Oleh : Ruhulludin Kudus
Palembang, apa yang menjadi daya tarik orang berkunjung ke Palembang? Pempek? Jembatan Ampera? Sungai Musi? Kain Songket? Mungkin semua ini, tapi apakah kita bisa menambah daya tarik bagi orang lain untuk berkunjung ke salah satu kota paling tua di Indonesia ini? Sejarah. Ya, sejarah kota.
Palembang memiliki sejarah panjang, kerajaan terbesar di Indonesia bahkan di Asia, Sriwijaya yang memilki kekuasaan sampai ke India. Bila kita kembalikan ke Palembang, berbicara Sriwijaya tak lepas dari pengaruh Sungai Musi, karena saat itu sungai berperan sebagai pusat perdagangan. Kota yang dulunya terkenal dengan Venesia dari Timur ini awalnya dibelah oleh ratusan anak Sungai Musi, lalu bertransformasi menjadi kota yang nyaris tak ada sungai lagi. Dalam rangka memodernisasi Kota. Pemerintah Kolonial Belanda secara perlahan mengubah Palembang dari kota air menjadi kota daratan. Proses penghilangan simbol kota dimulai sejak zaman kolonial, Gemeente Palembang membuat kebijakan pembangunan dan pengaspalan jalan dengan cara menimbun sungai. Jalan sebagai urat nadi transportasi dibangun di atas tembokan yang menimbun sungai dengan menggunakan puru dan kerikil.
Kota ini sangat kaya, khususnya sejarah. Elemen besar kota menarik untuk diceritakan, tapi elemen-elemen pembentuk kota juga berperan penting. Bagaimana Jembatan Ampera mengawali awal pembangunan di Palembang pasca kemerdekaan. Jembatan Ampera sebagai simbol kota, sebagai penghubung Palembang ulu dan Palembang Ilir. Jembatan ini dibuat sebagai media dalam menanamkan ideologi dan menjalankan politik identitas baik nasional maupun lokal. Ketika rakyat mendobrak Orde Lama, Jembatan Ampera menjadi media yang merepresentasikan kehendak mereka agar zaman berubah. Begitu banyak sejarah di Kota Palembang, semua bangunan bisa berbicara berdasarkan zamannya. Kemudian yang ingin saya khususkan yakni Pasar Cinde, karena pasar ini akan segera mengalah dengan kepentingan kapitalis dan akan berganti dengan sebuah bangunan megah.
Pasar cinde adalah pertama yang dibangun pasca kemerdekaan pada tahun 1959 di Palembang, dirancang oleh arsitek Belanda, Herman Thomas Karsten. Pasar ini terletak di jalur arteri Kota Palembang. Apabila melewati jalan Sudirman, kita akan dengan mudah mengenali pasar ini, bangunannya memanjang dengan atap datar, kesan bangunan modernnya sangat kuat.
Memasuki kawasan pasar cinde, kita akan disuguhi dengan berbagai bau kue-kue khas Palembang. Karena memang secara penempatan, pedagang yang berdagang makanan diletakkan area depan. Kemudian memasuki sisi dalam, koridor kecil dengan berbagai kios yang berdagang kelontong dan bumbu dapur menyambut. Kondisi koridor sekarang cukup gelap, hanya remang lampu kios, ditambah lantai yang becek. Koridor kios tak terlalu panjang menuju ruang utama Pasar Cinde. Memasuki ruang utama, disinilah pangan pokok dijual, sayur, ikan dan daging.
Prinsip dasar arsitektur juga diterapkan dalam perancangan perpindahan antar ruang pasar, menggunakan koridor sempit sebagai pengantar sebelum bertemu ruang utama yang besar, sehingga ketika pengunjung memasuki ruang utama, ada kesan kejut sekaligus lega. Begitu arif sang arsitek mendesain ruang-ruang pengantar sebelum memasuki ruang utama. Bagaimana pula ia mengatur bukaan-bukaan untuk ventilasi udara dan cahaya. Semuanya berpadu elegan dengan jajaran kolom berpenampang cawan.
Lalu lalang pedagang sangat cepat dan lugas, wangi buah dan sayur bercampur bau amis ikan, semua berdampingan. Begitupula para pedagang, lebih terlihat sebagai sebuah koloni kecil. Koloni yang bahu-membahu membangun sumber penghasilan mereka, tak ada persaingan, semua bergerak sebagai satu kesatuan, utuh membentuk pasar.
Ketika saya berkunjung untuk mengamati Pasar Cinde. Terlihat seorang bapak tua yang sedang membersihkan meja warung kopinya, dengan senyum ia menyapa. Sapa pun berlanjut mengejutkan dari seorang tetua yang telah berdiri dibelakang. Perkenalan singkat lalu ia mulai bercerita sebagai pedagang, pahit manis, serta cerita tentang pasar cinde. Pemerintah tidak berani mengusir secara langsung para pedagang ini, namun dengan perlahan pemerintah menyudutkan para pedagang dengan kenaikan harga sewa kios. Pedagang pun dibuat diam. Entah sampai kapan mereka akan bisa berdagang di sini, sementara pemerintah telah mengumumkan bahwa akan adanya revitalisasi pasar cinde, dengan membangun bangunan 20 lantai. Ironis.
Tidak ada lagi pasar paling strategis (dipusat kota) selain pasar cinde di Palembang. Namun pasar cinde sekarang dalam kondisi yang kurang baik. Sanitasi, jalur distribusi sampah, manajemen pasar yang masih perlu diperbaiki. Walaupun begitu, pasar cinde tetap ramai pengunjung. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sangat menggantungkan kehidupan pada pasar cinde ini, baik pedagang maupun pembeli. Begitu banyak pedagang yang bergantung pada pasar cinde, bukan hanya pedagang di dalam pasar cinde itu sendiri, tapi juga pedagang di sekitar kawasan. Disisi Barat Pasar CInde kita temui ruko-ruko dan pedagang kaki lima yang berdagang segala jenis makanan. Sedangkan disisi timur, banyak pedagang barang-barang bekas dan spare part kendaraan bermotor. Prinsip dasar dari perdagangan, dimana ada keramaian maka akan ada pembeli. Penataan kembali pasar cinde tidak hanya meliputi fisik bangunan pasar cinde itu sendiri, perlu didata juga nonfisik disekitar bangunan.
Penataan nonfisik harus sama porsinya dengan penataan fisik, karena didalamnya terkandung unsur budaya dan kebiasaan turun temurun sebuah pasar. Hal ini tak bisa kita abaikan begitu saja, hanya karena tampilan fisik bangunan yang megah takkan menjamin pedagang akan laku dagangannya. Sebuah budaya ada karena perilaku yang terus berulang. Akankah kita akan menghilangkan sebuah budaya yang telah lama ada (bahkan membentuk identitas kita yang sekarang) dengan sebuah kemodernan?