Belajar Dari Surabaya: Membatalkan Tol Tengah Kota

 

Penulis : Ezi Zulkarnain . Mahasiswa Universitas Brawijaya  . Jurusan Sosiologi

Pada bulan Agustus 2010, Walikota Surabaya pada saat itu Bambang Dwi Hartono dengan jelas menolak pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya. Tol tengah kota direncanakan untuk dibangun karena untuk mengatasi kemacetan di dalam Kota Surabaya. Tol tersebut menghubungkan wilayah Waru Sidoarjo dengan Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Pada saat itu beliau meminta kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU) untuk membatalkan rencana pembangunan jalan tol tengah kota berupa jembatan layang sepanjang 25 kilometer yang membelah wilayah Kota Surabaya. Yang menjadi alasannya karena proyek tersebut tampaknya sudah lama berkatung-katung.

Rencana pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya memang sudah menjadi polemik sejak lama. Rencana proyek pembangunan jalan tol ini sudah ada sejak masa Orde Baru (sekitar tahun 1996) dan menjadi salah satu proyek tol nasional, namun sudah berpuluh-puluh tahun pembangunan tol tengah kota ini tidak jelas. Hal itu karena banyaknya kendala dalam pembangunan tol tengah kota, termasuk dalam hal sulitnya pembebasan lahan dan dana jaminan proyek yang tidak jelas. Konsensi proyek pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya dipegang oleh investor grup Bimantara yang dikenal cukup berkuasa di Surabaya pada saat itu. Rencananya total anggaran yang dibutuhkan untuk jalan tol tengah kota dibutuhkan sebesar Rp 6,5 triliun.

Ilustrasi jalan tol tengah kota

Pada bulan Oktober 2010, Walikota Surabaya sudah berganti masa kepemimpinannya dari Bambang Dwi Hartono digantikan oleh Tri Rismaharini. Permasalahan rencana pembangunan jalan tol tengah kota di Surabaya tampaknya sudah melebar sampai pada komoditas para politisi atau diintervensi oleh kepentingan politik, hal itu justru membuat permasalahan menjadi rumit. Pasalnya di antara politisi ada yang memihak kepada proyek tersebut termasuk DPRD atau Pemerintah Provinsi Jawa Tiimur, namun ada juga yang mendukung Walikota untuk melakukan penolakan.

Pada bulan Desember 2010, mulai ada isu bahwa masyarakat Surabaya menolak pembangunan tol tengah kota. Penolakan ini muncul melalui acara “Rembuk Warga Surabaya Tolak Tol Tengah Kota” yang diikuti oleh ratusan perwakilan warga dari 31 kecamatan se- Surabaya. Ratusan warga tersebut sepakat bahwa Surabaya tidak butuh tol yang diprediksi akan menggusur 4.500 rumah warga dilintasi jalan tersebut. Beberapa elemen masyarakat termasuk akademisi, menyatakan bahwa secara tata kota masyarakat Surabaya tidak membutuhkan jalan tol tengah kota, alasannya karena Pemerintah Kota Surabaya sudah membangun frontage road dan jalur lingkar barat maupun timur. Artinya, warga akan menggunakan jalan lintas tersebut dibanding jalan tol tengah kota jika nantinya tol tersebut terbangun. Kemudian alasan yang lain adalah akan memicu munculnya titik kemacetan baru, berkurangnya ruang terbuka hijau, dan meningkatnya pencemaran udara.

Pembangunan frontage road

Masuk pada bulan Februari 2011, Pansus Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Jawa Timur masih melakukan kajian ulang atas rencana pembangunan jalan tol tengah kota di Kota Surabaya. Kajian tersebut mencakup beberapa aspek, baik teknis maupun fisik, konstruksi, transportasi, barang dan jasa, aspek sosial dan aspek ekonomi (Hidayat, 2011). Proyek tol tengah Surabaya dengan ruas Waru-Wonokromo-Tanjung Perak hingga pada tahun ini tetap menjadi salah satu proyek tol nasional dan masuk ke dalam rancangan jaringan jalan tol trans Jawa. Gubernur Jatim pada tahun tersebut  adalah Soekarwo, yang secara jelas mendukung proyek ini belangsung. Alasannya adalah untuk mendorong alternatif tol tengah kota di atas aliran sungai Surabaya, yang menurutnya sekaligus menghindari penggusuran terhadap rumah warga yang berada di jalur tol nanti.

Diakhir tahun 2011, Pemerintah Kota Surabaya tetap menolak rencana pembangunan jalan tol di tengah kota karena seharusnya kecametan diurai dengan membangun jalan dipinggiran. Di dalam RTRW Jatim 2012-2020 telah diajukan empat opsi jalur tol dalam kota Surabaya. Pansus Raperda RTRW Jatim menganjurkan Pemkot Surabaya untuk melakukan judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2006 tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Nasional jika tetap melakukan penolakan. Secara legal memang jalan tol tengah kota sangat kuat karena dilindungi oleh enam produk hukum, yaitu UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, PP 15/2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang, PP 26/2006 tentang RTRW Nasional, Perda 2/200 tentang RTRW Provinsi Jatim, dan Perda 3/2007 tentang RTRW Kota Surabaya. Pada tahun ini Pemerintah Provinsi Jawa Timur tetap ingin pembangunan jalan tol ini berjalan untuk kepentingan integrasi sistem jaringan jalan di pulau Jawa. Namun, pada tahun ini pula berbagai elemen masyarakat di Surabaya tetap menolak keberadaan tol tengah kota karena untuk menolak penggusuran terhadap permukiman masyarakat.

Awal tahun 2013, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol yaitu Gani mengakui mengalami kesulitan dalam melobi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini supaya menyetujui proyek jalan tol tengah kota, sekaligus masyarakat juga menolak (Tempo.co, 2013). Menurut Risma, pembangunan jalan tol tengah kota tidak menyelesaikan kemacetan Kota Surabaya. Gani mengklaim bahwa segala dokumen bisnis proyek semuanya sudah rampung dan sudah ada perjanjian kontrak antara Kementrian Pekerja Umum dengan pelaksanan proyek yaitu PT Margaraya Tol juga sudah ditekan. Namun, proyek ini tidak bisa berjalan akibat adanya penolakan oleh Wali Kota. Artinya, persetujuan Wali Kota dan masyarakat menjadi kunci dari bisa tidaknya proyek itu berjalan.

Wali Kota Surabaya mengaku punya banyak pertimbangan mengapa ia menolak pembangunan jalan tol tengah di Kota Surabaya. Risma lebih memilih menata jalur transportasi umum sekaligus membenahi transportasi publik, salah satunya dengan membangun monorel dan trem. Artinya, untuk mengatasi macet tidak perlu ditambah jalannya, melainkan membuat peralihan antarmoda transportasi. Kemudian, pada prinsipnya Risma memiliki lima alasan utama di dalam penolakan ini.

  1. Memiliki prinsip bahwa masyarakat dapat menggunakan jalan secara gratis, tidak bayar seperti jalan tol
  2. Hanya orang tertentu saja yang bisa melewati jalan tol (yang memiliki kendaraan roda empat)
  3. Melalui teori pembangunan kota, solusi untuk mengatasi macet tidak dengan terus menambah panjang jalan, tetapi lebih ke sistem transportasi massal yang bagus
  4. Jika jalan tol layang dibangun, maka nilai property di bawahnya pasti jatuh dan mati
  5. Pembangunan jalan tol bisa menimbulkan banjir karena kaki-kaki dari jalan tol akan memotong aliran air

Wali Kota Surabaya Risma, menegaskan bahwa gagasan Pemkot Surabaya ini yaitu melakukan pembenahan transportasi publik yang cepat, nyaman, dan aman akan menjadi solusi puluhan tahun ke depan. Keunggulan proyek angkutan massal cepat (AMC) juga lebih ramah lingkungan. Pembangunan jalan tol yang melintas di tengah kota justru dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah kemacetan.

Pemkot Surabaya kemudian fokus menggarap jalan akses. Pemkot Surabaya fokus merealisasikan kebijakan memperbanyakan jalan akses untuk mengurai kepadatan kendaraan setelah kementian pekerjaan umum membatalkan proyek tol tengah kota di Surabaya. Sedikitnya ada lima proyek jalan akses yang saat ini digarap oleh Pemkot Surabaya, yaitu frontage road barat dan timur (jalan baru), middle east ring road (MERR), lingkar luar barat, lingkar luar timur. Pemkot mempercepat penyelesaian angkutan massal cepat (AMC) berupa monorel dan trem. Proyek frontage road dibangun di sisi barat dan timur Jalan Ahmad Yani Surabaya. Panjang jalan baru yang dikerjakan pada 2016 yakni 1.686,38 Km yang  terdiri dari frontage road sisi barat 1,200 km, frontage road sisi barat (RSI-Khadijah) 0,164 Km, Jalan Wiyung 0,160 km, pembangunan box culvert Jemur Juwingan 0,085 Km, pembangunan box culvert Kenjeran Larangan 0,366 Km dan pembangunan box culvert Sidotopo 0,407 Km. Pemkot Surabaya merevisi peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW)

Pada tahun 2017 jalan tol tengah dalam kota Surabaya yang sepanjang 18,2 km masuk daftar 55 Proyek Strategis Nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Di tahun yang sama, Pemkot Surabaya tetap fokus menggarap jalan akses yaitu melanjutkan pembangunan untuk jalan baru, perencanaan pembangunannya adalah Jembatan Benowo-Krajan panjang 8 meter lebar 4,5 meter, Sidotopo Wetan panjang 190 meter lebar 5 meter, Simpang Dukuh panjang 250 meter lebar 7 meter, frontage road sisi barat (depan bulog, Wonokromo dan Jeti) panjang 246 meter lebar 14,5 meter. Selain itu di tahun 2018, Pemkot Surabaya juga menyelesaikan proyek Jalan Lingkar Luar Timur (JLLT) dan meadle east road (MERR), JLTT ini menghubungkan terminal Juanda ke jembatan Suramadu dan sesuai dengan RTRW Kota Surabaya, sekaligus menyambung sampai pelabuhan Tanjung Perak. Jadi, jalan-jalan akses di Surabaya akan semakin panjang dan lebar. Wali Kota Surabaya Risma, juga menjamin sisa jalan MERR tuntas pada tahun 2018 ini, yaitu Jalan Kenjeran sampai tembus Bandara Juanda

Setelah itu, muncul isu tentang rencana penghapusan proyek nasional tol tengah kota di Surabaya dari rencana tata ruang nasional. Hal ini dikarenakan Dirjen Tata Ruang Kementrian Pekerjaan Umum melihat pembangunan jalur lingkar arteri dan proyek angkutan massal cepat di Surabaya sudah berjalan dengan baik. Kemudian, hambatan pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya dievaluasi oleh Direktur Program Kimite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP).

Ilustrasi Frontage Road

Pada awal tahun 2018, proyek tol tengah Kota Surabaya akhirnya dibatalkan Presiden Joko Widodo karena tidak memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh KPPIP. Ada tiga faktor yang dipertimbangkan dalam penghapusan status PSN, yaitu kemampuan finansial, teknis lapangan, dan pelaksanaan (Putsanra, 2018). Sebanyak 14 proyek infrastruktur yang masuk dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) resmi dicoret Presiden Joko Widodo. Dari ke-14 proyek itu termasuk proyek jalan Tol Waru yang dicoret dari daftar Proyek Strategi Nasional. Menurut Menteri Bidang Perekonomian Darmin Nasution, pencoretan tersebut dinilai tidak memenuhi syarat untuk dilanjutkan pelaksanaannya. Alhasil sampai saat saat ini masyarakat Kota Surabaya dapat dan tetap memanfaatkan jalan-jalan akses yang dibangun oleh Pemkot, seperti frontage road, middle east road, maupun jalan lingkar luar di Surabaya.

Masalah ini tampaknya menjadi relevan dengan permasalahan rencana pembangunan enam ruas jalan tol tengah kota di DKI Jakarta. Terkait dengan permasalahan tersebut, sikap yang ditunjukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk saat ini tampaknya berbanding terbalik dengan respon yang ditunjukan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Berangkat dari permasalahan ini, kita berharap bahwa sikap dan respon yang ditunjukan oleh Pemerintah Kota Surabaya serta dukungan masyarakat Surabaya dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk dilakukan oleh Pemerintah Daerah atau Provinsi DKI Jakarta serta dukungan masyarakat dalam menolak pembangunan enam ruas jalan tol tengah kota di DKI Jakarta.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Y. (2011, February 11). Pansus RTRW DPRD Jatim Kaji Tol Tengah Surabaya. Retrieved from http://bappeda.jatimprov.go.id: http://bappeda.jatimprov.go.id/2011/02/11/pansus-rtrw-dprd-jatim-kaji-tol-tengah-surabaya/

Putsanra, D. V. (2018, April 20). Langkah Jokowi Hapus 14 Proyek Strategis Nasional Dinilai Tepat. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/langkah-jokowi-hapus-14-proyek-strategis-nasional-dinilai-tepat-cH4Y

Tempo.co. (2013, March 18). Tol Tengah Kota Surabaya Masih Terganjal Wali Kota. Retrieved from bisnis.tempo.co: https://bisnis.tempo.co/read/467812/tol-tengah-kota-surabaya-masih-terganjal-wali-kota

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *