Dunia dalam Trotoar

 

Diunduh dari foto.inilah.com
Diunduh dari foto.inilah.com

 

Oleh : Gracia Asri*

Apa yang dipikirkan seorang perempuan kelas menengah di Jakarta ketika hendak keluar rumah ? Selain hal pribadi dan kondisi cuaca, ia akan memikirkan, akan pulang jam berapa ? Apakah ada uang untuk naik taksi jika pulang terlalu malam ? Apakah harus berjalan di trotoar ? Maka persiapan menjadi lebih memakan waktu dan energi, karena perempuan akan memikirkan baju apa yang dipakainya, supaya tidak ditelanjangi dengan mata di trotoar, memakai sandal jepit tapi membawa sepatu hak tinggi, dan terpaksa menyeleksi kepentingannya dengan hal-hal di luar dirinya.

Keluar dari pagar rumah, perempuan akan menghabiskan energinya untuk bersikap waspada, entah karena ketakutan yang diciptakannya sendiri, atau karena memang kondisi sosial yang keras bagi dirinya, misalnya harus melewati perempatan dimana laki-laki nongkrong dan mengomentari secara verbal perempuan-perempuan yang lewat, atau karena secara fisik jalanan becek atau trotoar berlubang-lubang, dan dipakai oleh motor. Ketakutan tercipta karena pola-pola yang dikenali sebagai kekerasan akan menjadi referensi dan generalisasi terhadap keadaan secara umum. Membaca berita tentang pemerkosaan di angkot, maka otomatis perempuan akan menghubungkan peristiwa itu dengan tubuhnya dan pada keadaan ekstrem akan mencegah dirinya sendiri untuk naik angkot. Tidak adanya rasa aman, harus dibayar mahal oleh perempuan, dengan uang (membayar ongkos transportasi lebih mahal karena naik taksi), dengan waktu (hanya bisa melakukan aktivitas dengan waktu yang terbatas), dengan energi ( dengan harus selalu waspada). Hal ini dikuatkan dengan penghakiman sosial dan stigmatisasi bagi perempuan yang mencoba mengingkarinya. ( nongkrong di jalan, memakai baju sesukanya, atau pulang tengah malam)

Meskipun kemiripan dengan situasi kota besar di Indonesia, bisa diperdebatkan, sebagai contoh,  Institut Nasional Ekonomi dan Statistik Prancis INSEE melakukan penelitian tentang perilaku perempuan di ruang publik di Prancis. Secara umum, terlihat bahwa ruang publik (jalan, trotoar, terminal, stasiun) adalah tempat dengan semua orang dari golongan usia dan gender. Namun sebenarnya ketidaksetaraan terentang sangat dalam dan laten. Perempuan lah sebenarnya yang lebih sering melintasi ruang publik. Misalnya ibu rumah tangga, akan melewati jalan lebih sering karena berbelanja, mengantar jemput anak sekolah dan sebagainya. Sementara laki-laki hanya pulang pergi ke kantor. Kegiatan ini juga lebih sering dilakukan perempuan dengan berjalan kaki karena jarak yang relatif dekat atau akses terbatas pada kendaraan bermotor. Pada konteks Jakarta misalnya, menurut pengamatan penulis, lebih banyak lagi sebenarnya perempuan yang berada di jalan; mereka berada di pasar-pasar tradisional yang berdurasi 24 jam dan bahkan mencapai puncak kegiatannya pada dini hari, serta banyaknya perempuan yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kaki lima. Namun fakta ini sepertinya dilupakan oleh banyak perempuan dan menganggap mereka sebagai mutant dan tetap mengidentifikasi ruang publik sebagai milik laki-laki.

Yves Raibaud, pada sebuah laporan perkotaan di Bordeaux menyatakan bahwa meskipun perempuan banyak berada di jalan, ia hanya  melewatinya saja dengan cepat dari satu tempat ke tempat lain dibandingkan laki-laki yang bisa hanya berdiri atau ‘nongkrong’ di jalan tanpa  keperluan tertentu. Patricia Perennes, dari Osez le féminisme menggaris bawahi bagaimana perempuan akan berjalan cepat untuk menghindari masalah karena perempuan yang berjalan sendiri mempunyai tiga kali lipat kemungkinan lebih tinggi untuk diganggu oleh laki-laki di jalan. Peristiwa yang berulang ini akan menimbulkan perasaan ketidakamanan yang lebih besar.  Yvez Raibaud juga membandingkan anggaran kota yang sangat besar yang dipakai pemerintah kota untuk mengkanalisasi kekerasan laki-laki misalnya dengan pembangunan lapangan sepakbola, yang bisa dikatakan investasi untuk laki-laki. “bayangkan fasilitas publik khusus untuk  43 000 perempuan !” Kota memang dibangun untuk laki-laki, dogma ini sangat sulit dipertanyakan.

Pembatasan terhadap perempuan sangat terasa, Guy Di Méo seorang Geograf menyebutnya sebagai dinding kasat mata. Perempuan telah merasa terusir dengan sendirinya dari ruang kota.  Segregasi antara ruang kota dan ruang ‘privat’ membedakan perasaan aman yang dirasakan oleh perempuan. Misalnya, meskipun trotoar dan mall bisa dimasuki oleh siapa saja, perempuan akan memiliki sudut pandang berbeda ketika berjalan di trotoar dibandingkan saat berjalan di dalam mall. Hadirnya ‘aturan’ dan simbol keamanan seperti satpam atau kamera pengawasan membuat perempuan merasa aman. Perempuan seperti harus selalu disadarkan tentang adanya ruang privat dan ruang public. Masyarakat patriarki yang ingin memenjarakan perempuan di ruang privat telah berhasil membuat perempuan membatasi dirinya sendiri untuk tetap berada di ruang privat. Jadi meskipun perempuan telah beremansipasi untuk bekerja (38,1 juta perempuan bekerja di Indonesia dan 1. 436. 699 di Jakarta menurut BPS 2010), mereka hanya melakukan mobilitas dari ruang privat satu ke ruang privat lainnya.

Sofie Peeters, seorang mahasiswi Belgia dengan kamera tersembunyi membuktikan bagaimana ia menjadi target  di jalanan Brussel ; disiuli, diikuti dan dilecehkan secara verbal. Hal ini ditegaskan oleh Marylène Lieber, ahli gender dari Geneva; bahwa perempuan mengalami peringatan pengaturan gender secara terus menerus. Tindakan-tindakan kecil yang kelihatannya tidak berbahaya ini seperti mematenkan bahwa mereka berpotensi sebagai korban kekerasan. Pemerkosaan menjadi ketakutan struktural bagi perempuan. Ruang kota menjadi ruang yang biadab dengan absennya aturan dan maraknya agresi fisik. Di Indonesia, gambaran ini juga semakin nyata terutama di perkotaan Indonesia dengan semakin menghilangnya ikatan sosial di perkampungan dimana perempuan bisa duduk-duduk bersama di ruang terbuka.

Penelitian lain oleh Clément Rivière, dari l’Observatoire sociologique du changement (Sciences Po). Menunjukkan pada malam hari di transportasi publik, hanya terdapat 2 perempuan dibanding 8 laki-laki. Perempuan ‘terpaksa’ naik taksi. Strategi lain yang dilakukan adalah ; memakai celana, tidak berdandan, berdekatan dengan perempuan lain yang sendiri, berjalan dalam kelompok, atau menghindari tatapan mata.

Clement juga membahas bagaimana rasa aman dialami dengan cara berbeda oleh perempuan menurut tingkat pendidian dan kelas sosial. Perempuan kaya merasa tidak aman berjalan di kampung kumuh, sementara sebenarnya perempuan miskin juga tidak nyaman masuk di mall kelas atas. Proses pembentukan ketakutan juga berbeda dari perempuan yang memakai transportasi publik dengan mereka yang memakai mobil pribadi, meskipun dua-duanya mengalami ketakutan. Gerbong kereta khusus perempuan memang menyelesaikan masalah perempuan untuk sementara di ruang publik. Namun pemisahan ini juga meningkatkan kekhawatiran perempuan ketika memasuki gerbong normal, karena ia merasa tidak terlindungi lagi.

Para pengambil kebijakan publik dalam pembangunan kota juga tidak mempertimbangkan perempuan dalam pengambilan keputusannya ; ketika memilih membangun jalan layang, mereka hanya akan menganalisa secara ekonomi bahkan ekologis daripada memikirkan bagaimana perempuan dan anak berjalan di malam hari. Membangun tempat penitipan anak di sekitar kantor, pabrik atau pasar dimana banyak perempuan bekerja bukanlah pilihan pertama bahkan bukan pilihan sama sekali. Apalagi di Indonesia, dimana transportasi publik sengaja tidak dibangun untuk menguntungkan industri otomotif.

Secara simbolis, apakah kota mengedepankan feminitas dalam ruang kota ? Berapa nama jalan dengan nama perempuan dibandingkan dengan nama laki-laki pahlawan perang ? Demikian juga dengan patung-patung, misalnya di Jakarta, patung perang dan simbol penis merajai ruang jalan, (arjuna wiwaha, monas) satu-satunya patung perempuan hanya ada di tugu tani, itupun diletakkan dengan posisi pemujaan terhadap laki-laki yang berangkat berperang. Tidak terpikirkan untuk membangun patung perempuan, atau menamai taman dengan nama perempuan. Sementara empat jawara silat Betawi dijadikan nama jalan. Gubernur Jokowi yang akan mengganti salah satu nama jalan besar menjadi Jl. Ir. Sukarno, menunjukkan bagaimana simbol nama jalan menjadi penting. Meskipun tentu saja perbaikan seperti penerangan jalan di malam hari, trotoar yang bersih dan nyaman serta keamanan transportasi adalah yang utama.

Kota yang ramah terhadap perempuan bukanlah hal yang tidak mungkin. Surabaya, dengan walikota perempuannya Tri Rismaharani, mempunyai trotoar kota  terbaik se Indonesia menurut direktorat Keselamatan Trasportasi Darat Direktorat Jenderal Departemen Perhubungan. Trotoar seluas 87 ribu meter persegi di Surabaya dengan taman-tamannya mengundang perempuan dan anak-anak untuk merasa nyaman dan aman berada dalam ruang kota. Bandingkan dengan Jakarta yang hanya bahkan tidak mampu menambal trotoar rusak, tanpa perlu mempertanyakan keberadaan trotoar baru, di tengah maraknya pembangunan mall, gedung perkantoran dan apartemen.

Penerangan Jalan Umum (PPJU), sebenarnya juga dapat dimaksimalkan karena biaya penerangan ini sudah  dipungut oleh Pemerintah Daerah (melalui PLN) dan masuk ke kas Pemda. Pajak PJU bervariasi pada setiap provinsi antara 3% sampai 10%.

 

Apa yang harus dilakukan untuk membuat kota menjadi ruang publik untuk perempuan ?

Jika rasa aman adalah faktor utama bagi kenyamanan perempuan untuk berada di ruang publik adalah rasa aman,  selain faktor fisik yang mendukung seperti trotoar yang baik dan penerangan jalan, maka menciptakan kondisi yang membangun rasa aman adalah prioritas.

Bruce Schneier dalam The psychology of security memaparkan realita keamanan yag sebenarnya dapat diperhitungkan dan rasa aman yang terbentuk dengan bias-bias emosional dan sosial. Dalam mengambil keputusan yang menyangkut keamanan, kita akan mengedepankan konsep resiko yaitu menghitung nilai tukar rasa aman dengan waktu, uang atau hal-hal lainnya. Misalnya, perempuan yang harus bekerja malam sebagai perawat akan berpikir bahwa pekerjaannya akan lebih penting dari resiko stigma sosial dan ancaman kekerasan ketika pulang di malam hari.

Schneier mengkategorisasi bahwa kita aka melebih-lebihkan resiko yang bersifat spektakuler misalnya ancaman terorisme, pernah menimpa seseorang yang kita tahu, tidak bisa kita kendalikan seperti jatuhnya pesawat terbang, sering dibicarakan oleh media (pemerkosaan), berakibat secara langsung, tiba-tiba atau  tidak dipahami seperti ancaman HIV AIDS.

Resiko akan dianggap rendah ketika ancaman dianggap biasa  (kecelakaan di jalan yang lebih sering dan juga fatal  lebih biasa dari kecelakaan pesawat yang sangat jarang terjadi) , dianggap bencana alam (warga memilih tidak pindah meskipun selalu kebanjiran). Kita bahkan sering tidak menganggapnya sebagai sebuah ancaman karena efekya jangka panjang seperti perubahan iklim.

Seperti pada awal tulisan, dengan mengambil contoh kasus pemerkosaan di angkot, perempuan yang menonton berita ini diulang-ulang di televisi dan membacanya di halaman depan Koran lokal, menjadikan berita ini sangat spektakular dan justru akan membuat perempuan lebih merasa ketakutan dan menjadikan ruang public mempunyai resiko yang lebih besar lagi dengan nilai tukar yang lebih besar pula dengan kebebasan dan energi yang harus dibayar. Padahal secara obyektif kekerasan pada perempuan juga terjadi di dalam rumah tangga dan justru lebih sering dan tidak pernah dibicarakan. Kekerasan terhadap perempuan justru banyak dilakukan di rumah oleh laki-laki yang dikenalnya.

Maka merebut  ruang publik untuk perempuan harus diperjuangkan oleh perempuan sendiri sebagai bagian dari memperjuangkan kendali yang dengan sendirinya mengurangi resiko yang dirasakan.

Usaha yang dapat dilakukan secara internal adalah dengan mendiskusikan ketakutan itu sendiri. Apakah ketakutan itu memang ditanamkan untuk mengurangi kebebasan perempuan yang dibangun dengan stigma dan stereotype atau memang sebuah realita obyektif ? Apakah ketakutan itu sesuatu yang dapat diatasi dengan usaha bersama? Apakah ketakutan ini milik pribadi, ataukah dia sudah menjadi ketakutan kolektif perempuan?

Mengatasi ketakutan di ruang public secara individu, beberapa kelompok perempuan berlatih bela diri dan mengajari cara-cara praktis membela diri pada perempuan ketika menghadapi ancaman di ruang publik.

Usaha merebut ruang publik oleh perempuan dapat dilakukan secara individu maupun  bersama dengan membiasakan untuk melakukan kegiatan di ruang publik terutama di sore dan malam hari, misalnya aksi damai, atau acara berbelanja bersama di pasar tradisional.

Bersama gerakan lingkungan, perempuan dapat bergabung untuk melakukan penanaman pohon atau berkebun dengan memanfaatkan tanah-tanah yang terbengkelai, apalagi dengan tingginya harga cabe dan tomat saat ini. Gerakan gerilya penanaman pohon dan taman ini telah sukses di beberapa kota di Amerika Serikat dan Eropa (New York, Los Angeles, London, Copenhagen). Kelompok ini menggunakan ruang-ruang kosong di pinggir trotoar atau di atas selokan untuk berkebun, tanaman hias dan sayuran. Berkebun gerilya ini juga dapat membiasakan perempuan untuk berada di ruang public dan menggiatkan kembali kegiatan gotong royong yang sudah lama menghilang di perkotaan.

Dalam perebutan ruang publik secara advokasi, perempuan dapat memperjuangkan trotoar yang lebih nyaman agar dapat berjalan dengan anak-anak dan kereta bayi, membuat bangku-bangku atau tempat berteduh yang nyaman, agar perempuan dapat berhenti di jalan tanpa merasa terancam, serta memperbanyak tenaga polwan atau satpam perempuan di daerah rawan pelecehan. Dalam jangka panjang pembangunan fasilitas tempat penitipan per RW yang terjangkau adalah sama pentingnya dengan pembangunan balai warga, anak agar ibu-ibu rumah tangga dapat berpartisipasi dalam kehidupan publik tanpa mengkhawatirkan balita yang di tinggalkannya di rumah.

Sebagai contoh, usaha merebut ruang publik dilakukan di Mesir.  83% perempuan di Mesir mengalami pelecehan setiap harinya, dalam bentuk siulan, teriakan, sentuhan, pandangan atau komentar pada bagian tubuh tertentu, ditelpon atau di sms dengan tidak sopan, ajakan seksual,  perhatian yang tidak diinginkan lainnya serta bentuk terparahnya adalah paksaan seksual dan perkosaan baik secara individu maupun kelompok.

Harass map http://harassmap.org  adalah organisasi di Cairo yang melakukan gerakan anti pelecehan seksual di ruang public. Semua orang dapat melaporkan pelecehan yang dialaminya atau yang dilihatnya, apa yang terjadi, dimana dan kapan. Laporan ini dipakai untuk menunjukkan betapa seriusnya pelecehan seksual yang terjadi di jalanan dan sekaligus mengubah peran perempuan dari korban menjadi subyek.

Laporan ini akan menunjukkan bagaimana penurunan kualitas lingkungan bagi perempuan terjadi, karena semakin tinggi pelecehan, semakin rendah kualitas lingkungan tersebut, tanpa harus melihat cara berpakaian maupun waktu kejadiannya. Pelecehan harus disadari sebagai bagian dari kekerasan dan pelakunya sepantasnya merasa malu. Gambar dan video kejadian diharapkan dapat membuat pelaku merasa malu. Semua orang dapat kapan saja melaporkan dan memposting insiden pelecehannya lewat twitter (17,3K follower) , sms, email  dan facebook (18.700member).  Setiap pesan yang masuk akan otomatis dijawab dengan informasi tentang bantuan hukum dan konseling psikologis.

Setiap laporan akan dipetakan dan muncul di peta interaktif sebagai titik merah yang jika diklik akan muncul teks kejadian yang bersangkutan. Hal ini akan memberikan bukti pada masyarakat yang masih menyangkal adanya pelecehan seksual dan membantu melawan stereotype tentang dimana, siapa, dan seberapa sering pelecehan seksual terjadi. Dalam jangka panjang hal ini akan membantu perempuan merasionalisasi ketakutannya pada. ruang publik dengan memilah yang mana yang harus diwaspadai dan yang mana yang merupakan ketakutan yang diciptakannya sendiri

Peta pelecehan mempunyai fungsi bagi korban maupun saksi untuk menyampaikan pengalaman mereka secara anonim. Seperti jalan tol, yang di papan informasi tentang berapa kali kecelakaan telah terjadi, tiap daerah kemudian juga mendapat informasi tentang pelecehan seksual yang terjadi di jalan-jalan di daerahnya.

Sepertinya perebutan ruang public memang harus dilakukan oleh perempuan sendiri sebagai warga Negara penuh untuk merasa merdeka di trotoar.

 

 

Sumber:

www.schneier.com

L’usage de la ville par les femmes. Cecile Rasselet, ADES 2011

Berbagai sumber di internet

 

*Penulis adalah lulusan S2 jurusan Urbanisme dan Pemerintahan daerah Universitas Paris VIII/ Ecole Pont et Chausse. Kini bekerja di Jakarta sebagai penerjemah, notaker  dan penulis lepas. Penulis juga telah menerbitkan 2 novel tentang perempuan; Place Monge dan Sesiang Terakhir, serta kumpulan puisi bilingual Hampir Aku tetapi Bukan.

 

One thought on “Dunia dalam Trotoar

  1. andesh says:

    menarik jika ada kajian seberapa besar pengaruh rasa takut akan pelecehan di ruang publik pada akhirnya mendorong orang untuk menggunakan kendaraan pribadi, atau juga dampaknya kepada semakin jarang adanya interaksi antar individu di angkutan umum (takut dikira mau melecehkan kalau ngasih senyum atau menyapa duluan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *