Album Kompilasi Menghasrati Halte

Warga memanfaatkan halte yang tidak bisa digunakan untuk menunggu bus. Halte ini terletak di Jl. Casablanca, menghadap pagar underpass. Angkutan umum baru keluar underpass setelah melewati halte.

Oleh: Rika Febriyani.

Bukan kebiasaan, bikin penasaran. Apa sih yang mungkin terjadi dalam halte berkaca gelap dan berpendingin ruang? Atau jika duduk menunggu bus di sofa nyaman bersama kekasih? Lalu kalau bisa sekalian bermain di ayunan, bahkan di ranjang gantung alias hammock.

Mungkin ingatan pada halte-halte ini bisa berkelebat saja. Mengalami Jakarta sehari-hari: macet dan banjir –termasuk becek. Heran juga, kenapa masalah seolah tak maju-maju. Our problems are not progressive, sekedar iseng menerjemahkan. Toh, kata ‘progressive’ terbilang dekat dengan kita, dan telah di-Indonesiakan menjadi progresif.

Halte-halte gemilang tak begitu saja bertaburan di koran dan majalah. Dari ukurannya saja, kita tahu batas media cetak, tak bisa memuat seluruh hasrat pembaca. Tapi, amatan warga pada halte tak tersapu begitu saja. Hingga awal 2011, masih termuat artikel, komentar, foto, dan video, di berbagai situs. Tak hanya informasi, tapi juga sudut pandang yang relatif lebih up to date.

Ketika menyoal pedagang kaki lima sebagai sumber masalah, yang bisa jadi sudah basi di penghujung 2010.

Halte yang seharusnya digunakan warga untuk menunggu bus kini justru dipenuhi oleh pedagang dan juga tukang ojek. Halte yang berubah fungsi itu sangat meresahkan para penumpang yang hendak menunggu angkutan umum. [http://www.mediaindonesia.com/foto/7998/Halte-Berubah-Fungsi ]

Bermain catur jadi salah satu kegiatan warga. Mengisi halte, yang mungkin saja terbengkalai tanpa mereka.
Salah satu halte dengan pedagang kaki lima yang tak memakan ruang halte. Kehadirannya memenuhi kebutuhan warga untuk berinteraksi maupun menunggu bus. Termuat kesadaran menjalankan ruang, sebagai privat sekaligus publik.

Beberapa tahun lalu, termuat berbagai komentar warga kota pada sebuah situs. Ketidaktepatan posisi halte, barangkali malah lebih penting dari kaki lima.

Gimana bisa kita nunggu di halte, wong posisi haltenya amat sangat aneh. Kalau nunggu di halte, bus gua dah belok duluan, soalnya halte-nya itu setelah belokan bus. Kenapa nggak turun di halte? Ini masalah posisi lagi. Mau turun di halte, tapi kudu balik arah lagi ke jembatan penyeberangan yang posisi tangganya sebelum halte. Ya, ngapain turun di halte? [peduli123: http://forum.detik.com/showpost.php?p=2765239&postcount=14]

Pertama: letaknya kurang strategis (kayaknya gak pernah liat halte di stasiun Kota atau Mangga Dua – padahal turun-naik penumpang di situ banyak?). Kedua – penumpang dan supir angkot sama-sama cingcay soal stop seenak jidat. [http://forum.detik.com/showpost.php?p=2749970&postcount=12]

Yang letaknya payah juga banyak. [alasketu: http://forum.detik.com/halte-bus-kota-t42505.html]

Banyak halte yang didesain dan diletakkan tidak sesuai konteks lingkungan, sehingga banyak penumpang bus yang tidak memakai halte tersebut dengan semestinya. [re-Puzzling Bus Shelter. http://www.youtube.com/watch?v=mPt1qXP7NHc]

Di luar kehidupan bersama halte yang morat-marit, tersebar pesona tempat menunggu bus. Serapan informasi lewat internet, membawa kita sampai ke setiap pojok dunia. Tapi, sekaligus, berhadapan dengan keseharian, pesona itu jadi tak cuma mengundang reaksi kagum.

Album ini disusun atas ragam pikiran warga menghasrati halte, termasuk yang bersifat spontan (sehingga beberapa penggunaan kata perlu di-edit). Meski tak seluruhnya termuat, tapi sebisa mungkin terpilih yang mewakili keseluruhan. Kompilasi dilakukan melalui berita dan artikel di media online, komentar dan opini dalam berbagai blog, foto-foto, dan video. Untuk menelusuri kelengkapannya, Anda hanya perlu meng-klik alamat situs yang tertera.

I.

Tidak nyaman untuk duduk saat menunggu angkutan. Ukurannya juga lebih kecil, hanya cukup untuk 3 atau 4 orang saja duduk. Padahal nunggu angkutan kadang-kadang butuh waktu lama [Lily: http://bataviase.co.id/node/177861]

Haltenya pun sempit sehingga kalau hujan turun, kami yang menunggu di halte sampai basah kehujanan. Saya heran, kenapa halte-halte di Jakarta (yang saya tahu di Jakarta Timur dan Jakarta Utara), desainnya sangat tidak nyaman seperti itu? [Nandya Lani: http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=51904]

Sejauh ini ada tiga generasi halte di Jakarta. Generasi pertama, beratap besar menaungi seluruh ruang halte, berbangku panjang tanpa sandaran, terbuat dari besi. Halte atap Betawi merupakan generasi kedua, bertempat duduk keramik melingkar menyandar pada dua pilar. Selanjutnya, adalah halte berbahan alumunium, lebih mengkilap dibanding dua model lainnya, juga tampak lebih mini dan nyaris sama sekali tak nyaman.

Kita juga tidak bisa santai duduk di sini, karena lengkungan di sudut kursi sangat licin dan berpotensi membuat kita merosot seperti adegan Srimulat. [Ardi Yunanto: http://www.karbonjournal.org/focus/terlalu-lama-menunggu-halte-bus-di-jakarta]

Persoalan duduk nyaman, mestinya ringan. Kenapa tak bisa terwujud untuk menunggu?  Dan, halte berbagai generasi itu bertempatan di Jakarta.

Perombakan halte tersebut memang agak lamban karena keterbatasan anggaran. “Tiap tahun kami hanya bisa menyulap 10 unit halte model lama menjadi halte model Betawi”. Halte model lama memiliki luas 2,5 x 10 meter, dengan perubahan itu halte (atap Betawi) akan menjadi lebih ramping dengan luas 2,5 x 5 meter saja. “Pada umumnya, masyarakat menunggu kendaraan di halte itu paling lama hanya 15 menit, orang yang berada lebih dari 15 menit biasanya bukan penumpang, tapi orang yang bertujuan lain baik berdagang atau pelaku kriminal” Kata Mardanus Pasaribu, Kepala Seksi Rekayasa Lalulintas Sudin Perhubungan Jaksel. [http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2010/04/19/brk,20100419-241481,id.html]

Mungkinkah ada maksud lain dari perubahan model itu, seperti kerap terpasangnya papan reklame di atap halte? Selain pertimbangan sendiri soal waktu orang menunggu dan penyalahgunaan fungsi. Halte-halte generasi pertama sering ada di jalan yang tidak terlalu padat dan sibuk, mungkin juga relatif sepi dari trayek kendaraan umum. Sedangkan halte-halte mini, berletakkan di jalan raya dan dilalui bus berbagai jurusan. Bukankah reklame membutuhkan posisi strategis?

II.

Kami membuat papan iklan “Halte Untuk disewakan” [http://jakarta32c.org/home/workshop/2004/sewa-halte]

Yang paling umum dilakukan untuk menyatakan hasrat warga pada halte, adalah memajang foto-fotonya. Halte mempesona itu tidak selalu tulus berinovasi, ada yang memang beriklan. Dan, para pemajangnya, tidak selalu menunjuk sisi kekaguman, tapi juga memilah antara reklame dan yang bukan, yang sekedar mewah, dan yang memang fungsional. Tersirat ada pemahaman bahwa apapun tujuan dan bentuknya, sebuah halte harus mendahulukan kenyamanan menunggu .

Yang menarik dari pemasangan iklan pada halte-halte itu, ialah tak sekedar meletakkan papan di atapnya. Melainkan melibatkan warga sebagai pengguna halte. Misalnya, dengan menyediakan ayunan untuk mengandaikan kecepatan salah satu produk elektronik. Bebas digunakan siapa saja, menghibur hati kala menunggu bus. Ada halte yang menyimbolkan produk permainan, berbentuk memanjang dengan atap lengkung menaungi. Juga, halte berbatas papan iklan melandai untuk penghobi skateboard, dan bentuk lainnya, termasuk iklan layanan masyarakat.

Gak selamanya halte bis menjadi tempat yang menjemukan, tempat orang menunggu bis, terpapar debu jalanan dan asap knalpot bis kota, dengan tempat duduk keras, seolah ingin cepat mengusir penggunanya. Beberapa halte bis di bawah ini memang keren dan unik (dibiayai oleh iklan tentunya) yang paling tidak dapat menghibur penggunanya. [reliza: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2909661]

Kalau di Indonesia, haltenya gini mah, malah gak ada yang naik bis, pada nongkrong semua di halte [WhyNot: http://forum.kafegaul.com/showthread.php?p=8495293#post8495293]

Wew, keren banget haltenya… tapi tempat duduknya sedikit amat ya.. [pregiuo: http://forum.detik.com/ini-halte-koq-mewah-banget-yah-t220830.html]

Allahu Akbar, ternyata kalau di kreatifin, halte bagus juga ya, bikin betah…” [????? : http://all-about-yusuf.blogspot.com/2009/05/halte-halte-yang-tidak-membuat-anda.html]

Seluncuran decak kagum, banyak pula komentar panjang berpesimis. Agaknya foto-foto itu telah memvisualisasikan keinginan warga, yang terkekang sebab sadar keadaan tak mengijinkan, juga merasa tak punya kendali. Namun, bisa juga jadi suatu tanda kalau sebenarnya ada kemauan bagi halte, juga banyak hal, agar lebih baik. Hanya saja, hidup dengan berbagai kalangan dan kepentingan, membuat syarat-syaratnya seringkali bertarik-ulur untuk terpenuhi.

Halte bus ini bisa jadi merupakan halte bus paling mewah dan nyaman sedunia, coba saja lihat fasilitasnya. Kalau disini sudah habis tuh perabot diselamatkan (diambil) orang. Habisnya banyak tangan tangan jahil sih, hayo siapa ngaku aja! [KD: http://beritaaneh.com/2010/06/halte-bus-paling-nyaman-sedunia/]

Kalau di Indonesia halte gitu dibuat pacaran, dan dibuat mesum (terutama yang ada ranjangnya), atau paling gak jadi rumah gelandangan, atau yang lebih parah aksesori dann barang-barangnya hilang semua, diambilin. [jamesbenlee: http://forum.kafegaul.com/showthread.php?t=193628]

Di Indonesia, rasanya amat sangat mustahil bisa bikin halte yang kayak gitu, bentar juga paling udah dirusak, dipreteli atau malah ‘ditambahi’ kejorokan-kejorokan yang luar biasa mulai dari coretan-coretan grafiti sampe bau pesing dan puntung rokok dengan kuantitas yang luar biasa banyak” [iwank: http://www.rileks.com/hot-rileks/32036-menunggu-tidak-akan-membosankan.html]

Mikir 100 kali untuk buat halte seperti itu. Orang-orang Indonesia kan paling gak bisa menjaga fasilitas umum, nanti yang ada dijadikan tempat PKL (Pedagang Kaki Lima). [neng_winnie: http://forum.detik.com/ini-halte-koq-mewah-banget-yah-t220830.html]

Tangan jahil, PKL, dan perilaku-perilaku mengotori fasilitas umum, adalah persoalan tersendiri dari letak dan bentuk halte yang tak memadai. Persoalan yang relatif bergantung pada warga sebagai pengguna halte. Kalau pun hendak melibatkan pihak penyelenggara halte, agaknya masih mustahil meski seharusnya ada kemungkinan.

Dan, berdasar amatan, ada dua pola halte di Jakarta. Pola pertama adalah halte yang sibuk disinggahi pengguna angkutan umum. Di sini, sering mangkal PKL dan tukang ojek. Keberadaan mereka selalu dalam dilema. Dicaci maki menganggu ruang, tapi kerap bermanfaat bagi pengguna halte maupun pihak-pihak yang mendapat ‘mandat’untuk menjaga fasilitas umum.

Gara-gara ada warung kopi, kita tidak bisa duduk di halte saat menunggu bus. Ini kan fasilitas umum yang digunakan warga untuk menunggu angkutan umum, bukan untuk berjualan kopi maupun helm. [Amir: http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=35652]

Jika menunggu angkutan di halte tersebut sering kali digoda oleh pedagang dan tukang ojek. “Karena ada pedagang saya nunggu bus di ujung, kalau busnya sudah datang, saya langsung lari. [Weni: http://instran.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1041:jakarta-barat-minim-halte-&catid=25:front-page&Itemid=1&lang=in]

Amran, tukang servis jok sepeda motor, memanfaatkan betul halte itu selama sembilan tahun, sejak belum ada halte berdiri sampai sudah berganti dua kali. Alasan dia, karena mudah dilihat orang dan bila hujan bisa buat berteduh. Ia tak mau pindah tempat karena sudah memunyai banyak pelanggan tetap. Bila terpaksa pindah, bisa-bisa pelanggannya tidak tahu lagi. Tiap bulan ada uang setoran keamanan ke satpol PP. Selain itu, ada juga untuk uang rokok preman. “Satu bulan kadang ada 2-3 bungkus rokok buat preman.” [http://labib85.wordpress.com/2009/07/01/nasib-halte-di-jakarta/]

Nah, beberapa hari yang lalu lewat di halte ini dan rasanya pengen banget mengisi perut yang sedang kosong. Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu juga salah satu warung kopi di sekitar halte tersebut. [Budi: Obrolan di Warung Kopi Halte Komdak. http://bingkai-bingkai.blogspot.com/2008/03/obrolan-di-warung-kopi-halte-komdak.html]

III.

Berlawanan dari pola di atas, adalah halte-halte suram dan muram karena tak berhuni. Bisa disebabkan letak yang tak strategis untuk menunggu bus, atau memang tak lagi terjangkau trayek angkutan umum karena perubahan jalur dan kebijakan lalu lintas lainnya. Kemungkinan lain, memang kondisi halte yang sudah diluar batas toleransi kenyamanan. Tentu saja, jarang ditemui PKL, tukang ojek, dan sejenisnya, di halte-halte pola kedua ini.

Coretan tangan tak karuan, sebaran puntung rokok dan sejenis sampah kering, bisa jadi ketaknyamanan paling ringan. Bau pesing, lampu mati, atap bocor, adalah ketaknyaman tingkat selanjutnya, sebab masih bisa digunakan pada siang hari dan saat hujan tidak turun. Tapi, atap doyong hendak rubuh, atau malah tanpa atap sama sekali, tempat duduk yang pecah-pecah, dan lainnya yang memasuki tingkat membahayakan, sudah diluar kapasitas kata ‘nyaman’.

Lima besi penopang sudah miring sekitar 25 derajat, atapnya banyak yang terkoyak. “Tentu saja calon penumpang angkutan umum ogah nunggu karena takut ketiban atap halte yang sudah doyong (miring)” [Andi Farhan: http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/08/30/halte-bus-di-jalan-raya-kembangan-nyaris-ambruk]

Atapnya rusak tak terawat. Penunggu bus di siang hari pasti kepanasan karena langsung beratapkan langit. Ironis, terlebih halte ini letaknya tak jauh dari Gedung DPR/MPR RI. [http://www.kabarindonesia.com/foto.php?jd=Halte+Beratap+Langit&pil=20080719002316]

Meski tidak terdapat kerusakan, namun tampak terbengkalai tak terawat. Halte menjadi kotor dan kumuh, sampah banyak berserakan dan rumput liar setinggi sekitar 30 sentimeter menghiasi sekeliling halte itu. Bahkan jika malam hari, halte gelap gulita karena tidak dilengkapi dengan lampu. Akibatnya, halte tersebut nyaris tidak befungsi sebagaimana mestinya. Kesan yang ada, halte itu menjadi angker. [http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=39344]

Ah, tentu tak semua, halte-halte pola kedua begitu memprihatinkan. Ada yang kelangsungannya menyaling antara dua pola yang bertolak belakang ini. Menurut kondisi termasuk pola kedua, tapi terhidupkan kegiatan di pola pertama. Dan, meski tak sesuai peruntukkannya, ini jauh lebih baik daripada membengkalaikan suatu aset yang telah ditanam. Atau, memang ia ternyata menjawab kebutuhan akan nyaris ludesnya ruang interaksi warga.

Semerbaknya interaksi selalu mungkin saat bermain atau menyaksikan permainan catur, duduk mendengar musik dan mengamati lalu lalang, ketika membaca koran di antara keramaian, saat perlu mengamati banyak hal sebab butuh pembaruan, hingga yang paling klasik: transaksi jual beli. Interaksi yang lebih beragam, dari duduk manis di kafe atau restoran. Catatan warga pun menuruti kegiatan sehari-sehari di halte.

Aku selalu memperhatikan orang dan keadaan di sekitarku, dengan penuh keseriusan dan kehati-hatian. Sampai akhirnya bus yang aku tunggu tiba. Aku berdiri lalu berjalan pelan menuju busku. Si waria dengan berteriak kepadaku berkata, “lu enak ya, bisa pergi ke tujuan berikutnya.” [Halte. Novita Dhamayantie: http://samakamisampepagi.blogspot.com/2010/10/halte.html]

Halte di depannya tempat gue nongkrong tuh.. (warung rokok si Mamud) Hahahaha…..[mariosoft: http://wikimapia.org/3088279/Markas-Polres-Metro-Jakarta-Utara]

Pada waktu itu, gue biasanya gak langsung pulang, tapi nongkrong-nongkrong di halte bareng teman-teman. Kami di halte, makan, minum, merokok, dan bicara-bicara yang gak jelas gitu. [Preman yang Aneh. aduhOwning: http://www.indonesiaindonesia.com/f/17574-jokes-only-up-2-date/#post38347]

Di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, depan Pertokoan Ramayana, sebuah halte pun bisa menjadi toko baju. Entah karena halte tersebut kurang terpakai atau ruang halte itu dianggap menarik. Warung rokok di hampir setiap halte di Jakarta, dan sekarang toko baju ini, menambah fungsi baru pada ruang-ruang tersebut yang umumnya tersia-siakan. [Farid Rakun: http://www.karbonjournal.org/photo/halte-rangkap-toko-baju]

Dari keseharian ini, tertuang pula cerita pendek, puisi, dan karya sejenisnya. Yang bukan berarti fiktif, tapi atas apa yang biasa terjadi, juga yang tidak biasa. Di bawah ini adalah keduanya.

Ketika itu, Jakarta sedang hujan cukup lebat, jalan macet seperti selalu. Klise. Kami berbagi halte yang sama untuk berteduh. Ia dengan sepeda lipatnya, aku dengan buku ekonomi makroku. “Maaf, jam berapa?” Ia tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu. Keberadaannya memang sudah tidak asing lagi, sering aku melihatnya membeli rokok di warung sebelah halte, ketika aku sedang menunggu angkutan. Sepertinya, begitu jugalah sosokku di matanya. Kami saling menyadari keberadaan satu sama lain, tanpa pernah benar-benar bertegur sapa. [Halte. Cindy Egifania: http://sikacamatakuda.tumblr.com/post/2683593988/halte]

Hujan tengah malam membimbingmu ke sebuah halte bis dan membaringkanmu di sana. Kau memang tak pernah berumah, dan hujan tua itu kedengaran terengah batuk-batuk dan tampak putih. Pagi harinya anak-anak sekolah yang menunggu di halte bis itu melihat bekas-bekas darah dan mencium bau busuk. Bis tak kunjung datang. Anak-anak tak pernah bisa sabar menunggu. Mereka menjadi kesal dan, bagai para pemabok, berjalan sempoyongan sambil melempar-lemparkan buku dan menjerit-jerit menyebut-nyebut namamu. [Di Sebuah Halte Bis. Sapardi Djoko Damono: http://lenterahati.web.id/di-sebuah-halte-bis.html]

IV.

PKL masih jadi masalah di halte? Bahkan pemerintah daerah dan beberapa pihak telah mengendus keuntungannya, berupaya melibatkan diri dalam pengadaannya.

Pemerintah Kota Tangerang melalui Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Tangerang akan menyedikan halte berkios. Halte berkios ini nanti menyediakan berbagai macam kebutuhan masyarakat, yakni menu makanan dan minuman. Menurut Sekretaris Dishub Kota Tangerang Facthulhadi, halte berkios ini diperuntukkan bagi masyarakat khususnya calon penumpang transportasi. “Masyarakat bisa membeli makanan dan minuman di kios tersebut dan ini merupakan salah satu bentuk pelayanan kepada masyarakat Kota Tangerang.” Kebersihan halte menjadi tanggungjawab dari penghuni kios, jadi mereka kita imbau untuk dapat menjaga kebersihan, ketertiban dan keindahan disekitar halte. [http://bataviase.co.id/node/485065]

