Sebuah Cerpen oleh Maman Gantra.
Sudah beberapa pekan ini pikiran saya semakin sinting. Dan itu berkisar pada sebuah taman, rumah reyot di sebrangnya yang dipisahkan oleh sebuah kali kecil, dan… tembok yang dibangun di pinggir kali itu!
Taman itu memang tak terlalu luas. Dalam perkiraan saya, yang tak pandai dalam soal angka dan jumlah, tak lebih dari 500 meter persegi. Letaknya pun agak nyeleneh: Di ujung sebuah komplek perumahan, bersebelahan dengan sebuah kampung yang nyaris kumuh.
Sebenarnya tak hanya letak taman itu yang agak nyeleneh. Letak kompleks perumahan itu pun tak kalah nyelenehnya: Diwarnai fasilitas saluran gas, yang menandakan usianya cukup lama, kompleks itu diapit perkampungan padat dan kumuh. Terutama di sebelah barat dan timurnya. Jalan di depan kompleks itu pun, yang memisahkannya dengan perkampungan di sebelah barat, selalu padat. Terlebih bila kemacetan di pintu kereta, yang ada di sebelah barat Kampung Barat, tengah menggila. Sekalinya menyebrang dari Kampung Barat ke kompleks perumahan itu, atau sebaliknya, saya seringkali kesulitan. Derum sepeda motor anak-anak itu kerap membuat seluruh bulu saya merinding.
Sementara, Kampung Barat dan Kampung Timur itu sudah lama saling bermusuhan. Tentu saja tak ada alasan jelas bagi permusuhan itu. Namun, tawuran di antara mereka sudah kerap kali terjadi. Dan selalu mengundang rasa simpati para pengelola media untuk menayangkannya di koran atau televisi mereka. Entah berapa kali perkelahian besar-besaran itu pernah terjadi. Mungkin Polsek atau Polres setempat memiliki catatannya.
Dan taman itu, secara administratif, berada di wilayah Kampung Barat. Meskipun, lokasinya berdempetan dengan Kampung Timur.
Adapun di sisi timur taman itu, terbentang sebuah tembok yang memisahkan taman dan komplek perumahan tadi dengan sebagian Kampung Timur. Sementara, kampung ini terbelah sebuah kali yang juga melintasi sisi barat taman dan kompleks perumahan itu.
Konon, tadinya, ketika komplek perumahan ini dibangun, tembok itu tak hanya membentengi dua muka taman tersebut. Tapi, menyambung ke sepanjang kali yang melingkari ujung selatan kompleks perumahan tersebut. Beberapa tahun silam, tembok di sepanjang kali itu rubuh. Yang tersisa adalah tembok yang memisahkan taman dan sebagian perkampungan tadi.
Pondasinya cukup kuat. Tapi, kolom-kolom beton yang dipasang di sana terlalu renggang, kata sejumlah warga. Sehingga, di suatu malam yang berhujan deras, tembok itu pun rubuh. Puing-puingnya memenuhi kali di sampingnya dan membuat setengah Kampung Timur terendam air. Letaknya yang nyaris sejajar dengan kali semakin tak menguntungkan ketika puing-puing tadi menyumbat aliran air di kali tersebut. Rumah itu sempat hanyut, kisah seorang remaja Kampung Timur menunjuk rumah di sebrang taman. Tawanya terkekeh-kekeh, seakan menemukan lelucon unggul di tengah musibah dahsyat itu.
Entah kapan persisnya peristiwa rubuhnya tembok itu. Yang pasti, ketika reformasi meletus, sebuah lubang dibuat di sana. Persis di tengah ujung jalan kompleks perumahan. Tentu saja warga Kampung Timur yang berinisiatif melakukan itu. Ia menjadi pintu alternatif bagi mereka menuju arah barat. Sehingga, mereka bukan saja bisa memarkir mobil atau sepeda motornya di ujung jalan kompleks perumahan tadi. Tapi, juga bisa leluasa menikmati taman yang ada di kompleks tersebut. Terlebih, di pojok lain taman itu, memanfaatkan bekas tembok yang rubuh, mereka juga membangun sebuah tangga sederhana yang memudahkan mereka memasuki taman dari sebelah timur laut.
Maka, bila melintasi taman itu, tak jarang kita menemui para lelaki bertelanjang dada tengah tidur-tiduran di bawah rindangnya tiga pohon utama yang ada di sana. Dengan kreatif mereka membangun semacam bale-bale dari bahan-bahan bekas. Anak-anak kecilpun membebatkan tali plastik atau kain untuk membuat ayunan sederhana menggenapi sarana bermain yang ada.
Tak hanya mereka. Warga Kampung Barat pun sama-sama kerap menikmati taman mungil itu. Meskipun, sebagaimana ABG Kampung Timur, mereka lebih sering bertandang di sore hari. Ketika acara main bola biasa berlangsung. Ya, taman itu sejatinya telah berubah fungsi menjadi beberapa lapangan sepakbola mini. Setidaknya dua atau tiga kelompok remaja bermain bola di taman tersebut dan di jalan yang ada di dua sisinya. Lengkap dengan kebisingan yang ditimbulkannya. Tak jarang berlangsung sampai lewat tengah malam.
Warga kompleks yang tinggal di sekitar taman itu hanya bisa mengelus dada. Mereka sadar, kompleks mereka berada di sebuah perkampungan padat yang minim tanah lapang. Bahkan, mereka rela hati ketika sejumlah warga Kampung Timur membuka kios darurat di sana. Sikap tak acuh berbaur dengan sejenis solidaritas atau empati terhadap mereka yang jauh lebih miskin.
Kios darurat? Ya, kios darurat. Mengandalkan meja atau bangku bekas, para pejuang hidup dari Kampung Timur itu menggelar dagangan mereka. Sebagian digantungkan di atas seutas kawat yang dipasang diatas sepasang tiang yang menempel pada permukaan meja atau bangku mereka. Tak ubahnya orang menjemur pakaian. Bedanya, sebagian warga Kampung Timur kerap menjemur pakaian atau kasur apek mereka di atas pagar taman!
Barang yang mereka jual tentunya bukan sejenis barang mewah. Umumnya hanya kudapan buatan pabrik yang biasa dibeli anak-anak. Termasuk kopi tinggal seduh atau gorengan ala kampung. Bila malam tiba, aktivitas perdagangan di sana terus berlangsung. Seseorang yang imajinatif, sebenarnya bisa menciptakan suasana cafe taman mewah di sana. Lampu taman yang temaram, kursi meja yang terarur, pun bar dan etalase warung itu, ditata sedemikian rupa. Warga kompleks pun, rupanya, tak akan segan untuk ikut mengudap di sana.
Toh, dengan caranya selama ini, taman tersebut telah menunjukkan fungsinya secara maksimal: Selain menjadi penghasil oksigen dan pemuas hasrat keindahan, meski cuma setitik, ia juga melakonkan fungsi ekonomi, olahraga, dan di atas semua itu melebur sekat sosial yang membentang antara warga kompleks dan warga kampung. Meskipun, sebagaimana umumnya dalam kehidupan yang konon modern ini, lebur sosial itu tak berjalan sepenuhnya. Tak meningkat menjadi semacam keguyuban.
Tapi, itu hanya soal waktu. Menunggu munculnya inisiatif, kreativitas, dan leadership dari para stake holder. Setidaknya, dua kampung yang selama ini bermusuhan itu tak saling baku hantam. Memang, mereka tak melebur dalam satu permainan olahraga baik sebagai satu tim atau sebagai lawan bertanding. Namun, para remaja dari kedua kampung itu bisa sama-sama bermain bola di taman tersebut. Masing-masing dengan bola dan permainannya sendiri. Juga, tentunya, lapangannya. Dan itu, untuk sementara waktu, sudah lebih dari cukup. Walaupun, setiap usai mereka bermain, bongkahan batu dan bata berserakan di jalan sisa gawang salah satu tim sepakbola. Berbaur dengan plastik jejak bungkus kudapan. Hal serupa yang juga berserakan di tengah taman.
Sayang, harapan akan munculnya leadership itu seakan sirna manakala pengurus RT setempat membangun tembok di sisi selatan taman itu. Toh, dulu juga di sini ada tembok, demikian kilah salah seorang staf RT tersebut. Alasan yang sekilas masuk akal, tapi juga sangat patut dipertanyakan.
Kenapa begitu? Pembangunan (kembali) tembok itu memang tak membebani warga. Semua biaya ditanggung Ketua RT setempat. Namun, seperti dibisikkan seorang warga, apa tak sebaiknya kebaikan itu diwujudkan dalam perbaikan gubuk reyot yang ada di sebrang taman itu, yang dulu sempat hanyut kala tembok di sepanjang kali itu rubuh dan menyebabkan banjir besar melanda Kampung Timur? Biaya membangun benteng itu, mungkin, lebih dari cukup untuk membangun rumah semi permanen berukuran 4 x 5 m luas maksimum gubuk yang sudah miring itu.
Sedangkan pembangunan tembok itu tak hanya seakan mengukuhkan hak ekslusif warga kompleks sebagai pemilik satu-satunya dari taman tersebut. Tapi, bersamaan dengan itu, menghambat lebur sosial yang sudah mulai terjadi. Sebab, dengan dibangunnya tembok itu, praktis hanya lubang di sebelah utara itu yang menjadi akses satu-satunya bagi warga Kampung Timur untuk bisa mencapai taman. Kecuali kalau mereka mau bersusah payah mengambil jalan memutar, mengitari sebagian kompleks, dan masuk dari bagian barat.
Lebih dari itu, pembangunan tembok tersebut sedikit banyak hanya memelihara sentimen permusuhan Kampung Barat dan Kampung Timur. Mengingat taman itu berada di wilayah Kampung Barat, yang otomatis pengurus RT-nya pun warga Kampung Barat, meskipun Ketua-nya tinggal di kompleks perumahan, pembangunan tembok itu lebih terasa sebagai ultimatum agar warga Kampung Timur tak boleh menikmati taman tersebut! Ini semacam hasrat kekuasaan dan egoisme!
Padahal, di luar sejarah sosial yang ada di antara kedua kampung tersebut, plus fakta lokasinya yang berada di ujung wilayah Kampung Barat, berdampingan dengan Kampung Timur, taman itu sejatinya milik umum. Artinya, siapapun berhak mengakses dan menikmatinya. Tak hanya warga Kampung Barat dan Kampung Timur.
Bahwa selama ini warga Kampung Timur lebih diuntungkan karena posisinya yang berdekatan, ini hanya perkara nasib. Yang diperlukan adalah ketertiban dan keindahan atas taman itu. Bukan hanya kios darurat itu yang harus ditata dengan baik — sehingga lebih nyaman dipandang. Tapi, juga keberadaan tanaman yang ada di sana.
Dan soal terakhir itulah yang membuat kepala saya kian sinting! Dua hari lalu, ketika saya melintasi taman itu, saya dibuat terkaget-kaget. Tiga pohon utama yang ada di sana, yang selama ini rimbun, tampak trondol. Di bawah sana, di bagian barat taman, menumpuk potongan batang dan ranting serta daun-daun. Tadi, orang Dinas Pertamanan memangkasnya, kata seorang warga Kampung Timur yang sedang berdiri di taman itu. Sedikit keteduhan dan kenyamanan, yang biasanya terbersit di tengah teriknya sebuah kampung Jakarta yang panas dan pengap, sirna sama sekali. Yang tampak adalah tiga batang pohon menjulang dengan latar belakang atap rumah-rumah kumuh itu. Ya, Allah!
Beberapa waktu sebelumnya, saya sempat menguping sebuah obrolan santai seorang warga dengan “staf” RT setempat. Si staf memang menyebut-nyebut rencana pihaknya memangkas daun ketiga pohon tersebut. Dan warga tadi mengungkapkan kekhawatirannya mengingat kebringasan yang kerap muncul dalam aksi-aksi seperti itu. Pemangkasan daun seperti itu kerap menjadi tindakan brutal yang mendekati penebangan.
Mendengar itu, si staf mencoba menenangkan warga tersebut. Tak akan segawat itu. Ini hanya dipangkas daunnya saja. Supaya tidak terlalu semrawut, kata dia.
Faktanya… pohon-pohon itu benar-benar trondol. Hanya sejumput daun yang tersisa!
Ketika warga itu menyampaikan kekecewaannya, si staf tadi menyebut sejumlah alasan. Mulai dari datangnya musim hujan, sehingga dikhawatirkan kerimbunan itu membuat pohon-pohon itu bertumbangan, sampai kemungkinan pohon itu kembali rimbun. “Nanti akan jadi bagus seperti pohon-pohon di depan itu,” kata si staf, seraya mencontohkan pohon-pohon yang ada di taman depan komplek perumahan kami, yang menurut si warga tampak merana dan jauh dari “bagus”.
Toh, semua itu hanya alasan yang dicari-cari. Warga itu yakin, alasan sebenarnya dari aksi pembabatan itu adalah sejenis pamer kekuasaan yang didasari rasa iri dan permusuhan terhadap warga Kampung Timur! Memanfaatkan kewenangan yang dimiliki Dinas Pertamanan dan Pemakaman, pengurus RT itu mengusir kehadiran warga Kampung Timur dari taman tersebut dengan memangkas keteduhan yang ada di sana!
Dan saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya bukan warga di kedua kampung itu. Bahkan, saya bukan seorang manusia yang berhak bicara atau berbuat. Saya hanya seekor kucing yang kerap melintas ke kedua tempat itu. Termasuk melintasi taman di kompleks perumahan yang ada di tengah perkampungan padat itu. Sesekali memanfaatkan kegersangan taman itu untuk melaksanakan hajat besar saya.
Saya hanya bisa mengutip pertanyaan seorang warga: Dalam hal apa Dinas Pertamanan dan Pemakaman harus melakukan pemangkasan daun sebuah pohon? Apakah terhadap setiap jenis pohon? Termasuk sejenis pohon mangga dan pohon yang berakar kuat lainnya? Pun bila pohon mangga itu ada di tengah sebuah taman?
Kalaupun pemangkasan daun dan ranting itu diperlukan, apakah harus trondol seperti yang menimpa ketiga pohon itu? Bagaimana dengan nasib para serangga yang bersarang di sana?
Mudah-mudahan saya bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Siapa tahu kesintingan saya pun bisa berkurang.
Tom Cat
Kucing Kurus dari Planet Lain
Kramat Jaya Baru, 29 November 2012