Teks dan foto: Rika Febriyani.
Mari, silahkan duduk begitu biasanya sambutan tuan rumah. Pada beranda di sekeliling pintu masuk rumah, juga ruang tamu di dalam rumah, lazim tersedia kursi atau bangku, bahkan sofa, untuk para tamu. Iseng-iseng mengibaratkan Jakarta sebagai tuan rumah, dimana tempat duduk bagi tamu?
Tak banyak lho, tempat duduk tersedia untuk sekitar 8 juta warga di sepanjang kota ini. Maka, ketika terduduk pada bangku dari batu dan semen, pose dan senyum bapak ini bisa meluncur begitu saja. Bangku ini ada di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, tepatnya di bawah jalan layang Benhil Karet. Salah satu tempat dari berkilometer panjang jalanan nyaris tanpa ruang duduk. (Foto 1)
Gerak dan posisi tubuh agaknya tak bisa mungkir dari kebutuhan untuk duduk. Tanpa tempat duduk, bukan lalu warga melulu berdiri. Di sepanjang kota, pinggiran pot dan batu hias jadi salah satu pilihan tempat duduk warga. (Foto 2 & Foto 3)
Bahkan di stasiun dan terminal, pintu masuk Jakarta, tempat duduk entah lari kemana. Duduk melantai di sekitar loket Stasiun Kereta Api Gambir, juga terminal-terminal bus, adalah pemandangan keseharian. (Foto 4 & Foto 5)
Pilihan lain untuk duduk, ditemukan para pramuniaga, pada pinggir trotoar. Saat jam istirahat, di penggal jalan antara pusat perbelanjaan Grand Indonesia dan Plaza Indonesia, mereka terduduk di sana, menikmati aneka kudapan ringan. Para pramuniaga ini mencari nafkah di Jakarta, dan karenanya hidup di sini. Kalau mereka dibilang tuan rumah, lha, dimana tamu-nya akan duduk? (Foto 6)
Tentu, jangan lupa pada halte bus. Tempat ini paling mungkin diharapkan untuk mendudukkan tubuh, terutama kalau perlu mengambil jeda dalam perjalanan. Tapi, itu kalau belum diduduki orang lain. (Foto 7 & Foto 8)
Dan, rasa girang pun tak terhindar, ketika melintas Banjir Kanal Barat, Cideng, Jakarta Barat. Dengan jeda beberapa ratus meter, di sepanjang jalan tepian aliran air, tersedia ruang-ruang duduk, bukan saja tempat duduk. Ruang yang memungkinkan siapa saja untuk duduk. Selain lampu dan dihiasi tanaman, salah satu diantaranya juga dilengkapi televisi, dan menepatkan posisinya dengan telepon umum.
Ah, bahkan di seputaran Tugu Selamat Datang saja tak ada tempat seperti ini. (Foto 9) ***
sesuatu yg g terpikirkan bg byk org padahal kt sering melakukan
Fenomena lokal seperti ini yang harusnya menjadi kepedulian kaum lokal itu sendiri, sayangnya kepedulian itu berebut dengan perhatian dan kesibukan mereka pada perangkat “buah-hitam” yang senantiasa dipandang sepanjang perjalanan mereka di belantara jakarta
Artikel yang menarik. Kadang-kadang tempat duduk bisa sebabkan eksklusifitas juga sih. Kalau sebuah bangku sudah diduduki satu atau dua orang, terkadang kita merasa “terpaksa” mencari tempat duduk lain, mungkin karena kerendah-hatian kita yang tidak mau merepotkan orang tersebut untuk bergeser. Uniknya, dari tempat duduk informal yang dicontohkan di atas (terutama gambar 2, 3, dan samping trotoar): kita jadi tak malu untuk minta geser… biasanya langsung nyelip dan duduk!
Eum, apa karena memang di Jakarta tidak menerima tamu yang ‘duduk’ saja? karena rumahnya sudh terlalu penuh?
Pingback: BUDAYA VISUAL DAN LEDAKAN INFORMASI: Oleh-oleh dari Jepang « Rujak
Pingback: Rika Febriyani
Pingback: Rika Febriyani