Masalah hunian di Jakarta selalu jadi isu panas yang tak kunjung terselesaikan. Meningkatnya generasi milenial dan Z yang bekerja di Jakarta, tidak diiringi dengan penyediaan hunian yang terjangkau untuk pekerja yang baru meniti karirnya. Dengan keterbatasan penghasilan dan beban untuk membiayai keluarga, seakan semakin mempersulit generasi muda ini untuk memiliki hunian.
Apakah benar tidak ada celah untuk generasi ini memiliki rumah? Haruskah generasi ini menjadi influencer dan menerima endorse, atau tech savvy dengan gaji dua hingga tiga digit dahulu, baru bisa memiliki rumah? Atau haruskah generasi ini tua di jalan karena hanya sanggup untuk membeli rumah di pinggir kota namun tetap bekerja di tengah kota?
Rujak Center for Urban Studies bekerjasama dengan MRT Jakarta untuk mengadakan sesi lokakarya pada kegiatan TOD Fair yang telah berlangsung pada 7-8 Juli 2022. RCUS memanfaatkan kegiatan tersebut untuk mempopulerkan konsep Transit Oriented Development yang inklusif. Pendekatan TOD inklusif, bertujuan untuk mengubah cara pandang dalam perencanaan integrasi hunian dan transportasi publik yang tidak hanya berfokus pada pembangunan hunian atau kawasan baru, melainkan juga dengan meningkatkan prinsip TOD pada kantong hunian dalam kota. Contohnya seperti melakukan regenerasi kawasan yang kurang produktif akibat transisi ekonomi kota, integrasi transportasi di kawasan permukiman padat dan kampung kota, dan mempopulerkan hunian berbasis kolektif. Selain bertujuan meningkatkan infrastruktur berkeadilan di kota, cara pembangunan ini juga lebih efisien dengan memanfaatkan potensi lahan di tengah kota.
Elisa Sutanudjaja dalam materi pembuka lokakarya ini menjelaskan bagaimana kota Jakarta masih belum efisien dalam menyediakan hunian untuk warganya. Berdasarkan data yang dihimpun RCUS, 89.37% lahan dengan peruntukan hunian di DKI Jakarta memiliki KLB rendah (KLB<2), artinya secara aturan dapat membangun maksimal dua kali luas lahan tersebut atau sekitar 3 lantai, dan kemungkinan realita yang terbangun bisa lebih rendah. Artinya kota Jakarta dipenuhi dengan hunian tapak, mayoritas dihuni oleh satu keluarga inti atau extended family saja.
Kondisi ini lantas dibandingkan dengan negara lain yang terkenal memiliki kepadatan tinggi seperti Singapura dan Hongkong. Nyatanya, kota Jakarta masih jauh lebih tidak padat dibandingkan negara-negara tersebut. Jakarta mungkin padat secara horizontal. Namun masih terdapat ruang-ruang vertikal yang masih bisa dioptimalisasi sebagai siasat untuk—dapat kembali-–berhuni di tengah kota.
Berdasarkan kondisi tersebut, alternatif penyediaan hunian ditengah kota bisa memanfaatkan konsep optimalisasi KLB. Yakni memaksimalkan nilai terbangunnya suatu lahan, dan memanfaatkannya menjadi cadangan hunian ditengah kota. Dengan prinsip ini, pembangunan infrastruktur pendukung hunian juga minim diperlukan, karena kondisi infrastruktur pendukung di tengah kota mayoritas sudah terdapat berbagai infrastruktur yang memadai.
Konsep ini dijadikan bahan diskusi dalam kelompok bersama peserta yang adalah adalah generasi milenial dan Z. Dalam lokakarya ini RCUS ingin melihat visibilitas dan aspek apa saja yang penting untuk generasi muda dalam mempertimbangkan huniannya. Bersama fasilitator di setiap kelompok, diskusi setidaknya membahas pendapat kelompok terhadap konsep hunian kolektif yang memanfaatkan lahan di tengah kota, ragam konsiderasi dalam memilih hunian di tengah kota, dan aspek apa saja yang penting dalam memilih hunian.
Diskusi tersebut menghasilkan ragam pendapat menarik, dimana kita harus melihat “market” perumahan bukan dari siapa yang “mampu” membeli/menyewa dari mekanisme pasar, melainkan siapa yang “butuh” hunian di tengah kota. Diskusi yang dimulai dengan pandangan tersebut membuat peserta terbuka terhadap alternatif-alternatif baru. Hunian kolektif dianggap memungkinkan dengan beberapa pertimbangan yakni; diperlukannya komitmen jangka panjang oleh sesama anggota, atau diperlukannya aturan yang disepakati bersama dan harus ditaati. Beberapa peserta mengusulkan diperlukannya lembaga yang dapat mengatur dan menjadi pihak penengah apabila terjadi perseteruan antar anggota.
Dari sisi konsiderasi memilih hunian, generasi muda cenderung mengutamakan keamanan jangka panjang dibandingkan untuk kepentingan waris-mewarisi dan investasi. Mereka berpendapat soal waris-mewarisi dan investasi ini bisa dilakukan dengan cara selain soal hunian saja (misal saham, emas, deposito). Aspek lain yang menarik adalah kedekatan dengan ruang aktivitas dan temporality. Dalam memilih hunian, kedekatan dengan area aktivitas sehari-hari menjadi pertimbangan penting, namun keleluasaan untuk berpindah juga tak kalah penting. Contohnya ketika berniat pindah lokasi pekerjaan, pindah kota, dan lain sebagainya. Generasi muda juga memandang standarisasi pengadaan hunian sebagai aspek penting. Misal kualitas bangunan dan utilitas yang harus baik, fasilitas bersama yang memadai dan sesuai kebutuhan masing-masing seperti ruang outdoor, kebun bersama, dan lain-lain, agar transisi dari hunian tapak ke hunian kolektif tidak menghilangkan aspek kehidupan sosial yang mereka sudah merasa terbiasa rasakan di hunian tapak.
Sebagai kesimpulan, beragam alternatif hunian di tengah kota akan terus dikaji oleh Housing Lab by RCUS. Dari lokakarya ini juga didapatkan beragam konsiderasi dan cara pandang yang unik dari generasi muda yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Hunian kolektif sebagai gerakan perlu dipopulerkan, khususnya di kota Jakarta dimana kebutuhan akan hunian terjangkau semakin mendesak. Selama hunian hanya menjadi bahan spekulasi pasar dan barang investasi, maka harganya akan semakin tidak terkontrol dan mimpi hunian terjangkau akan semakin jauh untuk generasi muda.
Catatan :
KLB (Koefisien Lantai Bangunan) adalah angka perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dihitung berdasarkan batas dinding terluar dengan luas lahan perpetakan terhadap lahan perencanaan [Pergub no 135 tahun 2019 tentang Pedoman Tata Bangunan]
Penulis : Vidya Tanny, Imam Supratiko
mantullll
Ulasan yang menarik. Terima kasih atas artikelnya.