oleh Alghiffari Aqsa
Komentar Umum PBB No. 7 tentang Hak Atas Tempat Tinggal yang Layak: Penggusuran Paksa (Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menyatakan bahwa dalam hal penggusuran tidak bisa dihindari maka pemerintah harus memastikan bahwa solusi alternatif telah disediakan[1]. Tanpa solusi alternatif maka pemerintah dilarang untuk melakukan penggusuran. Hingga saat ini belum banyak terdapat solusi alternatif yang disediakan oleh pemerintah ketika terjadi penggusuran. Penggusuran seringkali dilakukan secara paksa dan mengusir korban penggusuran tanpa solusi apa-apa. Seringkali korban penggusuran pasca penggusuran melakukan upaya sebagai berikut:
- Kembali ke lahan tempat semula ia digusur ketika petugas Satpol PP sudah tidak berada di lokasi.
- Pindah ke lahan lain yang terlantar atau bukan diperuntukkan untuk perumahan. Misalnya kolong tol, bantaran kali, dsb.
- Menumpang di rumah keluarga untuk sementara.
- Menyewa rumah di tempat lain.
- Kembali ke kampung halaman dimana ia memiliki rumah ataupun keluarga untuk menumpang.
Dalam prakteknya, korban seringkali kembali ke lahan atau pindah ke lahan lain. Sebagai contoh warga Bongkaran Jakarta Pusat, yang digusur paksa oleh Pemprov DKI dan PT. Kereta Api Indonesia pada awal Agustus 2014, pindah ke bantaran kali tidak jauh dari lokasi penggusuran. Contoh lain yaitu warga Papanggo yang digusur paksa oleh Pemprov DKI yang keliru mengidentifikasi penggusuran, pasca penggusuran warga beralih ke kolong tol dan hingga saat ini tinggal kembali di lahan penggusuran. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggusuran paksa bukanlah solusi untuk penataan kota, keindahan ataupun ketertiban. Masyarakat miskin yang tidak memiliki sumber daya untuk membeli atau menyewa rumah layak akan selalu melakukan berbagai cara untuk memiliki tempat tinggal, tidak peduli seberapa tidak layakkah rumah tersebut.
Mengacu kepada perkiraan resmi, sekitar 80% rumah di Indonesia dibangun melalui informal dan swadaya. Pada tahun 2011 terdapat kurang lebih 59.000 hektar lahan kumuh di Indonesia (pada tahun 2009, 23 persen dari penduduk kota tinggal di area kumuh) dan akan mencapai 71.860 hektar di tahun 2025 dengan peningkatan 1,37% pertahun. Dalam sejarahnya, rumah swadaya telah membantu pemerintah untuk mengurangi beban biaya menyediakan rumah murah untuk masyarakat miskin.[2] Sementara itu angka Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 mencatat kekurangan kebutuhan rumah di Indonesia mencapai 13,6 juta unit dan bertambah 700.000-800.000 unit setiap tahunnya.[3] Angka tersebut menunjukkan bahwa penggusuran paksa justru akan menambah berat tugas pemerintah untuk menyediakan perumahan, belum lagi rumah yang tersedia jauh dari kriteria layak.
Berdasarkan hal tersebut di atas, pemerintah sudah seharusnya berkaca pada pengalaman-pengalaman baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk mencegah penggusuran paksa dan memberikan solusi alternatif bagi setiap orang yang akan terkena penggusuran ataupun yang harus dibantu untuk mendapatkan perumahan yang layak. Beberapa alternatif ataupun inisiatif yang patut dicontoh antara lain:
- Penataan Kali Code (Yogjakarta)
Penataan Kali Code merupakan bentuk keberhasilan bahwa penataan kali tidak harus menggusur warga yang menghuni bantaran sungai. Modernisasi dan pembangunan bisa sejalan dengan kebutuhan hak atas perumahan warga berpenghasilan rendah. Warga pinggir Kali Code yang diorganisir oleh Romo Mangun berhasil bertahan dari penggusuran paksa pemerintah dengan menunjukkan bahwa warga mampu melakukan penataan secara mandiri dan membuat bantaran kali lebih bersih, indah, dan aman untuk dihuni. Hingga saat ini Kali Code dijadikan percontohan solusi penataan warga, tidak hanya level nasional, melainkan juga sering menjadi contoh atau penelitian dari manca negara terkait penataan pinggir kali.
Dalam mempertahankan Kali Code dari penggusuran tersebut, secara garis besar terdapat dua hal yang dilakukan oleh warga Kali Code, yaitu:
- Pemberdayaan
Romo Mangun memberikan pemberdayaan dan pengorganisasian terhadap warga pinggir Kali Code dengan sangat intens. Selama delapan tahun Romo Mangun berusaha memberikan pemberdayaan. Pemberdayaan berhasil mengubah paradigma masyarakat bagaimana menghargai lingkungan dan sungai. Budaya membuang sampah ke kali kemudian bisa diubah, budaya menjadi ditonjolkan dan menjadi identitas warga Kali Code. Bagian terpenting dari pemberdayaan adalah menguatnya kolektivitas warga Kali Code.
- Penataan
Romo Mangun menggunakan dua macam metode. Pertama besifat pendekatan intuitif (black box). Kedua metode rasional dan transparan dengan mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat pengguna sejak pembentukan konsep sampai hasil akhir.[4] Mengikutsertakan masyarakat tersebut sebenarnya juga bagian dari pemberdayaan sehingga masyarakat merasakan kepemilikan terhadap penataan dan merasa dihargai sebagai manusia. Penataan yang cukup memberikan dampak adalah dengan mengubah rumah menghadap ke sungai sehingga tidak menjadi tempat sampah dan dijaga kebersihannya. Penataan juga berhasil mempertahankan bantaran dan tidak mengganggu aliran sungai dan menyediakan fasilitas-fasilitas untuk kebutuhan warga Kali Code. Penataanpun akhirnya mampu melampaui peraturan perundang-undangan yang melarang adanya pemukiman di sempadan sungai.
Model penataan Kali Code dianggap telah memenuhi prinsip-prinsip dasar dalam kegiatan penataan kampung yang dirinci oleh UN Habitat. Pertama, legalisasi status kepemilikan terhadap situs lahan dan perumahan, termasuk regularisasi terhadap perjanjian sewa untuk menjamin masa perbaikan. Kedua, penyediaan atau perbaikan pelayanan teknis, misalnya air bersih, limbah dan pengelolaan limbah cair, sanitasi, listrik, trotoar jalan, penerangan jalan. Ketiga, penyediaan atau perbaikan infrastruktur sosial seperti sekolah, klinik, pusat komunitas, taman bermain, kawasan hijau. Keempat, perbaikan lingkungan fisik, termasuk rehabilitasi/peningkatan stok perumahan yang ada. Kelima, jika dianggap perlu, pembangunan unit rumah baru termasuk dalam skema up-grading. Keenam, desain ulang rencana pembangunan pemukiman, termasuk, penataan ulang situs lahan dan pola jalan sesuai dengan kebutuhan infrastruktur. Ketujuh, perubahan kerangka kebijakan atau peraturan yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan yang tersedia bagi orang miskin.[5]
- Penataan Stren Kali di Surabaya
Sejarah adanya pemukiman di kali yang membelah kota Surabaya telah ada sejak ratusan tahun lalu, semenjak jaman penjajahan Belanda. Kondisinya kemudian semakin padat dan pada tahun 2002 mencapai 1.359 bangunan di stren kali Surabaya dan 1.422 bangunan di Kali Jagir Wonokromo.[6]Dengan alasan normalisasi dan penataan, pada tahun 2002, sebagian warga berhasil digusur oleh Pemerintah Kota Surabaya. Warga kemudian melakukan protes dan melakukan pengorganisasian untuk menolak penggusuran.
Paguyuban Warga Stren Kali Surabaya (PWSKS) bersama UPC, Uplink, akademisi, arsitek, dan organisasi-organisasi lain kemudian mengorganisir diri dan menyusun konsep alternatif untuk menghindari penggusuran. Warga kemudian melakukan inisiatif untuk memundurkan rumah dan membalikkan posisi tampak depan rumah menghadap sungai, upaya pengomposan, program Jogo Kali demi menjaga kebersihan Stren Kali hingga penghijauan kampung.[7] Akhirnya Sunan Jogokali bisa membuka mata para Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur yang tergabung dalam Panitia Khusus (Pansus) Peraturan Daerah (Perda) Penataan Permukiman Stren Kali Surabaya. Pada 7 Oktober 2007, DPRD Propinsi Jawa Timur mengesahkan sebuah peraturan yang sangat partisipatif dan pro rakyat, yaitu Perda Nomor 9 Tahun 2007 tentang Penataan Permukiman Stren Kali Surabaya, yang intinya memperbolehkan warga tetap tinggal di Permukiman Terbatas di Stren Kali, dengan melakukan penataan kampung.[8]
Bentuk komitmen dan kegiatan penataan swakelola warga antara lain:
- Memegang prinsip-prinsip kampung JOGO KALI (menjaga kebersihan sungai, menjaga lingkungan kampung yang sehat dan tidak mencemari sungai, menghadapkan bangunan/rumah ke arah sungai, menjaga ikatan sosial dan budaya kampung)
- Menguatkan sistem tabungan yang sudah berjalan di kampung, sebagai modal untuk merenovasi kampung dan rumahnya
- Membuat sistem pengolahan limbah rumah tangga dan sistem pengolahan sampah secara komunal, dan juga sistem pengolahan limbah alternatif (ramah lingkungan) seperti BIOGAS, septik tank komunal, komposting untuk mewujudkan kampung yang sadar terhadap lingkungan dan sungainya
- Rumah-rumah yang berada di pinggir sungai, siap untuk dihadapkan ke sungai dengan konsep peremajaan wajah rumah dan membuat jalan inspeksi dan penghijauan secara swadaya.[9]
Bentuk konsep penataan dan penghijauan Stren Kali.[10]
- Solusi Berbagi Lahan Kampung Pisang (Makassar)
Kampung Pisang merupakan wilayah seluas kurang lebih 3,7 Ha, dengan jumlah penduduk kurang lebih 40 KK, 240 Jiwa. Sengketa terjadi antara pihak ahli waris yang mengklaim memiliki tanah dan menginginkan warga untuk meninggalkan lahan. Warga Kampung Pisang dan warga RT 2 RW 5 kemudian melakukan upaya-upaya perlawanan dengan mendatangi DPRD Kota Makassar, Kantor Kecamatan, Kantor BPN Kota Makassar. Tahun 2007 BPN malah menerbitkan sertifikat atas nama Andi Mappagiling, yang kemudian bersama investor menawarkan relokasi warga ke Kabupaten Gowa, tapi ditolak oleh warga, karena jauh di pinggiran Kota.[11]
Pada tanggal 13 Nopember 2009 di hotel Banua, dalam kesempatan dialog warga anggota KPRM dengan Walikota Makassar, digagas penyelesaian sengketa tanah dengan cara land-sharing (berbagi lahan) dengan pengusaha, sebagai alternatif penggusuran/relokasi. Sebagai konsekuensinya, pemerintah kota diminta memediasi sengketa warga dengan pemilik lahan untuk merealisaikan gagasan pemecahan masalah tersebut. Cara-cara seperti ini merupakan komitmen kepemimpinan walikota Ilham Sirajuddin Arief selama menjabat.[12]
Sebagai tindak lanjutnya, warga kampung pisang beberapa kali melakukan pertemuan untuk membuat kesepakatan mengenai penataan kampung sendiri (rumah, infrastruktur, fasilitas umum, balai warga, pengelolaan sampah). Dengan bantuan seorang mahasiswa arsitek, CO KPRM, dan jaringan nasional UPC, serta program ACCA Bangkok, bersama warga melakukan pengukuran luas lahan dan rumah, kemudian menyusun kesepakatan-kesepakatan sebagai berikut:[13]
1) Warga bersedia bekerjasama dengan pemerintah kota dan pemilik lahan, serta pihak lain yang berkompeten dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
2) Warga bersedia menyatukan rumahnya dalam satu blok pemukiman, dan membuat lay-out lahan baru sesuai dengan luasan yang dibutuhkan.
3) Warga sanggup menata ulang pemukiman, khususnya untuk legalitas tanah, perumahan, balai warga, dan unit pengelolaan sampah.
4) KPRM sebagai organisasi pendamping rakyat sanggup melakukan pengorganisasian dan mobilisasi jaringan pendukung yang dibutuhkan penataan pemukiman kampung pisang.
Solusi seperti di atas menunjukkan bahwa penggusuran paksa dapat dihindari tidak hanya dengan melakukan relokasi, melainkan juga dengan solusi berbagi lahan. Masalah administrasi, pembuktian, dan kepemilikan surat-surat dapat diatasi dengan win-win solution. Walikota berperan sangat vital dalam pemberian solusi berbagi lahan, justru tidak menjadi aktor untuk melakukan penggusuran paksa dengan pasukan Satpol PPnya.
- Penataan Partisipatif di Bungkutoko Kendari
Sebanyak 55 keluarga terlibat dalam proses relokasi partisipatif yang memindahkan warga sejauh 500 m dari permukiman semula. Proses relokasi dan perencanaan pembangunan dilakukan secara partisipatif bersama warga dan difasilitasi oleh Rujak Center for Urban Studies (RCUS) dan jaringan arsitek komunitas Yogya (Arkom-Yoga). Tanah seluas 1,8 Hektar yang disediakan oleh pemerintah tidak diberikan secara cuma-cuma. Warga menyicil untuk biaya tanah dan pembangunan rumah melalui kelompok tabungan yang dibentuk oleh warga. Setelah 20 tahun, penguasaan tanah akan menjadi Hak Milik yang sebelumnya Hak Guna Bangunan (HGB).[14]
Wakil Walikota Kendari menyampaikan bahwa proses di Bungkutoko menjadi cikal bakal pendekatan City Wide Upgrading dengan warga terlibat dalam keseluruhan proses. Diharapkan pendekatan ini dapat mengatasi persoalan kemiskinan di Kendari karena memberikan kepastian jaminan bermukim.[15]
Selain beberapa konsep penataan dan bagi lahan yang telah berhasil tersebut, terdapat juga beberapa inisiatif dari marga yang tidak mendapatkan respon yang layak dari pemerintah. Konsep tersebut antara lain:
- Solusi Penataan Komunitas Ciliwung Merdeka (Jakarta Timur)
Ciliwung Merdeka merupakan gerakan kemanusiaan yang terdiri dari anak remaja, warga Kebon Pala II Kampung Melayu, Jakarta Timur, serta dibantu oleh penggiat kemanusiaan, organisasi masyarakat sipil, dan arsitek komunitas. Ciliwung Merdeka dapat dikatakan cukup berhasil melakukan pemberdayaan terhadap warga disekitarnya yang selalu dipersalahkan jika terjadi banjir akibat membuang sampah sembarangan.[16]
Dengan alasan untuk mencegah terjadinya banjir, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta berencana melakukan normalisasi Kali Ciliwung dengan cara melakukan penggusuran terhadap setiap warga yang tinggal di bantaran kali Ciliwung. Ciliwung Merdeka kemudian mengajukan konsep alternatif untuk mengakomodir tujuan pemerintah daerah agar kali tertata dengan baik, mengurangi pendangkalan dan memperlebar sungai, serta tercipta budaya peduli lingkungan. Konsep tersebut dinamakan dengan Kampung Susun dengan melakukan pelebaran sungai menjadi 35 meter, bantaran kurang lebih 6 meter dan pembangunan lima lantai ke atas untuk penataan dan efektivitas ruang yang lebih baik di Ciliwung. Selain itu juga dapat dibangun jalan yang bisa diakses mobil pemadam kebakaran dan 2 meter bantaran sungai untuk ruang hijau. Pada lantai dasar dialokasikan untuk warga yang memiliki usaha sendiri dan kemudian tersedia ruang publik untuk berinteraksi.[17] Sangat disayangkan konsep Kampung Susun tersebut tidak mendapatkan perhatian dari Pemprov DKI Jakarta
- Solusi Penataan Warga Budi Dharma (Jakarta Utara)
Sebanyak 77 Kepala Keluarga di Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara digusur paksa oleh Pemprov DKI Jakarta dan Walikota Jakarta Utara dengan berbagai alasan: warga dianggap mendirikan lahan tanpa ijin, lahan akan digunakan untuk saluran Kali Cakung Lama, dan akan dibangun rusunami. Tidak ada solusi alternatif yang diberikan oleh pemerintah dan melakukan penggusuran paksa di pagi hari, yaitu pkl. 05.00 pada tanggal 18 November 2009. Warga kemudian melakukan gugatan kelompok kepada Gubernur, Walikota Jakarta Utara, Kepala Satpol PP, dan Camat Cilincing. Gugatan warga dimenangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, dan saat ini kasus masih berada di Mahkamah Agung.
Setelah penggusuran, warga tetap menempati lahan dan memperjuangkan hak atas perumahannya. Warga dibantu oleh arsitek komunitas dan LBH Jakarta kemudian mengajukan konsep alternatif untuk bermukim dengan melakukan pembagian lahan dan penataan. Dibantu arsitek komunitas, warga menyusun sendiri konsep hingga menghasilkan 4 alternatif penataan di lahan seluas sekitar 3 Ha. Setiap penataan terdiri dari lahan komunitas (24-31%) dan lahan PT. Pulo Mas yang mengklaim tanah (60-70%). Konsep tersebut telah diajukan kepada Walikota Jakarta Utara dan Pemprov DKI, namun tidak ada kelanjutan pelaksanaan konsep yang disusun secara partisipatif dan memperhatikan kepentingan seluruh pihak tersebut.
- Solusi Bagi Lahan Warga Kebun Sayur Ciracas (Jakarta Timur)
Kebun Sayur terletak di daerah Ciracas, Jakarta Timur, dan memiliki luas kurang lebih 5,5 Ha, dan ditempati oleh 281 Kepala Keluarga. Warga sudah menempati Lahan Kebun Sayur 5-20 tahun kemudian pada tahun 2009 muncul klaim dari Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) bahwa lahan tersebut adalah milik PPD dan meminta warga untuk meninggalkan lahan. Warga kemudian menolak rencana penggusuran yang akan dilakukan oleh Walikota Jakarta Timur atas permintaan PPD.
Berbagai upaya dilakukan oleh warga Kebun Sayur untuk mencegah penggusuran paksa, termasuk mengajukan konsep bagi lahan kepada PPD dan Walikota Jakarta Utara. Adapun konsepnya adalah dengan melakukan pembagian lahan 5,5 (55.000 m²)Ha menjadi: pembangunan 200 rumah untuk tipe 36/60 dengan total 12.000 m², lahan pertanian 1,5 Ha, fasilitas umum 3000 m², dan PPD 2,5 Ha. Konsep bagi lahan tersebut disambut baik oleh DPR RI Komisi II yang mengurus masalah pertanahan.[18] Salah satu pendukung konsep tersebut adalah Bapak Basuki Tjahja Purnama (Ahok), anggota Komisi II DPR RI yang kemudian menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta. Sayangnya hingga saat ini tidak ada penyelesaian terhadap konflik tanah tersebut, warga masih menempati lahan namun tidak dalam status yang jelas. Bahkan Ahok yang semula setuju pembagian lahan, kemudian setelah menjabat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta lebih menginginkan warga tinggal di rumah susun (rusun), dimana warga menolak dengan mempertimbangkan rusun bukanlah solusi terbaik bagi kehidupan mereka.
