Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) dan Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK)

Mengendalikan Banjir Jakarta

Hampir tiap tahun Jakarta mengalami banjir dan menjadi lebih luas dampaknya ketika banjir siklus lima tahunan melanda. Pengalaman terakhir yang masih menyisakan trauma adalah banjir di tahun 2007 yang melanda 60% wilayah Jakarta dengan kerugian yang besar bahkan korban jiwa.

Atas alasan banjir yang semakin akut kemudian Pemerintah DKI Jakarta mencoba membenahi sistem pengendalian bajir di Jakarta, salah satunya adalah dengan pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT).

Tidak hanya hadir dengan program BKT, pemerintah kemudian menggagas program besar yang diharapkan bisa membenahi sistem pengendalian banjir di Jakarta.

Pada tahun ini, program dengan banyak nama; Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) atau Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta dan terakhir disebut juga sebagai proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI), akan segera dilaksanakan setelah memperoleh payung hukum melalui pengesahan dua Peraturan Pemerintah (PP) yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2006 dan PP No 54/2005.

PP No 2/2006 mengatur Tata Cara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman yang direvisi menjadi PP No 10/2011 dan disahkan November 2011.

PP No 54/2005 mengatur Pinjaman Daerah dan direvisi menjadi PP No 30/2011 pada Februari 2012.

Menurut dokumen bertajuk “Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP)- Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta” yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Program ini  ditujukan untuk berkontribusi terhadap perbaikan cara-cara pengoperasian dan pemeliharaan sistem pengelolaan banjir di Jakarta. Tujuan khusus dari Proyek adalah mendukung pengerukan saluran pengendali banjir, kanal dan waduk dari sistem pengelolaan banjir Jakarta dan membuang lumpur endapan ke fasilitas yang tepat dengan menggunakan cara-cara yang berkelanjutan (menitikberatkan pada koordinasi antar instansi dan keberlanjutan lingkungan dan sosial).

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menyatakan bahwa upaya pengerukan tidak akan langsung memberikan keuntungan. Tetapi, menurutnya, dengan semakin lancarnya saluran air di Jakarta, maka kerugian akibat banjir dapat ditekan seminim mungkin.

Dalam dokumen JUFMP, hasil model simulasi banjir menunjukkan bahwa untuk banjir seperti yang terjadi pada tahun 2007, maka pendekatan ini akan mengembalikan sistem pengendalian banjir ke sistem desain awal dan diperkirakan akan mengurangi sekitar 30% dari luas genangan banjir.

Peta proyek JUFMP

Melalui Proyek Darurat Pengendalian Banjir Jakarta, akan terjadi pengerukan 10 sungai, 1 kanal, dan 4 waduk. Ke-10 sungai yang akan dikeruk itu adalah Sungai Grogol, Sungai Sekretaris, Sungai Krukut, Sungai Cideng, Sungai Pakin, Sungai Kali Besar, Sungai Ciliwung, Sungai Gunung Sahari, Sungai Sentiong, dan Sungai Sunter. Empat waduk yang akan dikeruk adalah Waduk Melati, Sunter Utara, Sunter Selatan, dan Waduk Sunter Timur II. Sementara kanal yang akan dikeruk adalah Kanal Banjir Barat.

Didanai sebagian oleh dana hibah, proyek ini merupakan program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia untuk menangani persoalan banjir di Ibu Kota Jakarta. Terdapat tiga pihak yang terlibat, yakni pemerintah pusat, Pemprov DKI Jakarta, dan Bank Dunia. Pinjaman dari Bank Dunia untuk Proyek ini adalah Rp 1,35 triliun atau setara dengan 150,5 juta dollar AS. Pinjaman dibagi dua, yaitu pinjaman pemerintah pusat Rp 631 miliar (46,6 %) dan sisanya pinjaman Pemprov DKI Jakarta Rp 724 miliar (53,4%).

Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Stefan Koeberle, pendanaan untuk proyek lima tahun tersebut telah disetujui Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia pada 17 Januari 2012. Untuk pengerukan 10 sungai, empat waduk dan satu kanal, volume lumpur galian yang memerlukan pembuangan diperkirakan sekitar 3,5 juta m3. Dari hasil pengerukan, sampah akan dibuang ke Bantar Gebang, bahan beracun berbahaya (B3) akan dibuang ke Cibinong dan lumpur akan dibuang ke Ancol.

Mengacu pada Kajian awal atas kualitas sedimen pada Agustus 2008 (dokumen JUFMP: Pemprov DKI Jakarta) yang  menunjukan bahwa sedimen tidak merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan dianggap layak untuk dibuang ke fasilitas pembuangan laut, maka Pemerintah merencanakan pembuangan di Ancol. Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk Budi Karya Sumadi menyatakan siap menampung lumpur hasil pengerukan 11 sungai dan empat waduk dalam proyek penanggulangan banjir darurat Jakarta.

 

Normalisasi Sungai Ciliwung dan Relokasi Warga

Selain JEDI, pemerintah DKI Jakarta juga bekerjasama dengan Pemerintah Pusat untuk menormalisasi Sungai Ciliwung. Program penataan Sungai Ciliwung dibahas dalam rapat koordinasi pada 9 Februari 2012 yang dihadiri Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) HR Agung Laksono, Menteri Perumahan Rakyat H Djan Farid, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto (diwakilkan), Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri (diwakilkan), Menteri Perhubungan AE Mangindaan, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro (diwakilkan), perwakilan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.

Normalisasi Sungai Ciliwung akan dilakukan di sepanjang wilayah Pintu Air Manggarai hingga Jembatan T.B Simatupang sejauh 18, 98 km. Melalui program normalisasi atau  penataan, rencananya, sungai Ciliwung akan dilebarkan sepanjang 50 m, diperkuat dengan turap beton dan dibuatkan jalan inspeksi kanan-kiri sungai selebar 7,5 m.  Berdasarkan pembahasan tersebut, untuk tahap pertama, penataan akan dilakukan di bantaran Sungai Ciliwung sepanjang Jembatan Kampung Melayu hingga Manggarai. Melalui penataan, Sungai Ciliwung akan dinormalisasi hingga lebar mencapai 50 meter.

Diperuntukan sebagai tempat relokasi, Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat akan membangun rusunawa di kawasan Berlan, Jakarta Timur di atas lahan seluas 20 Ha. Pembangunan 29 tower  rusunawa, yang akan dimulai pada 2012 dan diharapkan selesai pada 2014, diperkirakan membutuhkan anggaran 9 Triliun, menurut Menteri Perumahan Rakyat, Djan Fariz.

Untuk pembangunan rusunawa, Kepala Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintahan Daerah, Novizal, menyatakan bahwa warga yang berdomisili di kawasan komplek Zeni TNI AD yang dihuni sekitar 15 anggota TNI dan 20 KK Purnawirawan TNI akan direlokasi agar pembangunan dapat berjalan dengan tepat waktu.

Tim Koordinasi telah dibentuk untuk mengawal pembangunan rusunawa untuk pemukiman kembali penduduk permukiman kumuh pada daerah aliran sungai Ciliwung. Tim tersebut terdiri dari Pengarah (Wakil Presiden RI); Ketua (Menkokesra); Ketua Harian (Menteri Perumahan Rakyat); dan Wakil Ketua Harian (Menteri Pekerjaan Umum).

Pengerukan sepanjang 18,98 km  ini akan berpengaruh pada kehidupan 34.051 KK yang tinggal di sepanjang bantaran kali Ciliwung (Sumber: Kemenpera). Dari angka tersebut, jumlah yang terbesar adalah wilayah Srengseng Sawah (RW 02, 03, 04, 07, 08, 09, dan RW 19) dengan 8.791 KK, disusul oleh Kampung Melayu (RW 01, 02 03, 06, 07, dan 08) dengan 7.233 KK.

Selain dua wilayah tersebut, berikut adalah wilayah bantaran Sungai Ciliwung yang  juga terdampak : Manggarai (RW 01, 04, dan 10) dengan 2.390 KK; Bukit Duri (RW 01, 09, 10, 11, dan 12) dengan 3.526 KK; Kebon Baru (RW 01 dan 04) dengan 264 KK; Cawang (RW 01, 02, 03, 05, 08, dan 12) dengan 1.623 KK; Cililitan (RW 07) dengan 441 KK; Pangadegan (RW 01 dan 02) dengan 270 KK; Rawa Jati (RW 01, 03, 06, 07, dan 08) dengan 3.521 KK; Pejaten Timur (RW 03, 05, 06, 09, dan 11) dengan 4.967 KK; Balekambang (RW 01, 02, 04, dan 05) dengan 363 KK; Gedong (RW 03, 07 dan 11) dengan 387 KK; dan Tanjung Barat (RW 01, 03, dan 05) dengan 275 KK.

 

Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK)

Terhadap rencana relokasi, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, relokasi akan menggunakan Resettlement Policy Frameworks (RPF) atau kerangka kebijakan pemukiman kembali dari Bank Dunia. Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK) akan menjadi panduan, yang berisikan prinsip-prinsip, prosedur-prosedur dan tatacara pengorganisasian, bagi Pemprov DKI Jakarta dalam menyusun Rencana Permukiman Kembali (RPK)  untuk proyek yang melibatkan proses pemindahan warga dalam pelaksanaan JUFMP. KKPK sendiri merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Dunia kepada Pempov DKI Jakarta untuk mendapatkan dana bantuan.

KKPK merupakan pendekatan baru dalam proses relokasi atau “penggusuran” di Jakarta. Dengan KKPK ini, warga yang akan direlokasi diharapkan akan lebih terjamin hak-hak nya. Beberapa prinsip-prinsip dalam KKPK dapat dilihat sebagai instrumen yang lebih baik, dengan asumsi apabila semua prinsip-prinsip dapat terpenuhi.

Berikut adalah prinsip-prinsip dan kebijakan yang akan diterapkan pada mekanisme pemukiman kembali yang terkait dengan subproyek JUFMP :

  1. Meminimalkan permukiman kembali, dengan cara mencari semua alternatif desain-desain proyek yang layak;
  2. Jika permukiman kembali tidak dapat dihindarkan, maka Warga Terpaksa Pindah (WTPi) berhak untuk mendapatkan akses terhadap hunian yang memadai. Jika pemindahan berdampak terhadap pendapatan dan/atau kehidupan WTPi tersebut, maka kepada mereka akan diberikan bantuan selama masa transisi/peralihan, yang lamanya kurun waktu, jenis dan besarnya cukup untuk mengembalikan tingkat kehidupan mereka seperti kondisi semula.
  3. Pilihan dan bantuan permukiman kembali akan direncanakan melalui konsultasi dengan WTPi. Konsultasi akan menggunakan komunikasi informasi dua arah antara staf JUFMP dan WTPi.
  4. WTPi yang menempati tanah pemerintah atau tanah negara yang harus pindah karena JUFMP akan diberikan kesempatan bermukim di tempat yang legal sesuai ketentuan yang berlaku.
  5. Dalam hal relokasi dilakukan secara berkelompok/grup, fasilitas publik dan prasarana masyarakat yang terkena proyek akan dibangun kembali di lokasi permukiman baru jika pada lokasi pemukiman baru belum tersedia fasilitas dan prasarana publik sejenis.
  6. Informasi tentang anggaran yang digunakan untuk mendanai pelaksanaan KKPK ini akan diumumkan.

Prinsip-prinsip di atas membawa pendekatan yang sebetulnya tidaklah baru di atas kertas tetapi merupakan poin penting khususnya bagi upaya pemenuhan hak warga.

Terdapat pengakuan atas aspirasi warga dengan diaturnya proses konsultasi dalam semua tahap pengambilan keputusan dan fasilitasi desain alternatif sebagai upaya meminimalkan pemukian kembali. Pemaksimalan proses partisipasi juga dilakukan dengan mekanisme keterbukaan informasi melalui pengumuman tahapan proyek. Selain itu, modal sosial yang melekat pada kehidupan bersama warga juga difasilitasi dalam bentuk relokasi berkelompok.

Pelaksanaan subprojek JUFMP akan membawa sedikit-banyak dampak bagi warga sekitar proyek (yang disebut sebagai Warga Terdampak Proyek – WTP). Untuk itu, diatur dalam dokumen JUFMP bahwa secara umum terdapat dua kategori WTP dalam KKPK, yaitu: (1) warga terkena sebagai akibat penguasaan kembali tanah negara atau tanah pemerintah; dan (2) warga terkena sebagai akibat pengadaan tanah yang berupa tanah milik.

Dari kajian singkat yang dilakukan pemerintah, terindikasi bahwa mayoritas warga yang berpotensi terkena dampak dalam pelaksanaan subproyek JUFMP adalah warga yang menempati tanah negara atau tanah pemerintah yang kemudian dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu :

  1. Warga yang memiliki dan menghuni bangunan hunian di atas tanah negara atau tanah pemerintah tanpa suatu hak legal
  2. Penyewa hunian atau bangunan lainnya yang dibangun di atas tanah negara atau tanah pemerintah tanpa suatu hak legal
  3. “Penyerobot”, yaitu warga yang memperbesar atau memperluas penguasaannya (tanah dan aset diatas tanah milik) dengan cara menyerobot tanah negara atau tanah pemerintah yang berdekatan/bersebelahan
  4. Warga yang mengambil manfaat secara tidak sah dari sewa atas bangunan yang dibangun di atas tanah negara atau tanah pemerintah, tetapi tidak tinggal/menghuni bangunan tersebut.

Warga yang termasuk dalam dua kategori pertama dan kedua berhak untuk mendapatkan manfaat sesuai dengan KKPK. Sedangkan bagi yang masuk ke dalam kategori ke 3 dan 4, diatur bahwa tidak berhak mendapatkan manfaat apapun.

Berikut adalah hak-hak yang dimiliki oleh Warga Terdampak proyek (WTP) yang menempati tanah negara/pemerintah dan diatur dalam KKPK :

 

Issue Peruntukan  Hak-Hak
Kompensasi Warga yang memiliki danmenempati bangunan hunian  dan bangunan lainnya Kompensasi atas hilangnya bangunan hunian ataubangunan lainnya sesuai dengan biaya penggantian(Paragraf 23-29) DanBantuan pemukiman kembali(Paragraf 30-31, 33-37)
Penyewa bangunan huniandan bangunan lainnya Bantuan pemukiman kembali(Paragraf 30-31, 33-37)
WTP yang kehilanganpekerjaan, mata pencaharianatau sumber pendapatannya(permanen atau sementara)sebagai akibat daripemindahan Dukungan rehabilitasi yangmemadai untukmengembalikan tingkatpendapatan dankesejahteraan (Paragraf 32)
Relokasi WTP Warga akan mendapatkan Lokasi permukiman kembali yang menawarkan kondisi perumahanyang setidaknya setara dengan kondisi di lokasi lama. Permukiman tersebut akan dilengkapi dengan prasarana dasar dan akses ke pelayanan dasar
Tempat relokasi dipilih melalui konsultasi dengan WTPi dan jika diperlukan, dengan masyarakat setempat di tempat tujuan relokasi.WTPi akan: i) diberikan informasi lengkaptentang tempat relokasi yang dipilih, termasuk pelayanan dan prasarana, serta hasilkonsultasi dengan masyarakat setempat di lokasi tujuan relokasi, jika ada; dan ii) diberikaninformasi tentang selesainya pembangunan lokasi permukiman kembali setidaknya minimal satu bulan sebelum pemindahan, dan warga diundang untuk melihat lokasi baru.

 

Mengenai pendanaan,  KKPK dan persyaratan yang ditetapkan dalam dokumen ini akan dibiayai secara bersama oleh DKI Jakarta, Unit Pengelola Proyek (berada di Kementerian PU), dan Dana Hibah.

DKI Jakarta sendiri akan membiayai dalam aspek berikut:

  1. Unit Implementasi Proyek, termasuk seluruh Pokja yang terdapat di dalamnya
  2. Kompensasi atas pemukiman kembali, bantuan permukiman kembali serta bantuan rehabilitasi
  3. Pembentukan dan penyediaan tempat Pusat Penanganan Keluhan pada tingkat provinsi dan kota serta Posko (sesuai kebutuhan)
  4. Sistem m-government dan penempatan lokasi website

 

Pendekatan yang coba digagas oleh pemerintah kali ini dalam upayanya mengatasi kemiskinan bisa diapresiasi. Tetapi, masih terasa banyak ganjalan terutama bagaimana pendekatan baru ini dapat dilaksanakan dan prinsip-prinsip di dalamnya terpenuhi.

Seperti disebutkan di atas, pendekatan ini merupakan perubahan yang cukup radikal tentang bagaimana “mengeksekusi” penataan permukiman. Selama ini, praktek penggusuran yang dilakukan di Jakarta tidak didasari oleh prinsip-prinsip pemenuhan hak warga sebagaimana diatur dalam KKPK.

Sehingga, tantangan utama bagi Pemerintah DKI Jakarta adalah merubah cara berpikir dan pandangannya terhadap konteks relokasi atau permukiman kembali. Salah satunya adalah dengan mengakui kemampuan warga untuk menentukan, bersepakat dan bertanggung jawab tentang apa yang baik bagi warga dan kehidupan Kota, secara bersama. Artinya, melihat warga sebagai stakeholder yang paham akan hak dan kewajibannya juga memiliki ide-ide inovatif yang mungkin bisa mendorong proses penataan pemukiman, menjadi lebih baik.

Tetapi, terlepas dari prinsip yang baik sebagaimana tercantum dalam KKPK, seperti prinsip keterbukaan informasi dan partisipasi warga, wakil pemerintahan di level masyarakat (tingkat kelurahan, RW dan RT) hingga saat ini masih belum transparan atas rencana pemerintah terkait proyek JUFMP.

Masih banyak warga yang belum memiliki informasi detail tentang bagaimana proyek akan dilaksanakan. Lokasi relokasi dan gambaran pemukiman kembali sudah ditentukan dan disusun oleh Pemerintah Pusat dan DKI Jakarta, tanpa pelibatan warga.

Menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah benar proyek JUFMP, terkait rencana pemukiman kembali, akan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur dalam KKPK?

 

 

4 thoughts on “Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) dan Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (KKPK)

  1. Aly says:

    Dikatakan bila pendekatan ini akan mengembalikan sistem pengendalian banjir ke sistem desain awal dan diperkirakan akan mengurangi sekitar 30% dari luas genangan banjir.

    70%-nya bagaimana?

    Lagi2 kebijakan tersebut timpang sebelah. Yang direpotkan adalah rakyat kecil., sedangkan yang menengah atas entah kemana.
    Padahal penyebab Jakarta banjir adalah pembangunan yang tidak mengindahkan peraturan tentangnya.
    Lihat saja pola pembangunan pemukiman, pusat komersil dan sebagainya., dimana daerah resapan airnya???
    Ini yang seharusnya dikaji.

    Payah!!

Comments are closed.