Pandemik dan Tiga Kerentanan Kampung

Pandemik COVID19 telah menjadi topik yang selalu muncul dalam pembicaraan sehari hari, khususnya terkait wilayah DKI Jakarta sebagai pusat episentrum pandemik tersebut. Fakta bahwa Jakarta menjadi perhatian dalam pandemik ini menarik banyak diskusi soal kerentanan kota, resiliensi warga kota, kesiapan pemerintah dan sistem kesehatan publik dan sebagainya. Salah satu yang juga dibicarakan adalah kampung kota. Namun, pembicaraan mengenai kampung kota yang terkait COVID19 sampai saat ini lebih menekankan dari segi fisik dan ekonomi, seperti kepadatan penduduk, keterbatasan infrastruktur dasar hingga dampaknya terhadap pekerja informal yang sebagian besar tinggal di kampung kota. 

Untuk memahami kerentanan kampung kota dalam pandemik ini, kami melakukan analisa spasial menggunakan data angka positif per kelurahan dari website tanggap COVID19 Pemprov DKI Jakarta serta data RW Kumuh yang terlampir dalam Peraturan Gubernur 90/2018 tentang Peningkatan Kualitas Permukiman Dalam Rangka Penataan Kawasan Permukiman Terpadu dengan penambahan Kepgub 878/2018. Adapun data tersebut digunakan karena tidak tersedianya data yang lebih spesifik seperti data kampung atau angka positif menurut tingkat RW. Analisa ini ditujukan sebagai pemantik diskusi kerentanan kampung kota yang lebih komprehensif.

 

Penggabungan Peta Kasus COVID19 dengan RW Kumuh Jakarta
Sumber: corona.jakarta.go.id dengan Pergub 90/2018

 

Dari peta di atas, hanya sekitar 4 RW kumuh yang berada pada kelurahan dengan jumlah pasien postif COVID19 tinggi (Pegadungan, Pondok Kelapa, Pondok Pinang, Senayan, Kalideres, Kelapa Gading TImur dan Kebon Jeruk). Hingga hari ini tulisan diturunkan, total 1552 positif COVID19 tersebar di 214 dari total 267 kelurahan Jakarta. Dengan data yang saat ini tersedia di situs corona.jakarta.go.id dan keterbatasan jumlah tes serta prioritas rapid test hanya untuk tenaga kesehatan dan contact tracing, maka untuk sementara ini belum dapat mengkorelasikan antara kepadatan dan kekumuhan dengan penyebaran COVID19. Perkembangan terakhir pun menunjukkan COVID19 telah menyebar secara lokal dan tidak lagi kasus impor. Kementerian Kesehatan menambahkan definisi baru dalam panduannya, yaitu Orang Tanpa Gejala (OTG) yaitu orang yang postif COVID19 namun tanpa dan minim gejala dan jumlahnya cukup besar (sekitar 70%). 

Peta Persebaran COVID19, 8 April 2020 jam 08.00

Studi-studi seperti dari Tarwater & Martin (2001) menunjukkan korelasi antara penyebaran pandemik (dalam studi ini yang diambil contoh adalah campak) dengan kepadatan penduduk. Apabila kita kembali ke perspektif kerentanan kampung, kampung dan permukiman kumuh padat harus tetap waspada. Kampung dan permukiman kumuh menjadi erat kaitannya jika terjadi degradasi kualitas lingkungan hidup secara terus menerus. Terlebih jika kampung atau permukiman tersebut tidak atau kurang memiliki akses air bersih.

Hingga saat artikel ini ditulis, wilayah dengan 10 kelurahan domisili tertinggi kasus pasien positif sebagian besar berada pada kelurahan yang permukiman ukuran sedang hingga besar. Dengan keterbatasan tes yang sebagian besar masih ditujukan pada contact tracing, maka data hanya menunjukkan cluster penyebaran belum berada pada wilayah dengan intensitas kampung yang besar. Di sisi lain, belum ada penelitian yang konkrit mengenai hubungan antara kepadatan wilayah dengan peningkatan persebaran COVID19. Namun, kepadatan wilayah berpotensi meningkatkan resiko terhadap physical distancing, contohnya memperbesar kemungkinan adanya keramaian di suatu titik, dan lain-lain. Sehingga, bukan berarti kampung kota kebal terhadap pandemik ini. 

Di saat yang sama, kampung kota juga menghadapi tiga kerentanan yang menantang untuk bertahan di tengah pandemik. Yang dimaksud dengan tiga kerentanan adalah kampung yang dalam kesehariannya selalu dihadapkan dengan kurangnya infrastruktur dasar, kerentanan laten terkait dengan keamanan bermukim dan ditambah dengan dampak dari pandemik yang semakin mempersulit keadaan yang sudah ada. 

