Apakah kawasan sub-urban (daerah pinggiran) di Jakarta lebih aman terhadap penyebaran wabah COVID19? Kenyataannya tidak demikian. Memang ada hubungan antara penyebaran wabah penyakit dengan kepadatan penduduk di suatu wilayah, terutama jika pencegahan tersebut membutuhkan jaga jarak fisik (physical distancing), namun bukan berarti kawasan sub-urban adalah tempat yang aman jika ingin menghindari penyebaran dari wabah tersebut. Tulisan lain di Citylab.com juga bisa menjadi referensi lanjutan.
Temuan lain berdasarkan penelitian mengenai hubungan kepadatan penduduk dengan epidemi yang dilakukan tahun 2018 adalah ada korelasi yang lemah antara kepadatan penduduk dengan kematian akibat wabah (Li et al, 2018). Berdasarkan data angka kematian, ditemukan bahwa wilayah dengan kepadatan penduduk rendah menghalangi penyebaran epidemi itu sendiri. Studi yang sama menunjukkan bahwa ada korelasi antara kepadatan penduduk dan wabah. Hal ini, sementara bertentangan dengan kondisi yang terjadi di Jakarta sampai saat ini dimana wilayah dengan kepadatan penduduk tinggi tidak berbanding lurus dengan penyebaran wabah COVID19. Kondisi ini bisa saja terjadi akibat minimnya test yang terjadi, terutama di kota yang memiliki kepadatan tinggi seperti DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Hal ini merujuk pada kenyataan bahwa memang kawasan perkotaan yang padat penduduk tentu akan menyebabkan transmisi penyakit lebih cepat dengan rantai penyebaran yang lebih kompak dan kompleks. Kawasan sub-urban memiliki keterjangkitan yang lebih rendah, tapi kawasan sub-urban juga memiliki fasilitas kesehatan yang tidak memadai untuk menghadapi wabah penyakit, apalagi COVID19 yang merupakan penyakit baru.
Penduduk yang tinggal di kawasan pinggiran memiliki tantangan berupa akses yang jauh ke rumah sakit dengan fasilitas lengkap dan kapasitas memadai. Kawasan perkotaan dapat dengan mudah menerapkan kebijakan seperti pembatasan fisik (physical distancing) dan pelarangan kumpulan massa untuk mengakali kepadatan penduduk; namun tidak demikian untuk kawasan pinggiran. Kawasan pinggiran dapat mengalami kesulitan saat mengakali disparitas fasilitas kesehatan yang dialaminya.
Lalu bagaimana dengan Jakarta? Sebagai kota metropolitan terbesar di Indonesia, kepadatan penduduk merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan dapat menjadi salah satu katalisator dalam masa pandemik seperti ini. Berikut adalah data pembanding antara pasien positif COVID19 dan kepadatan penduduk per kelurahan di DKI Jakarta.
Berdasarkan peta tersebut dapat kita lihat kepadatan paling tinggi ada di Jakarta Pusat, tepatnya di Kelurahan Johar Baru dan Kelurahan Kemayoran dengan masing-masing jumlah kasus positif COVID19 per 31 Maret adalah 3 hingga 5 orang. Sedangkan kawasan terpadat kedua berada di Jakarta Barat, tepatnya di Kelurahan Tambora dengan jumlah positif COVID19 sebanyak 2 orang.
Namun ada juga kasus dimana kepadatan penduduk belum tentu berkontribusi pada jumlah positif COVID19. Lokasi dengan jumlah positif COVID19 tertinggi di Jakarta ada di Kelurahan Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Jakarta barat tidak terlalu memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain yang perlu ditelaah lebih dalam. Salah satu asumsi mengapa Kelurahan Pegadungan memiliki tingkat positif yang tinggi adalah lokasinya yang dekat dengan Bandara Soekarno-Hatta dimana tentu banyak masyarakatnya yang secara langsung bersinggungan dengan aktivitas di dekat bandara yang mana merupakan pintu masuk penyakit tersebut dari luar negeri. Selain itu ada cluster penyebaran berasal dari Gereja, yang lokasinya di perbatasan Kelurahan Kalideres dan Kelurahan Pegadungan. Hampir 85% wilayah Kelurahan Pegadungan adalah permukiman real estat yang memiliki kepadatan lantai dan penduduk yang rendah, dan sekitar 5% adalah kampung padat.
Berbicara mengenai kepadatan penduduk di suatu wilayah juga memiliki hubungan dengan tipologi perumahan dan permukiman. Sebagaimana kita ketahui bahwa terdapat perbedaan karakteristik dalam tipologi rumah tapak dan rumah susun. Penyebaran penyakit COVID19 di rumah susun tentu akan lebih parah karena banyak fasilitas yang digunakan secara bersama-sama seperti koridor, tangga, lift (jika ada), dan lain-lain. Hubungan rumah susun dan penyebaran Covid-19 dapat dibaca lebih lanjut pada artikel “Persebaran Rusun di tengah Kepungan COVID19”.
Berdasarkan peta kepadatan penduduk yang ditandai oleh dot kepadatan dan jumlah positif COVID19 per Kota Administrasi yang dapat dilihat di bawah, dapat kita ketahui bahwa sejauh ini di Indonesia belum ada korelasi kuat antara kawasan padat penduduk dengan jumlah positif COVID19. Hal ini menandakan bahwa faktor kepadatan penduduk merupakan salah satu katalisator tapi belum menjadi faktor utama di Jakarta, apalagi dengan minimnya jumlah tes yang masih dibawah 1000/hari. Perlu adanya penelitian dan studi mendalam terkait faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran COVID19 di Jakarta seperti kondisi ekonomi masyarakat, mata pencaharian, tingkat kemiskinan, dan masih banyak lagi.
Ketersediaan data di tengah masa pandemik seperti ini khususnya di Indonesia telah menjadi salah satu hambatan dalam penanganan dan pencegahan COVID19. Pemerintah sebagai pemilik sumberdaya terbesar seharusnya melakukan survey secara rinci untuk menyediakan data-data pendukung. Apalagi, hal ini menjadi sangat ironis karena sebelum pandemik ini terjadi, banyak pemerintah dari skala pusat hingga kabupaten/kota yang menggelar seminar-seminar bertajuk “Big Data di Era 4.0” namun tampaknya hal tersebut hanya menjadi wacana dalam pembicaraan publik semata alih-alih menerapkannya dalam kondisi seperti ini.
Hal ini juga menjadi pelajaran bagi pemerintah kota, swasta, dan masyarakat bahwa sebenarnya infrastruktur kesehatan di Jakarta belum siap untuk menghadapi salah satu bencana non-alam seperti ini. Para pengambil kebijakan dapat belajar dari kegagalan penanganan COVID19 di Negara Italia seperti yang disadur dari artikel di Harvard Business Review dan juga berdasarkan penilaian Rujak sendiri, antara lain yaitu:
- Mengenali bias kognitif
Indonesia merupakan salah satu negara yang telat dalam menyadari bahwa virus corona atau COVID19 telah memasuki negaranya dan pemerintah terus menyangkal bahwa Indonesia sangat rentan terhadap penyebaran penyakit tersebut. Hal ini yang menyebabkan ledakan pasien positif, terutama OTG (Orang Tanpa Gejala), dan orang terduga yang disebut sebagai ODP (Orang dalam Pemantauan) dan PDP (Pasien dalam Pemantauan) termasuk beberapa pejabat yang pada awalnya enggan melakukan aksi preventif sebelum pandemik ini membesar. - Menghindari solusi parsial
Pembelajaran kedua adalah pentingnya menerapkan kebijakan sistemik dan bahaya dari solusi parsial. Italia menerapkan kebijakan karantina wilayah dimana dianggap hal yang bijaksana pada situasi normal. Namun, ada dua alasan mengapa hal tersebut menjadi boomerang bagi negaranya. Yang pertama, kondisi di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diprediksi di awal, bukannya mencegah penyebaran, justru penyebaran COVID19 semakin menjadi-jadi. Hal ini ada hubungannya juga dengan tipologi perumahan dan permukiman di Italia dan kepadatan penduduk disana. Yang kedua, kebijakan karantina wilayah justru bisa jadi malah memperparah situasi karena banyak penduduk yang justru pergi ke daerah lain dan berpotensi menularkan COVID19 ke daerah-daerah yang belum tertular. Berkaca pada kondisi di Indonesia yang mendekati masa mudik, pemerintah jelas harus memberikan sikap tegas agar tidak terjadi penyebaran COVID19 dari Jakarta ke luar daerah, khususnya daerah sasaran mudik para pekerja di Jabodetabek. - Pentingnya pembelajaran dan implementasinya
Banyak negara di dunia yang memiliki pendekatan berbeda-beda dalam pengambilan kebijakan terkait pencegahan dan penanganan COVID19. Pembelajaran dengan melihat negara lain sangat penting dan juga tidak takut untuk mengubah rencana aksi yang dianggap perlu untuk dilakukan dengan menyesuaikan keadaan di Jakarta, bahkan Indonesia. Melihat kondisi di negara lain, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia harus memberikan petunjuk dan berkoordinasi dengan dinas-dinas kesehatan di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta untuk menekan penyebaran wabah penyakit COVID19. - Pentingnya mengumpukan dan transparansi data
Sebagaimana yang selalu digaungkan beberapa bulan terakhir mengenai Big Data dan implementasinya dalam perencanaan kota, pihak pemerintah harus mengumpulkan data dan menyebarluaskannya kepada masyarakat. Tidak bertujuan untuk membuat panik, namun agar semua elemen masyarakat menjadi waspada dan tahu apa yang harus dilakukan di masa-masa kritis seperti ini. Apa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sejauh ini sudah cukup baik dalam penyediaan data terkait penyebaran COVID19 namun hal tersebut masih dapat terus ditingkatkan terutama dalam penyediaan data spasial dan data pendukung yang sekiranya dapat digunakan untuk membantu proses mitigasi COVID19. - Pentingnya pemberlakuan tes akurat dan cepat secara acak di kawasan padat
Sebagaimana diungkapkan dalam berbagai studi epidemik, memang ada korelasi antara kepadatan penduduk dan penyebaran wabah. Karena itu, sebagai upaya preventif, pemerintah harus memperluas jangkau tes tidak hanya pada upaya contact tracing saja, melainkan untuk mengetahui kondisi sesungguhnya di kawasan padat perkotaan.
Peta dengan resolusi tinggi dapat diunduh DISINI.
Saat tulisan ini terbit, 10 besar kelurahan domisili positif memang didominasi oleh kawasan perumahan yang kebanyakan kepadatan rendah dan jumlah lantai terbangun pun rendah (dominasi 2-4 lantai). Namun sejak minggu ke 5-6 pasien 1 diumumkan, terjadi perubahan ketika kawasan padat, rentan dan kawasan yang didominasi menengah ke bawah mulai mengalami perubahan, sesuai dengan grafik di bawah ini.
Tentu hal tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut dengan, sekali lagi, tes masal dan akurat.
Pingback: Mengalami Paskah di Tengah Pandemik – OpenUrbanity
informasi yang mantap