkan keindahan itu bisa dinikmati. Agar kami masih selalu ingat, masih ada yang bisa disyukuri dari pembangunan kota ini. Danau itu akan merindukan pengunjung, rumput-rumput itu butuh sentuhan kami, dan burung-burung itu akan selalu mencari pemujanya.

Lagipula, bukankah taman itu milik kami juga?

Okky Madasari  adalah seorang Novelis & pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta


*

2 thoughts on “Ode Sebuah Taman

  1. yu sing says:

    tragisnya dehumanisasi kota yg terus terjadi. Tanda ketidakmampuan kreatif, asal gampangnya…kita (dan pemerintah) blm mampu menghasilkan solusi. Baru mampu memakai kosmetik tebal atau malah topeng. Contoh di meksiko, negara dgn byk masalah keamanan, punya buanyakkk taman,plasa, hutan kota yg sgt hidup krn dirayakan puas rakyatnya, dipelihara pemerintahnya,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *