Pernyataan Media
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Digugat Warga
Kami yang tergabung dalam Koalisi Pulihkan Jakarta mendaftarkan permohonan uji materiil terhadap Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2030, ke Mahkamah Agung pada 14 Agustus 2012. Permohonan diajukan oleh 7 (tujuh) orang warga dari kalangan nelayan, aktivis dan warga DKI Jakarta, terhadap:
- Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Para pemohon menilai bahwa:
1. Pada dasarnya RTRW DKI Jakarta telah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
2. Proses pembentukan RTRW DKI Jakarta Melanggar asas Keterbukaan (Asas Keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 10 ayat (6) UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Pasal 4 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik). Gubernur DKI maupun DPRD DKI Jakarta tidak memberikan dan/atau menyebarluaskan informasi ataupun data tentang perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan kepada Para Pemohon Keberatan. Padahal, para Pemohon memiliki kepentingan untuk mendapatkan kesempatan memberikan masukan terhadap perencanaan tata ruang melalui pembentukan RTRW DKI Jakarta.
Selain itu, proses perencanaan, perumusan serta pembahasan RTRW DKI Jakarta tidak melibatkan masyarakat Jakarta sebagai stakeholder utama. Berdasarkan survei yang dilakukan pada 31 Januari – 30 April 2010 pada 2000 (dua ribu) warga Jakarta, 95% responden menyatakan tidak mengetahui proses pembahasan RTRW DKI Jakarta, hal ini bertentangan dengan Pasal 60 UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Selain tidak melibatkan masyarakat Jakarta, proses pembentukan RTRW DKI Jakarta tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat yang terkena dampak langsung. Salah seorang pemohon, Resa Raditio, warga Kebon Jeruk menyatakan bahwa RTRW tidak mengakomodir: a) Kebijakan penanggulangan banjir. Rencana pengembangan kawasan Kebon Jeruk tidak sesuai dengan rencana yang seharusnya dikembangkan untuk mengatasi masalah banjir di wilayah tersebut, b) Kebijakan Penanganan Macet. RTRW tidak mengatur upaya pembangunan sistem dan jaringan transportasi darat serta penataan lain untuk menjawab permasalahan macet yang dialami c) Kawasan Kebun Jeruk ditetapkan sebagai kawasan rawan penurunan tanah, akan tetapi Saudara Resa tidak mengetahui mengenai hal tersebut sampai dengan RTRW di tetapkan. RTRW juga tidak mengatur upaya preventif untuk mencegah bencana geologi dan upaya yang harus dilakukan warga Kebon Jeruk apabila terjadi bencana geologi (penurunan tanah);
3. Pembentukan RTRW mengabaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Hal ini bertentangan dengan Pasal 15, Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
4. RTRW DKI Jakarta melanggar asas kemanusiaan. RTRW DKI Jakarta, pada bagian konsideran tidak mencantumkan ketentuan terkait dengan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi seperti UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik;
5. RTRW DKI Jakarta memuat klausul mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (tercantum di dalam Pasal 180) . Hal ini bertentangan dengan Pasal 57 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan melanggar asas ketertiban dan kepastian hukum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 /PUU-VIII/2010 telah membatalkan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seharusnya klausul mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir tidak dapat lagi dicantumkan dan diberlakukan.
Atas hal tersebut di atas, para pemohon dan Koalisi Pulihkan Jakarta meminta kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk menyatakan bahwa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 tidak sah dan tidak berlaku untuk umum dan mencabutnya.
Demikian pernyataan media ini kami sampaikan. Terima kasih
Jakarta 14 Agustus 2012
Koalisi Pulihkan Jakarta
-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Institut Hijau Indonesia, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Walhi Jakarta-
Kontak : Edy H. Gurning (081548821282), A. Marthin Hadiwinata (08562500181), Henri Subagiyo (081585741001), Dyah Paramita (085717332305)