Teks dan foto: Rika Febriyani
Hujan tak turun deras dan sebentar saja. Jalan-jalan penasaran tak perlu berhenti. Pencakar langit belum terlintasi, atau saya tak mengingatnya. Sepanjang jalan, bangunan bertingkat empat menjadi raja. Mereka terus menjajar, seperti tanpa ujung.
Ibukota ini, meski lebih luas dari Jakarta, bukan kota besar. Warga yang saya temui cenderung mengidentifikasikan kota mereka ini dengan Jogjakarta. “Dua kota ini memiliki kesamaan, meski letaknya berjauhan*” kata Vamnak Seng, arsitek dan urban planner Phnom Penh. Di lain kesempatan, fotografer Phnom Penh, Chea Phal, berkomentar “Saya tidak suka kota besar seperti Jakarta. Saya ingin mengunjungi Jogjakarta, dan banyak teman yang merekomendasikannya.” Agaknya, diantara mereka, telah tersiar kedekatan karakter antara Phnom Penh dan Jogjakarta.
Kota Phnom Penh memiliki luas + 678 km2. Beberapa jalan utama membelah kota dan hanya jalan-jalan ini yang disebut dengan nama. Misalnya, Norodom Boulevard, Monivong Boulevard, Mao Tse Tung Boulevard, juga Monireth Boulevard. Sedangkah ruas jalan lain diberi angka, misalnya st 178 (jalan 178), st 252, dan lainnya. Gedung-gedung pemerintah dan perkantoran mengisi jalan-jalan utama, kebanyakan tidak dibangun berpuluh lantai. Pada banyak bangunan, gaya arsitektur Perancis – Khmer masih terasa melekat. Walau seperti di kota-kota lain, gedung berlapis kaca tak ketinggalan unjuk diri. Dan, yang paling membuat mata saya terbelalak adalah deretan balkon.
Si penyambut
Balkon merupakan teras lantai atas pada bangunan bertingkat. Di Phnom Penh, terutama di pusat kota, model hunian rumah toko (ruko) menjadi andalan. Satu ruko tersusun dari tiga hingga empat lantai ke atas, dan setiap lantai atas tersebut memiliki balkon. Setiap ruko berdampingan satu sama lain, sehingga bukan ruko saja yang memenuhi kota berpenduduk 2 juta jiwa ini, tapi juga ribuan balkon.
Saya bayangkan bermacam gaya dan aktivitas warga termuat di dalam susunan balkon tak terhingga ini. Apa saja yang mungkin terjadi dari balik jemuran dan tanaman hias. Mulai dari pertukaran informasi dan gosip, transaksi bisnis, tawar-menawar, percecokkan, aksi cari-cari perhatian, hingga perselingkuhan. Menurut Vamnak Seng, ruko dibangun pertama kali oleh developer dari Vietnam. Sejarah memang mencatat Vietnam menduduki Kamboja dari 1978 hingga 1990-an.
Hingga kini, konsep dan bangunan ruko masih dipertahankan, malah mungkin yang dianggap paling cocok bagi warga di kota tepi sungai Mekong ini. Seperti konsep ruko yang kita kenal, kegiatan niaga dan komersial berada di lantai dasar, sedangkan peruntukkan hunian di lantai atas. Demikian, ada satu-dua lantai atas yang difungsikan sebagai kafe, salon, atau galeri. Mereka menampakkannya dengan memasang papan nama atau aksen tertentu di balkon.
Ruko-ruko baru pun terus dibangun hingga pinggiran kota. Memang, jarang ada developer yang membangun perumahan, seperti di Bintaro atau Serpong. Ada yang mencoba membangun apartemen berlantai 30, hasilnya tampak kosong tak berpenghuni. Sayangnya, di pinggiran kota, ruko-ruko kelihatannya tak begitu diminati. Kebanyakan warga memilih menghuni rumah berpagar tinggi. Pada pinggiran rawa, masih ditemui rumah yang menyerupai rumah panggung, rumah khas suku Khmer. Rumah model ini sudah terbilang langka, meski sebagian besar penduduk adalah suku Khmer, dan Phnom Penh terbilang kota yang rawan banjir.
Kabel-kabel menjulur
Siapa yang menghuni lantai atas, belum tentu pemilik dari kegiatan komersial yang ada di lantai dasar. Pemilik ruko umumnya menyewakan lantai per lantai, bukan satu unit keseluruhan. Iuran listrik, air, dan telepon menjadi tanggungan penyewa, menurut jumlah pemakaian pada meteran. Setiap lantai di deretan ruko ini memiliki meteran masing-masing, yang disambung langsung dari tiang listrik terdekat. Tak heran, jika kota ini dilewati tumpukkan kabel-kabel yang rautnya bagai rambut kusut.
“Saya dibesarkan dengan pengetahuan tentang bahaya menyentuh kabel listrik atau berada di dekatnya saat hujan, tapi di sini hal-hal itu tidak terjadi” tutur Emiko Stock, peneliti sosial yang sudah belasan tahun menetap di Phnom Penh.
Memang mudah menemukan kabel-kabel listrik terputus begitu saja dan menjuntai ke trotoar. Tampaknya perhatian pemerintah setempat tak seberapa besar. Di beberapa penggal jalan, kabel-kabel malah menggantung terlalu rendah sehingga mudah menyentuh siapa saja yang melintas di bawahnya. Demikian dalam keseharian, Emiko mengaku tak ada kejadian warga tewas kesetrum kabel-kabel listrik ini, seperti terjadi di Jakarta waktu lalu. “Kecuali pada Water Festival 2010, lebih dari 300 orang tewas, sebagian karena kesetrum.” lanjutnya menyesali.
Tak ada keterangan pasti, apakah kabel listrik nan ruwet itu mengalirkan energi ke para pengguna sesuai prosedur? Berkaca dari Jakarta, sering pedagang di trotoar dan pemukim informal mengambil energi listrik dengan menyambungkan kabel tanpa sepengetahuan PLN, atau dengan membayar petugas PLN tapi tidak berarti ‘membayar’ ke PLN, atau bisa juga tercatat secara resmi sebagai pelanggan PLN tetapi tidak memiliki izin pemilikan dan penggunaan lahan secara resmi. Di Phnom Penh, hal serupa agaknya juga terjadi.
Banyak kabel dari tiang listrik mengarah ke bangunan-bangunan tua yang difungsikan sebagai tempat hunian. Penghunian bangunan tua ini dilakukan sepenuhnya atas kehendak warga. Misalnya, di sebuah gereja tua bernama The Chapel of the Sisters of Providence Hospice, ada puluhan keluarga telah bermukim belasan tahun. Berdasarkan kesepakatan di antara para penghuni, ruang dalam bangunan telah disekat-sekat menjadi petak-petak pemukiman. Mereka mendapat aliran listrik, walau belum tentu memiliki dokumen penggunaan atau pemilikan lahan tersebut.
Senja penuh aksi
Dengan kenyataan sebagian besar warga tidak memiliki halaman rumah, maka saya mengganggap balkon menjadi suatu pengganti halaman. Sebab, sesuai kapasitas ruang, sulit bagi mereka yang tinggal di lantai atas, maupun yang tinggal di bangunan tua, untuk menikmati halaman. Nyatanya, warga Phnom Penh punya cara lain.
“Orang-orang Phnom Penh senang keliling kota, bersama teman, keluarga, atau pacar, naik sepeda, motor, atau tuk-tuk. Biasanya mereka berhenti di satu taman untuk bercengkrama dan berkumpul beberapa saat, lalu pindah ke taman lain, dan begitu seterusnya sampai sekitar jam 8 malam” tutur Gabriel Fauveaud, mahasiswa dan peneliti geografi dengan lokasi studi di Phnom Penh.
Beberapa ruas di tengah jalan-jalan utama, terdapat ruang terbuka berupa jalur pedestrian memanjang mengelilingi taman. Luasnya bisa mencapai lima kali Taman Menteng di Jakarta. Setiap sore, tak terhitung warga yang berolahraga dan bercengkrama. Bahkan ada yang membawa tape, menyetel musik keras-keras, dan menari-nari sambil bersenam ria. Siapa pun yang melintas bisa segera bergabung dengan gerakan berirama ini. Tempat yang juga tak kalah diminati adalah tepian sungai Mekong. Jalur pedestrian terbentang berkilometer dan mampu mengakomodasi warga berjalan santai,jogging, bersepeda, bermain bola, atau sekedar duduk memandang sungai yang lebarnya berkali lipat dari Ciliwung.
Jika kedai dapat dikatakan sebagai ruang terbuka, meski berbayar, maka tempat ini juga menjadi kesukaan warga. Kebanyakan kedai di banyak ruas jalan terlihat diperuntukkan bagi pria setengah baya. Mereka datang untuk bermain catur, menonton acara di layar televisi, atau sekedar ramai-ramai berbincang santai. Tapi, tak sedikit kedai yang menyasar kalangan selain pria-pria ini. Misalnya kedai – kedai di jalan 214 dan jalan 51, yang lebih banyak dikunjungi mahasiswa, muda-mudi kelas menengah, dan warga asing. Selebihnya, bisa dikatakan tak sulit menemukan tempat kongkow di Phnom Penh, apalagi di sepanjang sungai Mekong, tepat di seberang jalur pedestrian.
“Phnom Penh kini memang berbeda dari 10 tahun lalu. Dulu rawan kejahatan, sekarang sudah aman” kata seorang supir taksi.
Para penghuni balkon
Sekitar tahun 1990-an, warga Phnom Penh kembali ke pusat kota, setelah bertahun sebelumnya terpaksa mengungsi akibat perang. Masa peralihan itu terbilang rawan pencurian dan perampokkan. Akibatnya, harga sewa lantai teratas menjadi paling mahal, sebab dianggap lebih aman karena sulit dijangkau pelaku kejahatan. Kini, keadaan berbalik. Kondisi yang relatif semakin aman, membuat harga sewa di lantai atas semakin turun. Semakin mudah akses dari peringkat lantai ke lingkungan sekitar, semakin mahal harga sewa. Lantai terbawah kian diminati, kebanyakan warga pun tinggal di lantai dua dan tiga, daripada di lantai empat.
Tanda paling umum dari adanya penghuni adalah tanaman dan jemuran di balkon. Tapi, di antara ribuan balkon, tidak mudah menemukan balkon berperangkat kursi dan meja, apalagi penghuni yang duduk-duduk santai. “Orang Phnom Penh kurang suka duduk-duduk di balkon. Umumnya balkon digunakan untuk menjemur pakaian dan meletakkan tanaman” kata Pream Chap, dosen sosiologi di Svay Rieng University.
Warga tepian sungai Mekong ini memang senang mengisi senggang di tempat terbuka daripada di area privat. Berbagai cerita tentang dan di antara mereka, sepertinya tersampaikan dan tersebar di tempat umum daripada di ribuan balkon. Keinginan saya untuk mengamati aksi seisi kota lewat ribuan balkon, mesti pupus oleh kenyataan ini. Kenyataan bahwa halaman rumah bagi penghuni Phnom Penh, boleh jadi, adalah kota itu sendiri. ***
* Kutipan dari nara sumber telah diterjemahkan penulis dari Bahasa Inggris.
Pingback: Rika Febriyani
Pingback: Rika Febriyani