
Akhir pekan lalu penulis berkunjung ke salah satu lokasi pelaksanaan Program Kampung Deret oleh Pemerintahan Jokowi di wilayah Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Program Kampung Deret di wilayah ini mencakup perbaikan 100 rumah di RT 09, 10, dan 11 yang masuk dalam wilayah RW 02. Proyek ini dikoordinir oleh Konsultan yang ditunjuk Pemprov DKI Jakarta. Namun, pada pelaksanaan nya, masing-masing pemilik rumah mengerjakan perbaikan rumah nya secara sendiri.
Wilayah yang dikenal sebagai kampung CBS ini terletak di pinggir sungai Cipinang. Menurut Ketua RT 10, lokasi kampung yang terletak di pinggir sungai itu yang menjadi alasan mengapa wilayah nya masuk dalam program Pemrov DKI Jakarta. Pinggir sungai diasumsikan sebagai wilayah “kumuh” yang perlu diperbaiki.
Berbeda dengan program KIP (kampung Improvement Program) yang diinisiasi oleh Ali Sadikin, yaitu perbaikan infrastruktur kampung seperti jalan setapak dan drainase, program Kampung Deret ini fokus pada perbaikan tampilan rumah. Ada dua hal yang ditekankan pada warga yang menjadi bagian dari proyek ini, yaitu perbaikan tampak muka rumah. Setiap rumah harus memiliki ornamen betawi ( lihat dalam foto), dan dinding rumah “dianjurkan” berwarna abu-abu.


Pendanaan proyek ini melalui skema hibah. Masing-masing keluarga mendapatkan dana sejumlah Rp. 54 juta untuk ukuran rumah 36m2. Bagi rumah yang memiliki luas di bawah 36m2, maka hibah yang diberikan adalah sejumlah Rp. 1,5 juta per m2. Dana hibah diberikan kepada pemilik rumah dengan satu kepemilikan rumah. Di tengah-tengah perbaikan terselip beberapa rumah yang tidak menjadi bagian dari program perbaikan. Penjelasan yang diberikan Ketua RT 10, rumah-rumah tersebut masih dalam “sengketa” karena menjadi satu dari sekian rumah yang dimiliki oleh pemilik yang sama.

Salah satu warga, mbah Narko memperbaiki rumahnya dengan total biaya Rp. 79 juta. Di luar hibah yang diberikan, dia menghabiskan dana Rp. 34 juta untuk perbaikan rumahnya dengan luas 30m2. Terkait pembelian material, ada tiga titik wilayah pembelian, yaitu di daerah Gudang Seng, Cipinang Muara dan sekitar wilayah Cipinang Besar Selatan.

Program perbaikan rumah di wilayah RW 02, Kelurahan Cipinang Besar Selatan dimulai pada Desember 2013 dan ditargetkan selesai pada akhir Februari lalu. Namun, hingga kemarin, warga masih sibuk membangun. Salah satu hambatan yang dirasakan warga adalah cuaca. Hujan dan banjir membawa tidak sedikit kerugian kepada warga. Banyak material bangunan seperti pasir yang tersapu banjir. Proyek ini dilihat warga sebagai momentum. Bagi warga yang memiliki dana lebih, proyek ini dianggap sebagai momen baik untuk memulai perbaikan rumah yang pada akhirnya merubah tampilan kampung secara keseluruhan.


Namun, dari “penglihatan singkat” kemarin, cukup disayangkan bahwa dana hibah per KK hanya difokuskan untuk perbaikan tampilan rumah. Akan lebih berguna apabila dana hibah difokuskan pada perbaikan infrastruktur kampung secara menyeluruh. Semisal, untuk perbaikan drainase, perbaikan sistem IPAL yang terintergrasi, perbaikan instalasi listrik, dll.
Pilihan terakhir membawa banyak keuntungan pada warga, secara kolektif. Sistem IPAL yang baik bisa menuju pada perbaikan kualitas kesehatan warga, terkait aspek sanitasi. Sistem instalasi listrik yang baik, akan menggurangi resiko kebakaran yang masuk sebagai salah satu bencana di Provinsi Jakarta.
Arahan bentuk dan warna rumah yang ditekankan oleh Pemrov DKI Jakarta melalui Konsultan juga cukup disayangkan. Warna warni lebih menarik dibandingkan satu warna seragam walapun itu demi kepentingan identitas program. “Kata nya lebih baik warna nya sama, abu-abu dengan ornamen Betawi. Biar bisa menjadi penanda kalau wilayah ini masuk ke dalam kategori Kampung Deret”, ucap salah seorang warga ketika ditanya alasan warna dinding rumah yang seragam.
Salah satu perubahan yang mungkin terjadi ke depan, terkait proyek ini, adalah perubahan kelompok penghuni, khususnya pengontrak. Salah satu rumah yang melakukan perbaikan sudah menaikkan harga sewa nya menjadi Rp. 600.000/bulan dari yang sebelumnya Rp. 300.000/ bulan.

Menarik sekali untuk melihat perkembangan ke depan tentang kemungkinan ini, apakah masih akan dihuni oleh kelompok warga yang sama atau proses seleksi alam kemudian cenderung mengundang kelompok hunian baru.
semoga kasus adanya pungutan liar terhadap pemilik lahan oleh (dugaan) konsultan dapat diselesaikan secara hukum ya, supaya tidak ada lagi praktik korupsi dalam dunia profesi.
semoga pemilihan lokasi tepat sasaran bila memang ditujukan bagi pemukiman kumuh, tidak semua warga yang tinggal di pemukiman kumuh miskin..