Sampah di Jakarta, bagaimana kelolanya?

 

Pada Mei lalu, Rujak kembali mengadakan diskusi akhir pekan yang kali ini bertemakan sampah di Jakarta. Diskusi pada akhir minggu di pertengahan bulan Mei tersebut dimulai dengan pemutaran film tentang Revolusi Hijau di kota Sau Paulo, Brazil. Bila tersebut frase revolusi hijau, maka yang terlintas di ingatan kita adalah sistem intensifikasi olah tanah dan tanaman pangan dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian. Tetapi, di Sau Paulo, yang disebut dengan revolusi hijau adalah pengelolaan sampah skala kota. Melalui proyek Clean Development Mechanism, kota Sao Paulo di Brazil berhasil mengubah dua tempat pembuangan sampah terbesar di kota itu menjadi ramah lingkungan.

Untuk sampah basah, kota ini mengolahnya melalui sistem landfill dengan hasil akhirnya adalah energi listrik yang dihasilkan dari olahan gas metan. 40 ribu ton sampah, setinggi Menara Pisa, dihasilkan setiap harinya oleh warga Sao Paulo. Dari pengolahan dengan skema “waste to energy”, satu ton sampah yang diolah dapat menghasilkan 200 liter metan, dan dapat menerangi satu rumah selama 1 jam. Pengolahan landfill selama satu tahun dapat menerangi 400.000 warga Sao Paulo.

Dari 2004 hingga September 2011, kedua tempat pembuangan sampah tersebut berhasil mencegah pelepasan 352.000 ton gas metana ke udara dengan mengubahnya menjadi listrik berkapasitas lebih dari 1 juta MW. Tidak hanya sampah basah, sampah kering juga diolah dalam skala besar, seperti kaleng-kaleng, kertas, dan metal. Untuk pengolahan sampah kaleng, dari sejumlah 10 ton sampah kaleng yang dihasilkan, 9 ton dapat diolah oleh 14 perusahaan yang juga berperan sebagai pusat pengumpul. Keberhasilan ini kemudian digadang-gadang oleh pemerintah Kota Sao Paulo yang dianggap telah berhasil mengolah sampah dan mengelola kota menjadi lebih bersih dan nyaman.

Lalu, bagaimana dengan Jakarta?  Sebagai megapolitan ternyata Jakarta menghasilkan sampah melebihi 6000 ton sampah/hari (JBIC SAPROV 2007). Dari jumlah tersebut, kontributor terbesar adalah sampah rumah tangga (52,97%), kantor (27,35%), industri (8,97%), sekolah (5,32%), pasar (4%). Menjadi prihatin kemudian, sebagai kontributor sampah terbesar, 80% sampah rumah tangga di Jakarta tidak didaur ulang.

Bicara tentang skema Clean Development Mechanism (CDM) , Dini Trisyanti dari InSWA yang hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut menjelaskan bahwa Indonesia, termasuk Jakarta, sudah tidak asing dengan skema ini. Menurutnya, mekanisme CDM (dilahirkan melalui Protokol Kyoto), juga sudah dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. CDM di sini adalah mekanisme insentif yang diberikan apabila gas metan dari landfill bisa dimanfaatkan dan tidak terlepas ke udara.

Sosialisasi di tahun 2005 diikuti oleh pelaksanaan di beberapa daerah seperti Bekasi, Makasar, Palembang, dan Bali. Pada periode 2010-2011 evaluasi yang dilakukan terhadap pelaksanaan skema ini menunjukan bahwa skema ini tidak berhasil di Indonesia.

Menurut Dini, terdapat kesalahan presepsi para pihak yang menerapkan CDM.  Para pihak hanya melihat sebagian dari keseluruhan proses tentang bagaimana mengubah sampah menjadi energi, tetapi tidak melihat seluruh konsep pengelolaan sampah. Para pihak cenderung hanya fokus mengekstrak gas sebanyak mungkin untuk diubah menjadi listrik dan pada akhirnya mendapatkan dana, bukan fokus membuat landfill yang bagus. Menurutnya, itu merupakan persepsi keliru yang kemudian menjadi boomerang. Persepsi ini kemudian mendorong investor untuk mengklaim bahwa mereka bisa mengolah sampah dan hasilkan listrik di mana si penghasil sampah tidak perlu membayar apa-apa, dengan asumsi akan dapat menjual listrik itu kembali. Sehingga, pada akhirnya tidak ada yang jalan.

Salah satu contoh adalah Konsep CDM di Bali pada tahun 2005. Pihak swasta pengelola menegaskan bahwa biaya operasional/ tipping fee tidak diperlukan. Namun, pada prakteknya, untuk mendapatkan landfill yang baik sehingga menghasilkan gas yang banyak, diperlukan penataan yang memakan biaya besar. Akhirnya proyek menjadi terbengkalai hingga saat ini.

 

Menurut Dini, yang harus dilihat secara utuh adalah di aspek cleaning service nya karena masalah sampah didominasi oleh masalah non teknis (80%). Masalah teknis hanya 20%. Menurutnya, kita perlu pahami konsep utuh tentang sampah melalui 5 aspek, yaitu

1. Aspek hukum. Sejak 2008 melalui UU no 18 tahun 2008 Indonesia sudah memiliki Undang-Undang tentang Sampah. Namun peraturan perundang-undangan di bawahnya masih belum terbentuk seperti PP, Perda bahkan Pergub.  Hal ini tentu saja mempersulit pelaksanaan ketentuan dalam UU.

2. Aspek institusi. Siapa sebenarnya lembaga yang bertanggung jawab untuk urus sampah? Apakah hanya Dinas kebersihan?

Menurut Dini harus ada keterlibatan juga dari institusi lain seperti Kementrian PU, Kementrian Perhubungan, Kementrian Sosial, Kementrian Tenaga Kerja, Kepolisian, dll terkait penanganan sampah. Saat ini masing-masing dinas tersebut punya program sendiri untuk penanganan sampah, tetapi tidak ada sinergi di dalamnya.

3. Aspek finansial. Aspek ini merupakan aspek yang paling sering disalahartikan. Menurutnya, waste to energy bisa menghasilkan uang. Tetapi ketika itu saja yang yang dipahami dari pengelolaan sampah, maka jadi salah kaprah.  Karena ada anggapan mengolah sampah menghasilkan uang, justru yang mengolah diminta untuk membayar sampah yang dihasilkan. Seharusnya yang mengolah justru diberikan insentif. Jangan diartikan bahwa industri barang bekas, waste to energy, bisa menyelesaikan masalah sampah. Yang juga harus dilihat adalah konsep cleaning servicenya atau operasional pengelolaan sampah.

 

“Prinsipnya, karena kita buang sampah maka kita harus bayar. Yang terjadi, si pengolah sampah justru harus beli sampah dari si penghasil sampah. Prinsip yang tepat adalah polluter pays principle”.                                                              – Dini Trisyanti-

Untuk bisa ke tahap warga membayar biaya pengelolaan sampah di Indonesia, menurutnya, minimal pemerintah mensubsidi dulu. Apabila pemerintah dapat buktikan mampu kelola sampah, warga akan mengikuti.

Terdapat beragam pembiayaan dalam pengelolaan sampah. Pertama, ada biaya investasi (tingkat DKI Jakarta investasi nya sekitar Rp. 100-200 juta/ton).  Lalu biaya operasional termasuk di dalam nya biaya pengolahan sampah (tipping fee), biaya menimbang, pemadatan dan penutupan land fill. Idealnya, menurut Dini, pengelolaan sanitary landfill memakan biaya Rp. 250ribu/ton. Di Indonesia, hanya Jakarta yang bersedia membayar mendekati biaya ideal, yaitu Rp. 114 ribu/ton.

4. Paradigma. Terkait paradigma, menurut Dini, yang sulit untuk diberikan pemahaman adalah para pengambil kebijakan, dalam hal ini anggota legislatif. Menurutnya, Pemda sudah mengerti alasan besarnya biaya atau anggaran pengelolaan sampah. Tetapi, pemahaman yang baik justru tidak ada di tingkatan DPRD.

Sebagai contoh, ketika Pemda DKI ingin membangun incinerator di Sunter melalui pendekatan intermediate treatment facility atau pengolahan sampah di dalam kota dengan teknologi tinggi, dengan kapasitas 1000 ton, DPRD Jakarta mempertanyakan rencana tersebut. Pertanyaan DPRD terkait faktor pembiayaan pengelolaan incinerator sejumlah Rp. 400 juta/hari. Pendekatan ini melibatkan biaya tipping fee besar yang belum bisa dipahami oleh anggota legislatif. Karena masih ada perdebatan di level pengambil keputusan, maka program ini masih tertunda.

Hingga saat ini, pengelolaan sampah masih terpusat di Bantar gebang, yang belum menggunakan konsep pengelolaan dengan CDM. Menurut Dini, TPA ini lebih fokus pada bagaimana menglola sampah dengan landfill yang baik. Sehingga, pengolahan sampah di Bantar Gebang tidak mendapatkan insentif dari CDM tetapi mendapatkan tipping fee dari Pemda.

Selain itu, ketentuan tentang berapa % seharusnya anggaran untuk pengelolaan sampah (untuk menimbang, memadatkan dan menutup sampah), sampai sekarang belum jelas. Bahkan menurut Dini, kementrian teknis terkait belum memberikan data detail sampai saat ini. Sedangkan menurutnya, apabila tidak ada anggaran dari PU maka Pemda tidak mempunyai dasar untuk  mengalokasikan anggaran pengelolaan sampah.

Setelah adanya kesamaan pemahaman antara Pemerintah dan DPRD, maka aspek lain yang diperlukan adalah edukasi ke masyarakat, yang menurutnya justru banyak melakukan terobosan. Seharusnya, inisiatif-inisiatif  dari masyarakat diakui dan disambung oleh pemerintah, tambahnya.

5. Aspek teknologi. Menurut Dini, setiap pilihan teknologi yang digunakan akan menentukan biaya yang dikeluarkan. Terkait pilihan teknologi, Dini mengumpamakan teknologi seperti obat. Apabila diperlukan untuk jangka pendek, maka harus dilakukan. Untuk saat ini, pengelolaan yang terpusat membutuhkan landfill dan menggunakan incinerator. Walaupun banyak efek sampingnya, seperti soal pencemaran udara, menurutnya harus dilakukan.

Untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan, menurutnya ke depan perlu mengubah pilihan teknologi secara bertahap. Hal ini sangat terkait dengan pilihan luas cakupan pengolahan sampah. Apabila cakupannya adalah wilayah kota, maka incinerator masih akan mungkin digunakan. Tetapi, apabila pengolahan sampah dilakukan di skala wilayah yang lebih kecil, semisal tingkat kawasan (kelurahan/RW) atau bahkan pengelolaan di tingkat rumah tangga, maka hal ini bisa mengubah pilihan teknologi dan tentunya, jumlah biaya yang dikeluarkan.

 

Idealnya ke depan, tiap-tiap rumah tangga dapat mengelola sampah yang dihasilkannya. Seperti disebut di atas tentang banyaknya jumlah inisiatif oleh warga, salah satu peserta diskusi menceritakan pengalaman komunitas nya. Ricky Lestari yang mewakili Komunitas Hijau Pondok Indah (KHPI) memaparkan bahwa melalui program Masuk RT (Manajemen Sampah untuk Kawasan Rumah Tangga), KHPI mencoba mengelola sampah di tingkat komunitas. Visi dari program ini adalah zero waste yaitu visi di mana warga Pondok Indah bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan dengan cara mengurangi, memanfaatkan kembali, dan mendaur ulang sampah.

Menurutnya, zero waste akan dicapai dengan pemilahan sampah di masing-masing rumah tangga, RT, dan RW dan penyaluran sampah ke tempat-tempat tertentu (pabrik daur ulang kertas dan plastik, pabrik daur ulang dan tempat pembuatan kompos). Program tersebut dimulai dengan riset pada tahun 2011 tentang volume dan komposisi sampah. Hasil riset menyebutkan bahwa sebagian besar sampah yang dihasilkan adalah sampah rumah dapur  (53%). Bekerjasama dengan beberapa pihak seperti Greeneration Indonesia, mahasiswa, CIMB Indonesia, pengembang (Metropolitan Kencana) dan RW 13, KHPI mengaplikasikan program  tersebut di 3 RT di wilayah RW 13.  Selain RW 13, saat ini RW lain di kawasan Pondok Indah juga tertarik dan meminta untuk diadakan program yang sama.

 

Bicara tentang inisiatif dari masyarakat, menjadi catatan peserta diskusi kemudian bahwa saat ini sudah banyak sekali inisiatif yang coba dimunculkan namun masih kurang difasilitasi oleh pemerintah. Artinya, walaupun beragam komunitas sudah mencoba mengolah sampah, minimal melakukan pemilahan di tingkat rumah tangga, akan menjadi sia-sia apabila beragam inisiatif ini tidak coba diakomodasi di cakupan wilayah yang lebih besar, semisal kawasan seperti Kelurahan, atau bahkan Kotamadya.

Diskusi kemudian mengidentifikasi bahwa selama ini tidak semua warga saling mengetahui adanya inisiatif-inisatiif tersebut, atau bahkan mengetahui bagaimana pengelolaan sampah di Jakarta dilakukan.

Di akhir diskusi, peserta menyepakati bahwa perlu dilakukan pemetaan tentang skema pengelolaan sampah di Jakarta. Untuk memulai usul tersebut, tur sampah kemudian menjadi kesepakatan peserta yang nantinya dapat difasilitasi oleh Rujak Center for Urban Studies (RCUS). Rencananya, tur sampah akan diadakan pada Juli ini dan diharapkan bisa dilanjutkan dengan dihasilkannya produk pemetaan pengelolaan sampah Jakarta.

Informasi dan pendaftaran untuk tur sampah, silakan klik.

 

2 thoughts on “Sampah di Jakarta, bagaimana kelolanya?

  1. Sandi Baratama says:

    kenapa studi kasusnya Sao Paulo? padahal Curitiba lebih berhasil dalam manejemen sampah di brazil hingga mendapatkan award Top Five Most Sustainable Cities in the World.Curitiba dengan programnya “Green exchange” melibatkan masyarakat sebagai “pemulung” sampah rumah tangganya sendiri yang kemudian ditukarkan dengan Uang/bahan makanan/tiket hiburan dll di titik2 strategis kota. Saya rasa konsep ini sangat cocok diterapkan di Jakarta dengan karakter warganya yang masih menilai bahwa sampah tidak bernilai ekonomis.dibanding menghabiskan anggaran dinas kebersihan puluhan milyar melalui pengangkutan sampah secara konvesional, lebih baik melibatkan masyarakat untuk memilah2 sampah mereka yg kemudian ditukarkan bahan makanan misalnya. Win-win solution!!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *