Tanggul Raksasa untuk Jakarta
Pada 18 Juni 2014, Kementrian Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan kegiatan sosialisasi UU No 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dalam acara tersebut, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mensosialisasikan proyek besar di teluk Jakarta bernama NCICD (National Capital Integrated Coastal Development). NCICD adalah penamaan terakhir untuk proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta setelah sebelumnya bernama Giant Sea Wall dari yang sebelumnya Jakarta Coastal Development Strategies (JCDS) dan sebelumnya lagi dikenal sebagai Jakarta Coastal Defence Strategies (JCDS).
NCICD merupakan proyek pengembangan kawasan pantai Utara Jakarta seluas 5100 Ha melalui pembangunan 17 pulau reklamasi yang akan terbagi dalam tiga kawasan:
-
Pemukiman dengan intensitas sedang, kegiatan rekreasi dan komersial terbatas (bagian barat);
-
Pusat perdagangan jasa skala internasional, pusat rekreasi/wisata dan pemukiman dengan intensitas tinggi (bagian tengah);
-
Pusat distribusi barang, pelabuhan, industri, pergudangan, serta pemukiman dengan intensitas rendah sebagai penunjang (bagian timur).
Wilayah reklamasi ini dikembangkan bagi penduduk malam maksimal 750.000 jiwa. Selain pembangunan 17 pulau reklamasi, proyek ini juga akan membangun tanggul laut, waduk lepas pantai untuk penyediaan sumber air baku dan dinding laut tinggi. Dalam proyek NCIDC terdapat paradigma baru membangun Jakarta yaitu sebagai waterfront city bertaraf internasional.
NCICD dianggap sebagai solusi terbaik atau one stop solution mengatasi berbagai soal di wilayah DKI Jakarta; banjir rob, penurunan muka tanah, peningkatan muka air laut, kurangnya lahan perkotaan, kurangnya suplai air minum, dan persoalan pencemaran air di Teluk Jakarta.
Dalam presentasinya, Asisten Deputi Infrastruktur Sumber Daya Air, Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, menyatakan bahwa pembangunan tanggul raksasa merupakan alternatif yang dipilih dibandingkan dua pilihan lainnya yaitu :
-
Mengabaikan Jakarta Utara dengan resiko wilayah Jakarta Utara akan tenggelam pada tahun 2030 dan resiko memukimkan kembali 4 juta penduduk dengan kerugian lebih dari 200 miliar USD atau;
-
Solusi darat dengan pembangunan tanggul yang tinggi di pantai dan di kota serta penyediaan danau pemompaan yang besar di kota. Untuk alternatif ke-dua ini, minimnya ketersediaan lahan di kota untuk memfasilitasi pembangunan danau pemompaan meniadakan kemungkinan alternatif ini sebagai pilihan.
Dihapusnya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir
UU No. 1 tahun 2014 lahir dari Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/ PUU-VIII/2010 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU No. 27 tahun 2007 oleh Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir.
Putusan Mahkamah Konstitusi menjadikan HP3 atau yang lebih dikenal dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir menjadi inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya ketentuan yang mengatur tentang HP3 dinyatakan tidak memiliki kekuatan mengikat.
Dalam UU No 27 tahun 2007, HP3 didefinisikan sebagai hak atas bagian- bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencangkup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu (Pasal 1 Butir 18 UU No 27 tahun 2007).
Pada UU No. 1 tahun 2014, klausul HP3 diubah menjadi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau pulau kecil melalui mekanisme perizinan. Ada dua izin yang diatur dalam pasal yang mengganti HP3, yaitu izin lokasi dan izin pengelolaan.
Transformasi Proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta
Perubahan HP3 menjadi mekanisme izin lokasi dan izin pengelolaan tidak menyurutkan proyek besar yang sedang berlangsung saat ini di wilayah Teluk Jakarta. Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah dimulai sejak 1995 dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No 52 tahun 1995 yang diikuti dengan terbitnya Perda DKI Jakarta No 8 tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantura Jakarta.

