Masalah kampung di Jakarta sebenarnya sudah kuno untuk dibicarakan. Tetapi, mengapa masalah ini tidak terpecahkan juga? Salah siapa? Semuanya akan saling tunjuk jari.
Masalah kampung di Jakarta adalah sebenarnya masalah yang sudah kuno untuk dibicarakan. Isu ini sudah dibahas sejak beberapa dasawarsa yang lalu. Sudah berapa banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan topik ini? Terlalu banyak mungkin. Tapi kenapa masalahnya tidak terpecahkan juga? Salah siapa? Semuanya akan saling tunjuk jari. Yah salah pemerintah, yah salah pendatangnya sendiri, yah salah kita semua. Apakah akan pernah ada diskusi membangun terhadap isu ini?
Daripada kita mencoba mencari kambing hitam (seperti halnya dengan masalah banjir), lebih baik kita mencoba membuka mata dan telinga, dan mencoba melihat isu kampung dari sudut yang berbeda. Masalah kampung rumit, tidak bisa dipecahkan dengan solusi jangka pendek saja dimana masalah sosial, ekonomi, spasial, politik dan budaya simpang siur disitu. Tapi jika kita mencoba melihatnya dari sisi yang berbeda, mungkin bisa menghasilkan ide-ide strategis. Hasil program seperti KIP memang bisa lebih terlihat dalam waktu yang relatif lebih singkat, tapi apakah bisa membawa perbaikan yang berkesinambungan?
Daripada sok populis dan menaruh posisi sejajar dengan penghuni kampung, ikut kerja bakti perbaikan kampung, tapi akhirnya jadi seperti katak dalam tempurung dalam melihat masalahnya. Tarik posisi kita sedikit ke atas dan lihat masalahnya dari segi perencanaan regional kota. Kenapa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya selalu menjadi magnet utama? Yang tentu saja, karena kota-kota besar Indonesia selalu menjadi center of wealth. Tempat dimana uang berputar, tempat dimana kualitas hidup lebih baik, tempat dimana infrastrukturnya lebih bagus, tempat dimana orang lebih banyak menanam dana, tempat dimana orang-orang bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Melihat fakta seperti ini, yah mana bisa kita menyalahkan para imigran. Kan hidup hanya sekali dan singkat pula, logis kalau orang-orang akan selalu berjuang untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dengan cara yang cepat; pindah ke kota.
Posisi penting kota-kota ini sudah dibangun dari jaman dulunya, dan itu tidak terjadi begitu saja. Sejalan dengan waktu posisi itu semakin menguat. Lalu bagaimana dengan kota-kota lainnya, atau yang lebih dikenal dengan istilah kota-kota sekunder? Apakah kota-kota ini akan terus-terusan jadi pecundang apalagi dalam era kompetisi global dan regional yang sangat intens? Yah tidak harus kan?
Dengan berjalannya program desentralisasi, ada banyak sekali kesempatan ekonomi yang bisa dikembangkan. Kalau kota-kota ini maju kan, orang tidak harus pergi ke Jakarta? Wong, disitu juga hidup sudah enak kan? Jadi daripada terus menerus menyalahkan pemerintah kota besar kenapa mereka tidak bisa membangun program rumah murah yang lebih baik, atau memberikan pinjaman lunak yang lebih atraktif ke kaum miskin perkotaan, kan lebih baik kita membangun kota-kota sekunder kita, supaya pengembangan regional kita bisa lebih berimbang. Solusi gampang? Yah jelas tidak. Yang kuat harus bisa mendorong yang lemah. Kalau dua-duanya sudah kuat akhirnya mereka akan saling bisa membantu dan berjalan bersama dengan tempo yang lebih cepat, atau malah bisa berlari.
Teori-teori perencanaan regional kota seperti itu memang terdengar cukup menjanjikan, tapi tentu juga harus dilaksanakan dari level atas juga, melalui kebijakan-kebijakan pemerintahan. Lalu warga Jakarta bisa melakukan apa? Apakah kita harus pindah tinggal ke desa untuk membangun disana atau menanam dana supaya bisa menciptakan lapangan kerja disana? Yah kan tidak harus sedrastis itu. Praktisnya, untuk usaha-usaha yang memerlukan pendekatan top down seperti ini memang sulit dirasakan dan diimplementasikan oleh kita-kita warga kota biasa. Namun tidak ada salahnya kita bisa meningkatkan kesadaran kita akan isu ini.
Lalu apakah program-program perbaikan kampung perlu dihapus? Tentu saja tidak, karena program jangka panjang untuk menciptakan keseimbangan pengembangan regional juga harus disertai solusi jangka pendek. Yang salah adalah kalau kita hanya mengandalkan solusi jangka pendek saja tanpa memikirkan program yang berkesinambungan.
Banyak orang melihat kampung sebagai indikasi patologi urban; indikasi dari ketidak becusan pemerintah untuk mengelola kota dan indikasi segregasi sosial yang semakin meningkat. Tapi cobalah kita melihat kampung sebagai bagian integral dari kota itu sendiri. Kampung itu bukan hanya indikasi patologi urban, tapi banyak sekali hal-hal positif dan potensi yang bisa ditilik dari sana. Bagaimana penghuni kampung bisa bertahan menghadapi tantangan ekonomi, bagaimana dinamik kemampuan bertahan mereka dan kreativitas mereka untuk mencari penghasilan. Mungkin dari situ kita bisa belajar nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas yang sudah lama hilang dari banyak komunitas modern Jakarta. Kampung bukan hanya menawarkan perumahan yang murah untuk kaum kelas bawah perkotaan tapi juga menawarkan kesempatan ekonomi dan dengan merubah tolak ukur kita, kita bisa menemukan potensi-potensi yang bisa dikembangkan dan digunakan untuk mencari solusi yang berkesinambungan.
Devisari Tunas
Peneliti urban dan penulis buku The Spatial Economy of the Urban Informal Settlement yang ditulis berdasarkan hasil riset PhD di fakultas arsitektur TU Delft, NL.