Upaya Kampung Kota Jakarta yang Berpacu dengan Kenaikan Suhu 

Indonesia termasuk dalam sepertiga negara teratas yang paling berisiko terhadap bahaya yang terkait dengan perubahan iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir dan gelombang panas ekstrem (The World Bank Group & Asian Development Bank, 2021). Selain itu, pada tahun 2016, kota-kota di Indonesia mengalami heat stress selama 57 hari (Red Cross Red Crescent Climate Centre, 2023). Namun, masalah terkait heat stress ini mendapatkan perhatian yang relatif masih sedikit (Arifwidodo et al., 2019). Diskusi dengan pemerintah khususnya kementerian yang mengurusi isu perubahan iklim dan hunian mengungkapkan bahwa kebijakan dan solusi dalam menghadapi urban heat island (UHI) jarang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dengan kategori rumah tangga berpenghasilan rendah yang tinggal di perkampungan. Sebagai contoh, berdasarkan diskusi yang telah dilakukan, dituturkan bahwa konsep bangunan hijau—dengan segala kecanggihannya—yang saat ini sedang dikembangkan oleh pemerintah tidak dibuat untuk rumah tangga berpenghasilan rendah. Selain itu, program-program terkait iklim seperti PROKLIM (Program Komunitas Untuk Iklim) masih sebatas berfokus pada bencana rapid-onset yang datang secara tiba-tiba seperti banjir dan tanah longsor. Akibatnya, bencana slow-onset seperti urban heat island yang memiliki dampak langsung namun berangsur-angsur, sering kali terabaikan dan belum diakui sebagai dampak dari perubahan iklim yang memerlukan intervensi.

Dalam upaya memitigasi UHI, ruang terbuka hijau memainkan peran yang krusial menjadi tameng dalam menurunkan suhu yang terus meningkat akibat pemanasan global dan radiasi matahari, yang mana berbanding terbalik dengan bahan-bahan yang umum digunakan di lingkungan perkotaan seperti kaca, beton, dan permukaan yang tidak dapat menyerap air (Khamchiangta & Dhakal, 2020). Namun, ekspansi zona komersial dan pengembangan perumahan yang cepat telah mengubah secara signifikan konfigurasi ruang di Jakarta, yang mengarah pada berkurangnya ruang hijau dan terbuka (Nor et al., 2021). Sayangnya, kondisi kenaikan suhu seiring dengan berkurangnya ruang hijau ini membuat operasional bangunan mengambil langkah adaptasi paling mudah dan praktis yaitu dengan menggunakan mekanisme pendinginan aktif seperti AC. Tentu ini bukan tanpa akibat, penggunaan sistem pendinginan aktif rupanya memunculkan fenomena anthropogenic heat yang memperburuk efek UHI (Shahmohamadi et al., 2011).

Sebagai kelompok yang cukup rentan terhadap berbagai dampak dari perubahan iklim, warga kampung kota khususnya yang berpenghasilan rendah tidak terlepas dari ancaman extreme heat. Berdasarkan laporan Extreme Heat and COVID-19: The Impact on the Urban Poor in Asia and Africa, telah dilakukan survei dengan jumlah 1.108 responden yang bertujuan untuk memahami dampak COVID-19 terhadap heat exposure, persepsi terhadap panas, dan kerentanannya bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kota Jakarta. Hasil dari survei tersebut antara lain:

  1. Menghabiskan waktu di luar ruangan adalah strategi utama untuk mengatasi panas sebelum dan selama periode pandemi;
  2. Penggunaan air berhubungan secara positif dengan berkurangnya ketidaknyamanan termal;
  3. Responden yang bekerja sebagai penjual yang menjajakan dagangannya di jalan, memiliki kemungkinan 1.5 kali lebih besar terhadap ketidaknyamanan termal;
  4. Kelompok lain yang muncul dengan kemungkinan serupa (1,4) adalah ibu rumah tangga, pekerja rumah tangga, pelajar, dan pengangguran, yang menunjukkan bahwa domestic exposure to heat stress juga signifikan.

Kondisi dan dampak yang timbul dari heat exposure yang diperparah oleh fenomena UHI, ditambah dengan absennya kebijakan dalam melakukan adaptasi, menjadikan upaya adaptasi mandiri sebagai alternatif yang paling mungkin dilakukan meskipun dengan segala keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh warga kampung kota. Beberapa tahun ke belakang, kami, Rujak Center for Urban Studies berkolaborasi dengan komunitas di kampung kota Jakarta yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) untuk mengupayakan adaptasi terhadap isu UHI melalui pendekatan penataan kampung.

Upaya Pertama: Kampung Marlina yang Berpacu dengan Kenaikan Suhu

Kampung Marlina merupakan salah satu kampung kota di Provinsi DKI Jakarta, yang berlokasi di Jalan Muara Baru, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Asal muasal nama Marlina bisa dilacak ke tahun 80-an, ketika kampung pertama kali dibangun di dekat pabrik pulpen bermerk Marlina. Kampung Marlina terbentuk ketika banyak masyarakat yang bekerja di daerah Sunda Kelapa dan Kota Tua tidak memiliki lahan untuk tempat tinggal, kemudian mereka membuat rumah di tanah-tanah kosong di wilayah Muara Baru. 

Pada masa awal terbentuknya kampung, rumah-rumah warga dibangun di atas rawa. Dibangun dengan struktur panggung demi menghindari air laut, material kayu digunakan sebagai penopang rumah. Pada tahun 90-an, warga mulai mengeruk tanah agar terhindar dari pasang surut dan ombak air laut. Setidaknya hingga tahun 2010, rumah-rumah yang terbangun masih menggunakan material semi permanen. Selama periode ini juga kampung-kampung di Muara Baru sering mengalami kebakaran. Kemudian, warga memutuskan untuk merenovasi rumah mereka dengan material yang lebih permanen demi meminimalisir dampak dari kebakaran.

Tantangan lain yang terjadi di Kampung Marlina adalah kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Peningkatan kepadatan penduduk ini juga diiringi dengan bertambahnya ruang hidup. Peningkatan ruang hidup yang terjadi secara radikal tanpa adanya diskusi dan kesepakatan bersama dalam menciptakan ruang yang sehat dan adil, tentu menjadi tantangan tersendiri. Di Kampung Marlina, seiring bertambahnya anggota keluarga, akhirnya banyak warga yang melakukan ekspansi rumah secara vertikal hingga mengokupasi ruang di atas gang. Pola ekspansi seperti ini nyatanya menyebabkan penurunan terhadap kualitas hunian. Sebagai contoh, tertutupnya area gang menyebabkan sirkulasi udara tidak dapat masuk dan membuat rumah kehilangan fitur pendinginan pasif. Kondisi ini semakin parah ketika Jakarta masuk ke musim panas, di mana rumah-rumah di Kampung Marlina menerima paparan radiasi matahari yang panas dan berkepanjangan, namun rumah mereka tidak memiliki cara dalam meminimalisir dampak dari heat exposure dan UHI.

Pada tahun 2021, Koperasi Marlina Maju Bersama, Rujak Center for Urban Studies, Jaringan Rakyat Miskin Kota, dan Urban Poor Consortium, melakukan penataan hunian dan lingkungan dengan pendekatan pendinginan pasif. Selain itu, program penataan ini dilakukan sebagai bagian mempromosikan perumahan kolektif melalui pengelolaan berbasis koperasi. Peran koperasi tentu sangat krusial, dari mengawal proses perencanaan, konstruksi, hingga mengelola keuangan, semua dilakukan oleh koperasi dan tentunya bersama warga. 

Selama proses perencanaan, prinsip desain selalu dititikberatkan pada prinsip komunal. Teras rumah digunakan sebagai tempat menampung air, tempat mencuci, dan menyimpan barang sementara. Lalu, warga juga membayangkan agar gang dapat aktif digunakan untuk berbagai aktivitas warga. Agar kedua hal ini terwujud, tentu warga harus memotong lantai atas rumah mereka yang menutupi bagian gang. Dengan memotong bagian tertentu rumah mereka, tentu ini dapat memunculkan manfaat seperti tersedianya akses terhadap sinar matahari dan sirkulasi udara alami yang dapat meningkatkan kualitas hunian, terutama ketika menghadapi isu UHI.

Dalam merespon kenaikan suhu dan fenomena UHI, penataan hunian dilakukan dengan mempertimbangkan aspek pendinginan pasif. Melalui diskusi, akhirnya disepakati fitur dinding berpori serta atap bersaluran udara alami agar diimplementasikan di dalam desain hunian. Selain membuat penghuninya lebih sehat karena mendapat akses pertukaran udara alami, fungsi dari fitur-fitur tersebut adalah agar hunian dapat mendinginkan selubung bangunan yang terpapar oleh sinar matahari dan meminimalisir penggunaan mekanisme pendinginan aktif seperti AC atau bahkan kipas angin. Lebih jauh lagi, dengan menerapkan mekanisme pendinginan pasif dapat mengurangi beban pengeluaran rumah tangga khususnya biaya yang dikeluarkan dalam membayar listrik.

Pembiayaan untuk program penataan yang dilakukan di Kampung Marlina dilakukan melalui mekanisme revolving fund atau dana bergulir yang dikelola oleh koperasi dan didistribusikan sebagai pinjaman lunak kepada setiap pemilik rumah yang mengikuti program penataan. Tujuan dari penerapan mekanisme dana bergulir ini adalah agar dana tidak habis dan kegiatan penataan berhenti di periode tersebut. Agar penataan dapat terus bergulir, warga yang juga anggota koperasi mencicil pinjaman yang mereka dapatkan dari koperasi. Ketika angsuran sudah lunas dan dana kembali terkumpul, maka anggota koperasi yang lain dapat meminjam uang yang dapat digunakan untuk memperbaiki hunian mereka melalui perencanaan bersama dengan dampingan dari arsitek komunitas. Pengelolaan dana secara bergulir ini diharapkan menjadi model pembiayaan yang berkelanjutan dalam mendanai peningkatan kualitas hunian informal di kampung kota yang seringnya diabaikan oleh pemerintah.

Penataan di Kampung Marlina menunjukan bahwa usaha kolektif dalam menghadapi tantangan perubahan iklim di tengah absennya kebijakan yang dapat melindungi mereka tetap dapat dilakukan melalui kolaborasi multi pihak. Harapannya, usaha mewujudkan hak atas hunian layak yang dilakukan oleh warga di Kampung Marlina dapat menjadi contoh praktik baik yang dapat menginspirasi kampung-kampung lain, lebih jauh lagi, dapat diakomodasi dalam kebijakan.

Upaya Kedua: Kampung Muka yang Berpacu dengan Kenaikan Suhu

Kampung Muka terletak di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara, adalah kampung yang cukup padat yang dihuni oleh ±13.000 jiwa. Pada mulanya, tempat Kampung Muka berdiri merupakan wilayah empang. Terdapat Pabrik Batako dan Barko yang memicu pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut. 

Sejarah eksistensi Kampung Muka dapat ditarik hingga tahun 1930-an, ketika warga mulai mendiami wilayah tersebut untuk tempat tinggal yang diawali oleh perantau yang menggarap kebun sayur dan pekerja gudang di sekitar wilayah Kampung Muka. Pada tahun 1960, jumlah KK di Kampung Muka masih berjumlah 40 KK. Mayoritas penghuni adalah pekerja buruh pabrik atau petani, pekerja kasar seperti tenaga bongkar muat gudang. Pada tahun 1974, Kampung Muka sempat dinamai Kampung Kebun Sayur, karena mayoritas pekerjaan warga adalah petani dan sebagian lahan di Kampung Muka digunakan untuk pelatihan cocok tanam bagi para calon transmigran. Sejak saat itu, pertumbuhan penduduk terus meningkat yang salah satunya dipicu oleh kebutuhan pekerja di gudang yang berada di sekitar Anak Kali Ciliwung dan juga Kampung Muka.

Senasib dengan Kampung Marlina, ancaman dari kenaikan suhu dan juga pertumbuhan penduduk menuntut warga Kampung Muka untuk mencari solusi adaptasi terhadap kondisi tersebut. Pada tahun 2024, melalui program Passive Cooling Collaborative (PCC) yang dilakukan di 2 kota yaitu Jakarta dan Yogyakarta, upaya mencari solusi atas kenaikan suhu yang terjadi di perkotaan sedang dilakukan. Bersama dengan Koperasi Konsumen Kampung Muka Mandiri, Jaringan Rakyat Miskin Kota, Urban Poor Consortium, Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, AKUR, Asian Coalition for Housing Rights, dan Habitat for Humanity Indonesia, penataan hunian dan lingkungan dengan pendekatan pendinginan pasif menjadi salah satu strategi adaptasi utama dalam menghadapi ancaman UHI.

Program penataan kampung ini melibatkan 10 rumah yang berjejer di sepanjang rel kereta api. Dalam pelaksanaannya, program PCC ini tidak hanya terbatas pada intervensi fisik. Namun di sisi lain, rendahnya perhatian terhadap isu UHI menjadikan advokasi sebagai suatu hal yang penting untuk dilakukan. Selama tahun 2024, pertemuan dengan berbagai mitra strategis baik dari pemerintahan, sektor privat, dan juga akademisi telah dilakukan untuk berdiskusi sekaligus mencari potensi kolaborasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi isu UHI. 

Pengarusutamaan melalui diskusi publik juga sempat diadakan pada Agustus 2024 silam. Diskusi dibagi menjadi 3 sesi, sesi pertama adalah Kebijakan dan Inisiatif Adaptasi Perubahan Iklim, sesi kedua adalah Pembiayaan Adaptasi Perubahan Iklim, dan sesi terakhir adalah Pengembangan Kebijakan dan Teknologi Adaptasi Perubahan Iklim Serta Pendinginan Pasif untuk Rumah Swadaya. Harapannya, diskusi ini dapat menjadi sarana pertukaran pengetahuan, serta menumbuhkan kesadaran akan ancaman UHI khususnya pada masyarakat yang tinggal di permukiman padat perkotaan.

Proses upaya kolektif penataan hunian dan lingkungan yang dilakukan di Kampung Muka akan didokumentasikan dan pengetahuan yang diproduksi bersama-sama akan disebarkan melalui pameran, tur kebijakan, serta seri diskusi publik lanjutan. Praktik adaptasi terhadap UHI di Kampung Muka juga akan didokumentasikan ke dalam bentuk alat bantu yang berfokus di penataan hunian dan lingkungan melalui pendekatan pendinginan pasif. Harapannya, alat bantu ini dapat menjadi panduan bagi warga kampung kota lainnya untuk beradaptasi dari ancaman UHI.

. . .

Referensi
    Arifwidodo, S. D., Chandrasiri, O., Abdulharis, R., & Kubota, T. (2019). Exploring the effects of urban heat island: A case study of two cities in Thailand and Indonesia. APN Science Bulletin, 9(1). https://doi.org/10.30852/sb.2019.539
    Khamchiangta, D., & Dhakal, S. (2020). Time series analysis of land use and land cover changes related to urban heat island intensity: Case of Bangkok Metropolitan Area in Thailand. Journal of Urban Management, 9(4), 383–395. https://doi.org/10.1016/j.jum.2020.09.001
    Nor, A. N. M., Aziz, H. A., Nawawi, S. A., Jamil, R. M., Abas, M. A., Hambali, K. A., Yusoff, A. H., Ibrahim, N., Rafaai, N. H., Corstanje, R., Harris, J., Grafius, D., & Perotto-Baldivieso, H. L. (2021). Evolution of Green Space under Rapid Urban Expansion in Southeast Asian Cities. Sustainability, 13(21), 12024. https://doi.org/10.3390/su132112024
    Oppermann, E., Friedrich, D., & Cross, J. (Eds.). (2022). Extreme heat and COVID-19: The impact on the urban poor in Asia and Africa. https://era.ed.ac.uk/bitstream/handle/1842/38925/RCCC%20Extreme%20Heat%20and%20COVID.pdf?sequence=1
    Red Cross Red Crescent Climate Centre. (2023). Urban heat stress in Indonesia.
    Shahmohamadi, P., Che-Ani, A. I., Maulud, K. N. A., Tawil, N. M., & Abdullah, N. a. G. (2011). The Impact of Anthropogenic Heat on Formation of Urban Heat Island and Energy Consumption Balance. Urban Studies Research, 2011, 1–9. https://doi.org/10.1155/2011/497524
    The World Bank Group & Asian Development Bank. (2021). Climate Risk Country Profile: Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *