13 sungai dan puluhan kali melewati wilayah Jakarta dalam bermacam rupa, warna dan bau. Sungai dan kali tersebut membelah jalan, mengiringi jalan, ada di belakang rumah kita atau sepanjang kita berjalan dan bersepeda. Lalu bagaimanakah warga Jakarta berinteraksi dengan sungai-sungai itu.
Mantan gubernur kita pernah menyatakan sungai-sungai di Jakarta ibarat WC umum terpanjang di dunia. Tak hanya berfungsi sebagai WC, sungai pun menjadi tempat sampah, padahal sampah dan sungai itu tanggung jawab dan milik bersama. Namun ketika menyangkut masalah sampah, mendadak kesadaran kolektif pun menguap. Relasi manusia dengan sungai disini adalah, manusia berhak menguasai sungai, tapi apakah ia memelihara sungai – belum tentu.
Lain padang lain belalang, lain Jakarta lain Singapura. Memang tak adil membandingkan Jakarta dengan negara tetangga yang ber-GDP puluhan kali lipat. Tapi relasi antara Jakarta dan Singapura demikian dekat – waktu tempuh yang singkat, menjadikan Singapura lebih mudah dijangkau dari Jakarta dibandingkan misalnya, Tasikmalaya; serta entah berapa banyak orang Indonesia, khususnya warga Jakarta yang pernah tinggal disana, atau sedang tinggal disana, atau bolak balik ke Singapura. Jika Jakarta, katanya, memperlakukan sungainya sebagai tempat sampah dan WC umum, lain pula dengan Singapura. Mereka menganggap sungai sebagai reservoir, aset, dan dimana air tersebut ditangkap untuk diolah menjadi air mandi, memasak, cuci pakaian hingga mandi.
Kerap kali pengolahan air, terutama air minum ditempatkan pada area yang jauh dari kehidupan manusia dan polusi. Sumber air pun diproteksi demikian pula hutan-hutan disekitarnya. Namun tidak demikian bagi negara-kota macam Singapura yang memiliki sumber daya alam terbatas dam harus tergantung pada Malaysia dan Indonesia untuk pemenuhan air bagi warganya. Mereka harus mencari alternatif dan mengurangi ketergantungan itu. Salah satunya adalah langkah radikal mengubah 2 sungai besar yang membelah Singapura menjadi reservoir air, dan tak hanya sungai besar, berikut pula anak-anak sungainya. Padahal ada bagian sungai-sungai tersebut melewati daerah padat kegiatan, seperti Clarke Quay, Boat Quay, Marina dan Esplanade.

Tentu bagaikan mimpi di siang bolong jika ada gubernur Jakarta yang berambisi untuk me-reservoir-kan 13 sungai Jakarta. Hanya ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik disini, terlebih jika kita memperhatikan tulisan pada gambar diatas. Bagaimana relasi kita dengan sungai Jakarta? Benarkah WC umum? Tempat sampah? Atau kambing hitam saat banjir?
Respon yang paling standar tentunya: Serba salah sih… Pemerintah juga masih belum bisa menyediakan tempat tinggal yang layak bagi seluruh warganya, serta sumber air bersih dan sistem sanitasi yang layak.
Tapi, memang untuk mencapai kemajuan, kita harus berani bermimpi yang tinggi, seperti dengan melihat apa yang terjadi di Singapura dan di negara tetangga lain.
IMHO, mereka yang mempunyai relasi erat dengan ke-13 sungai di Jakarta adalah mereka yang menggantungkan hidupnya di sungai tersebut dan justru tidak punya akses, kapasitas, dan kapabilitas untuk melakukan sesuatu. 🙂
Salam kenal mbak Elisa!
Sedih rasanya melihat kondisi kali di Jakarta, lagi2 kedisiplin-an dari semua pihak harus dikedepankan baik itu masyarakat dan pejabatnya.
Masyarakat jangan membuang sampah sembarangan ke kali dan pejabat harus tegas menindak dengan tegas apabila ada pelanggaran, terutama buangan limbah industri yang amat merusak ekosistim kali dari hulu ke hilir hingga ke muara yang berujung pencemaran di teluk Jakarta.
Pengerukan berkali kali tidak akan menyelesaikan masalah kalau kedisiplinan belum ditegakkan, mari kita gencarkan kampanye kali bersih kepada masyarakat….dan tindak dengan tegas industri yang membuang limbah tanpa pengolahan ke kali…..
Salam
Jakarta tidak mempunyai sungai lagi, sungai yang ada sudah berubah fungsi menjadi saluran air hujan atau hanya berfungsi mengalirkan air hujan saja. Selama kurang lebih 7 bulan pada musim kemarau sungai Ciliwung, sungai terbesar di antara 13 sungai, yang masih memiliki sedikit hutan di hulu, hanya mengalirkan sedikit air ke arah Bendung Katulampa yang semua di sadap oleh pintu irigasi. Tidak setetes air pun yang melewati bendung menuju Jakarta, jadi yang tampak hanya aliran air limbah penduduk yang makin besar debitnya sampai Jakarta. Inilah yang menyebabkan tranportasi air Gub Setyoso gagal. Sungai2 yang lain yang tidak memiliki hutan di hulu karena semua sudah berupa permukiman atau kebun rakyat dan lapangan golf. Kali yang lain lebih parah sebab tidak ada lagi debit berasal dari mata air sehingga hanya berisi air limbah lebih lama.Ini berarti air limbah tidak dicairkan lagi dan makin pekat dan berbau ketika sampai di Teluk Jakarta, yang mencemari air laut.
Agar Ciliwung bisa berair sedikit dan bisa menyediakan air baku untuk PDAM dan PAM Jakarta waduk di Gadog perlu di bangun meskipun tidak dapat sebagai pengendali banjir.
* bagaimana jakarta mau majuu . ?, klo penduduk/masyarakat’a pada susah untuk menaati peraturan yang adaa ..
* bagaimana jakarta mau bersih, klo penduduk/masyarakatnya ajaa pada buang sampah sembarangan (dikali/disungai ) ..
klo w jadi pemerintah .. w akan merubah jakarta menjadi bersih..
ngga banget dechh klo tiap hari harus liat sampah numpuk disungai, dan banjir karna tumpukan sampah ..
yaaa allah ..
klo ajaa w punya uangg banyak .. w akan sewa orang tuk bersihin ituu kali diindonesia..
apa nama lengkap ke 13 sungai tersebut yang melewati pesisir jakarta ?
Nama 13 sungai itu adalah Ciliwung, Kali Baru, Cipinang, Sunter, Krukut, Mampang, Angke, Cengkareng Drain, Moonkevart, Grogol, Kali Baru, Cakung, Kamal.