Teks : Anita Halim
Foto : Mulia Idznillah
Di sebuah rumah kecil berukuran tiga kali tiga meter, Mak Tasih menjamu kami. Kami masing-masing menempati satu kursi di ruang tamu mungilnya. Ia sendiri duduk di dipannya. Ruang tamu ini memang merangkap ruang tidur bagi Mak Tasih.
Mak Tasih adalah seorang kolektor lukisan di Desa Jatisura, Kabupaten Majalengka. Pagi itu, kami bertamu ke rumahnya karena ia ingin menunjukkan koleksi terbarunya serangkaian lukisan berjudul Dan Kawan Kawan #1,2,3 karya Agus Suwage. Lukisan itu terpajang di dinding ruang tamunya yang bercat putih. Ada kesamaan antara lukisan itu dengan Mak Tasih, keduanya memancarkan kesendirian. Mak Tasih kini hidup sendiri karena sanak saudaranya telah menetap di luar kota.
Mak Tasih bukan satu-satunya kolektor karya seni di Jatisura. Masih ada 13 warga Jatisura lain yang menjadi kolektor selama perayaan ulang tahun Jatiwangi Art Factory (JAF) yang ke-8. Di Jatisura, karya seni itu bisa menjelma media bagi kami untuk berkunjung ke rumah warga sembari memahami kehidupan para kolektor tersebut. Kehadirannya menyediakan sekadar topik pembicaraan dengan mereka, atau bahkan tidak disinggung sama sekali dalam acara bertamu kami. Namun, dari obrolan-obrolan tersebut, kami selalu bisa menemukan suatu benang merah yang membuat kami yakin bahwa karya seni itu telah menemukan rumahnya.
Sebuah telur raksasa dari plat besi karya Yani Mariani Sastranegara diletakkan di rumah Pak Adeng Duriyat yang sering dikunjungi anak-anak sekolahan. Mereka lalu menafsirkan telur itu sebagai telur dinosaurus dan makin sering berkunjung hanya untuk melihat telur ajaib itu. Lukisan penuh angka berjudul Self Test karya Ade Darmawan dipajang di ruang tamu Bapak Kashwi dan Ibu Siti Marwah, sepasang suami istri petani yang mempercayai bahwa lukisan tersebut adalah semacam primbon yang sulit dipahami. Ada pula instalasi akrilik di atas seng karya Asmudjo Jono Irianto yang mendendangkan campuran-campuran pidato kenegaraan dengan lagu dangdut secara non-stop. Untunglah sang pemilik rumah, Pak Wali, memang menyukai dan sering memutar lagu dangdut. Kebetulan-kebetulan yang manis tersebut membuat kami percaya bahwa mungkin ini bukan sebuah pameran biasa, tetapi sebuah perjodohan yang mempertemukan karya seni dengan kolektornya.
Bila di galeri-galeri biasanya sebuah karya seni merupakan tokoh utama yang menuntut perhatian penuh pengunjung, Pameran seni di Rumah Warga ini terasa begitu dermawan karena karyanya rela berbagi perhatian dengan hal remeh temeh kehidupan warga. Lukisan Self Test yang beberapa bulan lalu sempat menempati dinding besar di ARK gallery pada pameran tunggal Ade Darmawan, kini rela berbagi perhatian dengan cerita tentang prestasi cucu Pak Kashwi yang bersekolah di Jerman. Sementara itu, di warung pojokan Pak Iing, video Reza Asung Afisina yang pernah dipamerkan oleh Guggenheim UBS MAP Global Art Initiative pun harus berbagi perhatian kami dengan secangkir kopi susu yang nikmat. Di sini, karya seni memang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Pameran yang berlangsung dari tanggal 27 September hingga 17 Oktober 2013 ini memang telah berakhir. Tetapi, warga-warga Jatisura telah kembali mempersiapkan berbagai pameran dan festival lainnya yang tidak kalah menarik di tahun 2014. Sampai berjumpa di Jatisura!
Pingback: Mak Tasih | Mulia Idznillah