Proyek Reklamasi Pantai Utara Jakarta pada saat itu mentargetkan reklamasi 2700 hektar lahan sepanjang 32 kilometer di wilayah Utara Jakarta yang mencakup wilayah Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Di kawasan reklamasi tersebut nantinya akan dibangun antara lain kawasan industri, perkantoran, hotel, pusat perbelanjaan, perumahan (apartemen, kondominium) dan infrastruktur transportasi untuk memfasilitasi sekitar 750.000 hingga satu juta penduduk.
Melalui Keputusan Presiden tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, terdapat sepuluh perusahaan yang sudah menandatangani perjanjian kerja sama menurut Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta, yaitu :
-
PT. Muara Wisesa Samudra (54 Ha)
-
PT. Taman Harapan Indah (100 Ha)
-
PT. Bhakti Bangun Eramulia ( 38Ha)
-
PT. Kawasan Berikat Nusantara (198 Ha)
-
PT. Pembangunan Jaya Ancol ( 592 Ha).
-
PT. Kapuk Naga Indah (674 Ha)
-
PT. Jaladri Kartika Eka Paksi (200 Ha)
-
PT. Manggala Krida Yudha (375 Ha)
-
PT. Dwi Marunda Makmur (220 Ha)
-
BPL Pluit/ PT. Jakarta Propertindo (290 Ha)
Sejak awal proyek reklamasi diluncurkan, penolakan disampaikan berbagai pihak termasuk masyarakat sipil. Argumentasi para pihak yang menolak gagasan reklamasi pantai didasarkan kekhawatiran akan dampak proyek ini terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat pesisir/nelayan. Pada tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup, Nabil Makarim, menerbitkan Keputusan Menteri No 14 tahun 2003 yang menolak proyek reklamasi pantai Jakarta Utara. Keputusan tersebut digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) oleh gabungan perusahaan yang mendapatkan hak membangun di kawasan reklamasi.
Menteri Nabil Makarim kala itu memenangkan gugatan sampai tingkat Mahkamah Agung. Namun, pada 2011 keputusan Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali dan menyatakan tidak sah Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 serta memerintahkan Kementerian Lingkungan Hidup untuk mencabutnya.
Putusan MA tersebut mengembalikan pelaksanaan proyek besar ini pada rencana semula. Gugatan permohonan uji materi UU No. 27 tahun 2007 mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir oleh Koalisi Tolak Hak Pengusahaan Perairan Pesisir juga tidak menyurutkan pelaksanaan proyek ini.
Sejak diatur dalam Keputusan Presiden di tahun 1995, proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta sudah mengalami perjalanan panjang, jatuh bangun “menundukkan” perlawanan kelompok yang memperjuangkan keselamatan lingkungan dan kehidupan nelayan.
Sejak 1995, proyek ini mengalami beberapa kali perubahan nama. Saya lebih memilih menyebutnya perubahan bungkus. Di bungkus terakhir, pengemasan ditambahkan bumbu bencana dan membangun imajinasi, juga kecemasan, tentang Jakarta yang akan tenggelam bila tidak membangun tanggul raksasa/dinding laut di lepas pantai Jakarta.
Pendekatan proyek ini, dengan membubuhkan aspek bahaya akan bencana, mengingatkan saya akan teori Disaster Capitalism atau Kapitalisme Bencana yang digagas oleh Naomi Klein. Menurut teori ini, pemahaman akan datangnya bencana atau krisis baik bencana alam, terorisme, krisis politik (kudeta), dll digaungkan sedemikan rupa sehingga membuat masyarakat panik, khawatir yang akhirnya memberikan ruang masuknya modal atau dalam hal ini proyek untuk mengatasi kecemasan tersebut.
Mungkin benar bahwa teknologi pembangunan tanggul raksasa dapat mengatasi beberapa persoalan di atas: banjir rob, pencemaran Teluk Jakarta, dan penurunan muka air tanah. Namun, ada beberapa hal dalam proyek ini penting untuk dikritisi:
-
Dampak lingkungan. Besar kekhawatiran bahwa proyek ini akan menghilangkan kawasan mangrove di pantai Utara Jakarta. Material reklamasi juga masih menjadi pertanyaan besar. Dalam presentasinya, perwakilan dari Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia mengakui bahwa hingga saat ini pemerintah baru bisa menyediakan 1/3 dari material reklamasi yang dibutuhkan.
-
Reklamasi 5100 Ha lahan. Menciptakan ruang tambahan bagi kota dianggap penting saat ini karena kecenderungan pertumbuhan kota ke arah Selatan Jakarta yang sebetulnya dicita-citakan sebagai wilayah konservasi air untuk kawasan Jakarta. Namun, bicara pembangunan kota tidak terlepas dari siapa yang bisa mengakses. Dalam headline kompas.com pada 11 Juli 2014 disebutkan bahwa Lahan Reklamasi Memang Bukan untuk Masyarakat Bawah. Salah satu pakar tata kota dari Institut Teknologi Bandung menyebutkan beberapa faktornya antara lain (i) pengembang yang berminat membangun reklamasi membutuhkan biaya besar untuk penelitian, persiapan, dan pembangunannya sendiri. (ii) belum tentu kawasan baru berada di lokasi strategis yang bisa mendukung kegiatan ekonomi MBR. (iii). Kawasan hasil reklamasi akan memiliki standar tertentu yang tidak mudah dicapai jika sembarang orang bisa tinggal di sana. Selain itu, masyarakat nelayan juga akan tergusur dari tempat tinggal mereka dan kemungkinan besar juga kehilangan mata pencaharian hidup.
-
Pelibatan masyarakat. Proyek ini dikembangkan jauh dari keterlibatan masyarakat. Perwakilan kelompok nelayan yang hadir di acara sosialisasi tidak merasa dilibatkan dalam proyek ini. Berdasarkan penelitian Kian Goh, kandidat Doktor dari MIT, Boston, tentang Strategi Desain dalam Proyek Pembangunan, hal yang berbeda terjadi di New York. Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi pasca badai Sandy, isu bencana dikelola bersama. Pemerintah kota New York secara terbuka mengadakan sayembara desain pengamanan wilayah New York dari potensi badai Sandy ke depan. Dalam hal ini, penyusunan desain dilakukan secara partisipatif dan ada pelibatan warga/komunitas dalam upaya meminimalisir potensi bencana.
-
Pilihan one stop solution dan pendekatan Public Private Partnership (PPP). Metode PPP saat ini menjadi model pembiayaan pembangunan yang sangat diandalkan. Dengan pendekatan PPP maka beban negara (baik dalam APBN maupun APBD) menjadi jauh berkurang. Yang kita kerap lupa adalah beberapa pertanyaan mendasar berikut: Apakah memang proyek tersebut diperlukan? apakah ada dampak kepada sosial/masyarakat, terhadap lingkungan? apakah pendekatan one stop solution menjadi pilihan yang tepat?
Suryono Herlambang, pengamat perkotaan dari Universitas Tarumanagara, menekankan poin penting bahwa proyek ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah begitu saja. Menurutnya, yang penting dilakukan adalah mengevaluasi perubahan tata ruang di Jakarta, termasuk daerah hulu.
Menjaga kualitas sungai, menghentikan laju penggunaan air tanah, dan juga mengembalikan tata ruang pada perencanaan ideal, seharusnya menjadi pilihan. Tentu akan menjadi jalan panjang. Pada akhirnya penting untuk kita kritisi apakah pendekatan satu solusi untuk semua lebih layak dipilih dibandingkan jalan panjang tadi? dengan mengecualikan bumbu bencana tentunya.
Catatan: sebagian materi tulisan ini diambil dari presentasi Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. Materi presentasi dapat diunduh di sini.