Berkaca kepada beberapa solusi di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang terpenting dalam mencegah penggusuran paksa adalah pemberdayaan masyarakat dan political will dari pemerintah. Masyarakat mampu mengorganisir diri, membuat konsep secara partisipatif, dan melakukan penataan yang sangat membantu kerja pemerintah. Namun, di sisi lain, pemerintah tidak mau menerima dan menjalankan konsep alternatif dari warga dan memaksakan penggusuran paksa yang tentunya melanggar hak asasi manusia. Hendaknya pemerintah mendengarkan aspirasi dari warganya dan memberikan ruang untuk memenuhi hak asasinya serta berkontribusi dalam agenda pembangunan.
Sumber dan Catatan Kaki:
[1] Tercantum dalam angka 2 Komentar Umum: ..dalam Agenda Pemukiman, Pemerintah-pemerintah menyatakan diri melindungi semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan oleh hukum dari pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia pertimbangan; (dan) jika pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa solusi-solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.
[2] Abidin Kusno, Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta (Indonesia, 2012) vol. 94, pp. 23, 32. Sebagaimana dikutip dalam Raquel Rolnik, Report of the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context, hal. 6
[3] http://property.okezone.com/read/2013/01/04/471/741249/2013-backlog-perumahan-makin-membengkak, diakses pada 16 September 2014 pkl. 19:13.
[4] Rony Gunawan Sunaryo, Mengikuti Langkah Pikir Romo Mangun Sebuah Tinjauan Mengenai Metode Perancangan Arsitektur Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, hal.41.
[5]Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar, Solusi Alternatif Penataan Pemukiman Rakyat Miskin Kota. Lihathttp://rumahkampungkota.blogspot.com/2010/04/konsep-solusi-alternatif-penataan.html, diunduh pada tanggal 16 September Pkl.22:50
[6] Totok Wahyu Abadi dan Ita Kusuma Mahendrawati, Penertiban Versus Penggusuran: Strategi Komunikasi dan Partisipasi Pembangunan (Studi Kasus di Stren Kali Jagir WonokromoSurabaya), hal. 120.
[7] http://rujak.org/2010/11/sayembara-terbatas-penataan-kawasan-stren-kali-surabaya/ diunduh pada tanggal 16 September 2014 Pkl.22:55
[8] http://rujak.org/2009/07/%E2%80%98sunan%E2%80%99-jogokali-gotong-royong-hijaukan-kampung/ diunduh pada tanggal 16 September 2014 Pkl.22:54.
[9] Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar, Op.Cit.
[10] Ruang Jakarta, Sayembara Terbatas Penataan Kawasan Stren Kali Surabaya. Dapat diakses di http://www.rujak.org
[11] Komite Perjuangan Rakyat Miskin Makassar, Op.Cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] http://rujak.org/tag/penggusuran/ diakses pada 17 September 2014 pukul 0:16
[15] Ibid.
[16] http://www.koran-sindo.com/node/401130, diakses pada 17 September 2014 pukul 0:56.
[17] http://www.thejakartapost.com/news/2012/11/03/changing-slums-multistory-kampung.html diakses pada tanggal 17 September 2014 pkl 1:08.
[18] Audiensi ke DPR RI Komisi II tanggal 14 Oktober 2010.
Catatan : tulisan ini disalin dari https://alghif.wordpress.com/2014/09/22/beberapa-solusi-alternatif-tanpa-penggusuran-paksa/