Peneliti Institut Studi Transportasi (Instran) Izzul Waro berpendapat, keberadaan halte cukup mempengaruhi minat masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Untuk itu, pemerintah seharusnya bisa membuat halte lebih nyaman, aman, dan menarik. Menurut dia, jarak ideal antar halte adalah 300 meter. Selain sebagai tempat pemberhentian angkutan umum, keberadaan halte bisa menjadi salah satu sumber pendapatan. Di sekitar halte bisa dibuat areal perbelanjaan tanpa harus mengganggu fungsi utamanya sebagai tempat menaikkan dan menurunkan penumpang.“Jika di tiap halte disediakan semacam toko, otomatis pengguna angkutan akan menggunakan halte untuk menunggu bus.” [http://instran.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1041:jakarta-barat-minim-halte-&catid=25:front-page&Itemid=1&lang=in]

Belum bisa diduga latar belakang halte berkios ini. Apa ia memang mengakomodasi keakraban warga dengan halte? Tapi, alih-alih sebagai halte, nanti malah jadi deretan kafe. Apa ia bisa menjamin warga tetap nyaman duduk tanpa merasa wajib ikut mengonsumsi?  Dan, jangan-jangan, halte berkios malah dipenuhi orang-orang yang bukan menunggu bus, sehingga calon penumpang tetap menunggu bus di luar halte, kehilangan atap pelindung dari panas dan hujan.

Selama ini, kebanyakan kios di halte tersedia atas upaya warga, tanpa keterlibatan pihak-pihak yang lebih berwenang. Pada sebagian halte, ia memang menyita ruang. Tapi, masih banyak PKL yang tak semena-mena, dan malah menguntungkan warga kota untuk berinteraksi maupun menunggu bus. Cenderung terlihat ada kesadaran menjalankan ruang, sebagai privat sekaligus publik. Sehingga, daripada menyita ruang atau menjadikan ruang publik sebagai privat, keduanya ada dalam keseimbangan.

Mereka menyediakan makanan, minuman, rokok, bacaan dari Kompas sampai Lampu Merah, yang dibeli juga oleh Tramtib ketika tidak bertugas. Kehadiran mereka setidaknya mampu menjadi ukuran kenyamanan dan keamanan. Selama-lamanya orang menunggu bus di halte, masih lebih lama mereka yang tinggal di sana seperti pemilik warung rokok permanen. Pengguna bus juga bisa merasa aman, karena kita tentu lebih memilih halte yang ramai daripada sendirian di halte yang sepi. [Ardi Yunanto: http://www.karbonjournal.org/focus/terlalu-lama-menunggu-halte-bus-di-jakarta]

Pihak yang diuntungkan dari keberadaan PKL dan sejenisnya ini, bukan cuma Tramtib dan warga kota, tapi juga para jurnalis, serta bukan tak mungkin bagi polisi. Mereka-lah yang berpotensi menjadi saksi atas kejadian-kejadian di sekitar halte.

Tina (23), seorang pedagang asongan rokok yang biasa mangkal di sekitar halte itu, mengatakan, kerusakan atap halte itu sebenarnya telah terjadi sejak beberapa bulan lalu. “Saya tidak ingat mulai rusaknya kapan, tapi yang jelas sudah cukup lama juga kerusakan itu terjadi” [http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=39344]

“Setiap malam halte tersebut digunakan PSK dan waria untuk mencari mangsa,” kata Edit (36), tukang ojek yang biasa mangkal di seputar Kantor Walikota Jaksel kepada detikcom. Walikota Jakarta Selatan, Syarul Effendi pun ikut gerah akan keberadaan halte itu. Dia memerintahkan Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Selatan untuk segara membongkar halte tersebut. [http://www.forumkami.com/forum/cafe/16565-halte-sarang-mes-m-dibongkar.html]

Karena terus menerus ada di halte, bukan tak mungkin justru mereka yang punya rasa ‘memiliki’ pada kepentingan publik ini. Seperti halnya mereka menganggap halte adalah ladang penghidupan, tak cuma pekerjaan yang bisa beralih kalau ada tawaran lebih menguntungkan dari sekedar menjadi pelayan halte berkios. Sebagai ladang penghidupan, termuat potensi untuk memberdayakan halte, menjaga kenyamanan halte, termasuk kebersihan dan keamanan, agar warga tetap betah memanfaatkan halte sehingga terjaga sumber pendapatan.

Apakah penghuni halte berkios yang diadakan pemerintah, mampu menyelenggarakan rasa memiliki seperti ini? Sebenarnya tanpa perlu ikut-ikutan menyediakan halte berkios, peran yang bisa dijalankan pihak-pihak berwenang  sebaiknya dititikberatkan pada terselenggaranya keseimbangan porsi ruang halte. Agar ruang bagi PKL tidak memakan ruang tunggu calon penumpang bus, terjaga keuntungan yang diperoleh kedua belah pihak dalam memanfaatkan porsi halte.

Pun menurut warga, masih banyak yang bisa ditingkatkan dari keberadaan halte, selain menyediakan sebentuk atap dan sepenggal bangku.

Aku tertarik dengan halte-halte bus di Kota Solo. Halte-halte disana, atas sponsor salah satu produk rokok, dipasangi informasi tentang nomor telepon penting. Ini menarik dan informatif. Ide Pemkot Solo guna melayani masyarakatnya luar biasa. Saya apresisasi betul waktu itu. [Halte Informatif. Rokhman Munawir: http://kaumbiasa.com/halte-informatif.php]

Informasi tambahan di halte harusnya mudah dibaca. Informasi mengenai peta, rute, dan sebagainya, yang sebaiknya dibuat fleksibel untuk diganti. [Kritik Mambangun untuk Halte Kota Bandung. Arry Akhmad Arman: http://kupalima.wordpress.com/2010/03/28/kritik-mambangun-untuk-halte-kota-bandung/]

Penggunaan tenaga matahari tersebut bukan saja untuk menghidupkan lampu di halte dan lampu untuk papan iklan yang ada, tetapi juga sebagai sumber daya untuk Wi-Fi (hotspot). Ah, seandainya saja ini bisa dilakukan di Indonesia. Tapi untuk saat ini kami cuma berandai semua halte bis yang ada di sini bersih dan nyaman. Tidak banyak kan permintaan kami? [http://www.otakku.com/2009/06/02/halte-bis-di-san-fransisco-menggunakan-tenaga-matahari-dan-ada-hotspot-nya/]

Demi kepentingan bersama, pada halte yang morat-marit di Jakarta, ada sekelompok warga yang turun tangan memperbaikinya. Perhatian warga juga sampai pada detail-detail, yang semestinya bisa terabaikan oleh hiruk pikuk kota. Maka, daripada larut menuduh penyalahgunaan fungsi halte dengan setiap kegiatan warga, perlu ditimbang kembali halte yang bisa saja terbengkalai tanpa jasa dari kegiatan para warga. Dan, selalu mungkin jika ini yang diperlukan oleh halte-halte kesepian.

Para pengguna angkutan umum yang menunggu bus di halte tersebut resah. Sebab jika musim hujan, mereka tak dapat berteduh, air hujan menerobos atap halte. Sebenarnya sejumlah warga sekitar, telah berinisiatif menambal atap halte yang rusak dengan seng. [http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?nNewsId=39344]

Ini adalah sebuah halte bus di Jatibaru, Jakarta. Foto bagian atas adalah tulisan yang lama, karena banyak yang mengatakan salah, jadi digantilah yang baru. [http://www.akupercaya.com/humor-canda/12890-konyol.html#post468957]

Di halte tidak cuma menunggu. Bermacam warga berkegiatan sesuai ruang dan perangkat halte. Bisa mendengarkan musik, membaca koran, atau bersantai melepas lelah.
Halte generasi pertama, berkapasitas banyak, di penggal jalan yang relatif tak dilalui banyak trayek angkutan umum.
Salah satu halte atap Betawi, dengan papan reklame di atap.
Salah satu halte berkapasitas mini di jalan raya, yang dilalui kendaraan umum berbagai jurusan.
Saya sedang menunggu teman, kata pemuda yang membawa helm ini. Halte ini terletak setelah jalur keluar underpass. Agak tajam jika angkutan umum harus segera menepi di sini.

4 thoughts on “Album Kompilasi Menghasrati Halte

  1. Pingback: MRT atau, dan Bus? « Rujak

  2. Pingback: BUDAYA VISUAL DAN LEDAKAN INFORMASI: Oleh-oleh dari Jepang « Rujak

  3. sewa alphard says:

    sekarang halte hampir sudah tidak kelihatan fungsinya seperti dahulu. Mobil di indonesia khususnya di jakarta pasti berhenti tidak di halte tetapi berhenti disembarang tempat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *