Rujak Center for Urban Studies, bekerja sama dengan Urban Poor Consortium dan Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya menyelenggarakan sayembara terbatas desain penataan Kawasan Stren Kali Surabaya.
Jika teringat tulisan lawas dari Yuli Kusworo, ia bercerita tentang inovasi, inisiatif dan partisipasi para warga kampung yang menempati bantaran Stren Kali Surabaya: inisiatif utk memundurkan rumah dan membalikkan posisi tampak depan rumah menghadap sungai, upaya pengomposan, program Jogo Kali demi menjaga kebersihan Stren Kali hingga penghijauan kampung.
Upaya impresif tersebut mendorong Pemkot Surabaya mengeluarkan Perda yang pada intinya mengijinkan warga untuk tetap tinggal di Stren Kali, selagi mereka memperhatikan garis sempadan sungai.
Namun di tahun 2009, mendadak keluarlah Surat Mendagri yang menyatakan Perda tersebut tidak berlaku, karena menyalahi aturan lawas, yaitu batas garis sempadan sungai sejauh 11 meter. Tentu saja nasib ribuan warga Stren Kali kembali berada diujung tanduk.
Kembali warga-warga harus bernegoisasi ulang dengan Pemerintah. Dan kali ini, pemerintah provinsi meminta proposal desain, yang akhirnya disanggupi oleh warga.
Sayembara terbatas ini adalah langkah kecil untuk tetap memperjuangkan ruang hidup yang telah tumbuh selama 30-40 tahun. Ada 7 arsitek yang diundang, bervariasi generasi dan pengalaman, mulai dari arsitek senior Han Awal, Eko Prawoto, Adi Purnomo, Avianti Armand, Yu Sing dan Wiyoga Nurdiansyah, serta firma Urbane.
Setelah melalui penjurian, maka para juri yang terdiri dari Wardah Hafidz, Â Joyce Laurens, dosen arsitektur Universitas Kristen Petra, dan tiga wakil dari Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya, yaitu Ibu Yusuf, Widianto dan Grace Natasya, sepakat untuk memilih proposal Wiyoga Nurdiansyah yang bernama sandi Perca.
Yoga, demikian akrab dipanggil, memilih untuk melakukan intervensi sederhana namun tepat sasaran terhadap kampung-kampung. Dia berkeinginan untuk menjaga struktur dan tatanan sosial masyarakat sehingga kehidupan sosial kampung tersebut tetap terjaga.
Demikian proposal dari Wiyoga Nurdiansyah:
selamat, yoga!
semoga bisa segera terealisasi dan menginspirasi kota-kota lain di indonesia.
ide menarik. cut n fill versi housing. tp sayang kl hanya sebatas ide. masih butuh perjuangan BESAR utk mewujudkan itu semua. kembali lagi, MAMPU-kah menembus batas birokrasi negri ini. Semoga segera terwujud. aminnn..
sayang tidak diikuti arsitek asli surabaya… 🙂
mas andunk
kebtuhannya kalau saya lihat lebih ke, bagaimana terdapat pendamping pada pekerjaan tersbut (local architect mungkin?)yang bisa mentranslate need dan want dari obyek ke arsitek dari luar, yang diundang oleh panitia. kalau arsitek saya kira bisa dari mana pun. dan tugas itu saya lihat telah difungsikan oleh pihak PETRA dan warga setempat secara langsung dalam melakukan penilaian dan tentunya assessment selama lomba berlangsung. jadi tidak adanya pihak yang anda maksudkna di atas lebih ke pada bagaimana eksekusi yang terjadi agar dapat tetap membumi dan tepat guna. sehingga mengurangi kesan arsitektur dari langit yang ujug-ujug datang dan merancang. tidak adanya arsitek lokal, mungkin memang perlu disayangkan, namun mungkin juga tidak….salam
Mas Chottob, terima kasih. Sudah sejak tahun 2007 warga strenkali ditemani oleh UPLINK dan beberapa arsitek komunitas (ARKOM). Mereka mempertemukan para arsitek peserta sayembara dengan warga dalam suatu workshop yang saya fasilitasi/moderatori sendiri. UPLINK dan para arsitek komunitas itu sebelumnya menyiapkan informasi yang rinci untuk para peserta, dan juga menemani mereka berkeliling kampung sambil berdialog dengan warga.
mas Marco
kebetulan saya hadir saat paparan pemenang saembara di PETRA beberapa saat lalu. saya lihat memang semua peserta dan fasilitator adalah imported–maaf saya menggunakan istilah tersebut–orang-orang dari luar surabaya. kalau boleh saya sebut teman-teman dari UPC yang juga dari obrolan sekilas mereka juga sedang melakukan pendampingan ke warga Lapindo. saya kira, dan pasti anda juga sudah berfikir, jika terus-menerus begitu prosesnya, tentu akan memakan biaya besar, tidak efisien, dan tentu tidak sustain. saya berharap selama proses tersebut berlangsung telah terjadi transfer of knowledge dan kaderisasi dari fasilitator ke native people-include local architect, untuk nanti meneruskan apa yang telah dicapai selama ini. kasus pada konteks ini saya kira bersifat universal, dimanapun TKP-nya.
saya sendiri arsitek dan berdomisili di surabaya. kami aktif di demaya–desainer muda surabaya– meski kehadiran beberapa dari kami kemarin bukan representasi dari demaya. kontak dengan bu joyce dari PETRA telah terbentuk, sehingga ke depan kami harap terbuka kemungkinan jika pekerjaan ini kami bisa membantu. tentu jika hal tersebut dibutuhkan. salam
Pingback: Beberapa Solusi Alternatif Tanpa Penggusuran Paksa | Public Interest Lawyer Blog