Kerentanan yang selalu dihadapi yakni soal kurangnya infrastruktur dasar seperti sanitasi, ketersediaan air dan saluran drainase. Bagaimana menyarankan seluruh warga kampung untuk rajin mencuci tangan apabila wilayah tersebut masih kesulitan mendapat akses air bersih? Selanjutnya, kerentanan yang bersifat laten/tersembunyi adalah mengenai hak hunian layak yang terkait dengan status lahan tinggal. Dalam hal ini, posisi kampung kota yang sampai sekarang masih belum jelas dalam rencana tata ruang menjadikannya rentan terhadap gentrifikasi, hingga penggusuran. Status lahan juga menjadi before-after obstacle dalam implementasi program peningkatan kualitas kampung (contoh: Collaborative Implementation Program, Kampung Improvement Program) sehingga kondisi lingkungannya terus mengalami degradasi hingga kekumuhan dalam skala berat.

Kerentanan akibat dampak adalah yang bersifat tambahan akibat pandemik ini. Aktivitas ekonomi mengalami shifting besar-besaran, sedangkan banyak masyarakat kampung bergantung dari sektor informal dengan pendapatan yang fluktuatif untuk menyokong kebutuhan sehari-hari. Mereka menopang pendapatan sehari-harinya dengan memperdagangkan barang atau jasa ke area sekitar, khususnya pusat-pusat kegiatan perkotaan, seperti perkantoran dan komersial. Cara yang digunakan sebatas menggunakan gerobak, atau membuka warung sederhana, sehingga sulit untuk melakukan shifting seperti beberapa sektor pekerjaan kantoran yang dapat melakukan Work From Home. Kembali ke peta, kita dapat melihat banyaknya RW kumuh yang secara lokasi berada pada kelurahan domisili positif COVID19, sehingga meningkatkan resiko penularan dengan cepat jika masyarakat masih giat bermobilitas.  Sayangnya, hingga saat ini, Pemprov DKI Jakarta tidak menggunakan satuan RW dalam peta corona. 

Ketiga kerentanan ini secara aktual menjadikan kampung sangat rentan dalam pandemik COVID19, terutama kerentanan yang bersifat dampak dari pandemik yang sulit diprediksi dan merupakan big blow yang mematikan secara tiba-tiba. Oleh karena itu, pada masa pandemik ini, peran pemerintah sangat krusial untuk memberikan bantuan dan mempersiapkan berbagai skenario periode, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang.

Rekomendasi untuk mengatasi tiga kerentanan yang dapat ditindaklanjuti pemerintah saat ini adalah;

  1. Pemberlakuan tes PCR acak pada RW yang terdaftar dalam Pergub 90/2018 dan Kepgub 878/2018 serta RW lain di Pergub/Kepgub tersebut yang memiliki kepadatan tinggi. Tes PCR juga perlu dilakukan kepada rusunawa yang tersebar di DKI. 
  2. Penggunaan data penduduk secara maksimal. Sebagai contoh, pemerintah dapat memanfaatkan catatan medis penduduk miskin yang direferensi dari BPJS dan melakukan analisa di wilayah mana yang masyarakatnya mempunyai riwayat penyakit paling banyak, terutama penyakit yang beresiko tinggi terhadap COVID19.
  3. Jaminan sosial dan sarana kebersihan bagi warga kampung. Pemerintah dapat menggabungkan skema bantuan dari swasta untuk memberikan paket bantuan berupa desinfektan, fasilitas cuci tangan bagi kampung dan RW yang kesulitan akses air bersih, makanan dan akses kesehatan. Selebihnya pemerintah harus dapat memaksimalkan daya, aset dan jaringan yang dimiliki oleh pemerintah maupun warga untuk memberi dukungan bagi warga kampung dalam menghadapi krisis ini.
  4. Warga kampung sendiri dapat berinisiatif menciptakan situasi yang kondusif, seperti memberikan informasi yang akurat, saling memantau kondisi tetangga, membatasi kegiatan komunal, pendataan warga yang sakit, dan sebagainya. 
  5. Isolasi mandiri bagi OTG dan ODP akan sangat sulit terjadi di kampung dan permukiman padat yang memiliki luas hunian per kapita <9 m2 ataupun tinggal di hunian layak. Karena itu pemerintah perlu menyediakan karantina massal yang layak.

 

Oleh: Vidya Tanny, Angelika Fortuna, Elisa Sutanudjaja