“Art is not a mirror to reflect the world, but a hammer with which to shape it.” — Bertolt Brecht
Kritik telah lama menjadi kekuatan pendorong transformasi, instrumen penting dalam menantang status quo, dan katalisator bagi kemajuan. Dalam masyarakat di mana struktur kekuasaan semakin mengakar dan ketimpangan terus berlanjut, kritik berfungsi sebagai mekanisme untuk mengungkap, mempertanyakan, dan mengganggu. Lebih dari sekadar bentuk ketidaksetujuan, kritik berfungsi sebagai bentuk keterlibatan yang dapat membuka jalan bagi solusi inovatif, reformasi, dan paradigma baru. Dalam proses penciptaan kritik, seni dan budaya muncul sebagai wahana esensial, menawarkan alat dinamis dan ekspresif dalam memahami tantangan masyarakat.
Fungsi Kritik dalam Masyarakat
Kritik memainkan peran penting dalam mendorong kemajuan. Ia memaksa individu dan institusi untuk merefleksikan tindakan, kebijakan, dan ideologi mereka, serta mendorong masyarakat untuk melakukan introspeksi. Gerakan paling revolusioner dalam sejarah kerap didorong oleh budaya kritik—baik melalui diskursus filosofis, aktivisme politik, atau intervensi artistik. Tanpa kritik, stagnasi akan mengakar dan sistem yang menindas akan tetap bertahan tanpa tantangan.
Michel Foucault berpendapat bahwa kritik bukan hanya tentang penolakan, tetapi juga tentang “menciptakan cara berpikir dan bertindak yang baru” (What is Critique?, 1978). Demikian pula, Nancy Fraser (2022) menggambarkan kritik sebagai “baik alat analitis maupun proyek emansipasi,” yang memungkinkan masyarakat mengenali kontradiksi dan mendorong transformasi. Dalam artikel Can Art Change Society? di Tate.org.uk, dinyatakan bahwa “Art is a powerful agent for provoking social dialogue and challenging entrenched systems,” yang menggarisbawahi peran seni dalam membuka ruang dialog kritis dan menggugah sistem yang mengakar. Selain itu, dalam Politically Engaged Artistic Practice (Tate Papers #34), disebutkan bahwa “Politically engaged art creates spaces for dialogue and confronts power structures head-on, enabling audiences to rethink their own roles within society,” yang menegaskan bahwa seni yang terlibat secara politik tidak hanya merefleksikan realitas, tetapi juga secara aktif menantang narasi dominan dan membuka kemungkinan baru bagi perubahan sosial.
Seni dan Budaya sebagai Wahana Kritik
Ekspresi seni dan budaya telah lama menjadi garda terdepan dalam kritik, sering kali menjadi alat perlawanan dan perubahan yang lebih kuat dibandingkan bentuk wacana tradisional. Dari sastra dan teater hingga seni visual dan pertunjukan, ekspresi kreatif dapat mengungkap kebenaran yang mungkin sulit disampaikan oleh data dan argumen. Seni dapat membangkitkan emosi, memicu pemikiran, dan menawarkan cara baru untuk melihat dunia.
Dalam The Politics of Aesthetics, Jacques Rancière berpendapat bahwa “karya seni mengatur ulang distribusi yang dapat dirasa, membuat apa yang sebelumnya tidak terlihat menjadi terlihat, dan dengan demikian berfungsi sebagai tindakan kritik sosial.” Yang ini enunjukkan bahwa instalasi seni kontemporer “berfungsi sebagai cermin dan provokasi, menantang ketimpangan yang ada, dan mengundang imajinasi alternatif.”
Instalasi Seni Kontemporer sebagai Kritik
Beberapa instalasi seni kontemporer kenamaan telah menggambarkan kritik sebagai katalisator perubahan dengan sangat kuat. Di antaranya, karya Ai Weiwei, Superflex, dan Forensic Architecture menonjol dalam keterlibatan mereka terhadap ketidakadilan sosial dan pembangunan yang tidak merata.
- Ai Weiwei – Straight (2008–2012): Instalasi ini terdiri dari 150 ton besi beton yang diluruskan dari bangunan sekolah yang runtuh akibat gempa Sichuan hingga menewaskan ratusan pelajar. Karya ini menjadi gugatan yang kuat terhadap korupsi dan kelalaian pemerintah, mengkritik bagaimana kebijakan negara lebih mementingkan keuntungan dibandingkan nyawa manusia, serta mengungkap kegagalan sistemik dalam respons bencana.
- Superflex – Power Toilets (2017): Instalasi provokatif ini mereplikasi toilet eksekutif di markas besar PBB dan menempatkannya di taman umum, melambangkan kontras tajam antara elite dan masyarakat umum. Karya ini menyindir ketimpangan global, mempertanyakan eksklusivitas institusi internasional serta sulitnya komunitas terpinggirkan mengakses pengambilan keputusan.
- Forensic Architecture – Triple-Chaser (2019): Sebuah instalasi video yang mengungkap penggunaan gas air mata oleh rezim otoriter, Triple-Chaser menggunakan estetika investigatif untuk mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia. Karya ini menggabungkan aktivisme, seni, dan teknologi untuk menantang kekerasan negara dan keterlibatan perusahaan, menunjukkan bagaimana kritik artistik dapat berfungsi sebagai bukti dalam perjuangan hukum dan politik.
Tenggeland: Kritik dalam Fiksi, Realita dalam Kota-Kota Pesisir
Pameran Tenggeland: The Rise, The Sink, and Everything In Between, yang sedang dipamerkan di Museum Bahari Jakarta hingga 9 Maret 2025, memberikan kritik yang menggelitik terhadap apa yang terjadi di pesisir Jakarta. Pameran ini menghadirkan karya-karya terkini Irwan Ahmett dan Tita Salina yang berasal dari permenungan atas rangkaian Ziarah Utara Jakarta (2018-sekarang) yang membahas ketimpangan, perebutan ruang, dan redefinisi rumah bagi masyarakat pesisir. Empat karya seminal mereka berhasil membangkitkan kesadaran kritis terhadap dampak sosial dan politik dari perubahan pesisir yang berlangsung.
Di saat bersamaan, pameran dari Rujak Center for Urban Studies menyajikan ratusan dokumen, laporan, jurnal, peta, dan foto yang menggambarkan ketertenggelaman Jakarta serta solusi yang ditawarkan oleh para teknokrat. Arsip ini menjadi referensi atas kritik yang disampaikan oleh Irwan dan Tita, memperlihatkan bagaimana realita kebijakan berhadapan dengan narasi artistik.
Sementara itu, karya Haratua, peserta program residensi kesenian Sinking Cities dari Rujak Center for Urban Studies, menyoroti interaksi dan workshop dengan anak-anak pesisir yang harus beradaptasi dengan tembok-tembok pembatas. Karya ini mempertanyakan bagaimana perubahan drastis dan ketercerabutan mengurangi hubungan anak-anak tersebut dengan laut, yang selama ini menjadi bagian integral dari kehidupan mereka.
Tenggeland, meskipun disampaikan dalam bentuk fiksi, kritiknya berakar pada realitas yang terjadi di kota-kota pesisir di Indonesia, terutama di Jawa. Pameran ini memperlihatkan bagaimana seni bisa menjadi alat untuk membuka dialog tentang kebijakan perkotaan dan dampaknya terhadap komunitas yang paling rentan.

Penempatan Seni Kritis dan Kebebasan Berekspresi
Seni kritik dapat hadir di berbagai ruang, dari galeri independen hingga museum pemerintah, ruang publik, dan platform digital. Namun, tantangan muncul ketika institusi, terutama yang dikelola negara, membatasi seni yang mengkritik kebijakan publik. Dalam konteks ini, Konvensi UNESCO 2005 tentang Perlindungan dan Promosi Keanekaragaman Ekspresi Budaya, yang telah diratifikasi melalui Peraturan Presiden 78/2011, menjadi landasan penting untuk menegaskan bahwa seni, sebagai bagian dari ekspresi budaya, harus dilindungi dari sensor dan pembredelan.
Konvensi ini menegaskan beberapa prinsip penting:
- Pasal 2 – Prinsip Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental, yang memastikan bahwa keberagaman budaya hanya dapat berkembang jika kebebasan berekspresi dijamin.
- Pasal 6 – Hak Negara Pihak di Tingkat Nasional, yang mewajibkan negara untuk menciptakan kebijakan yang memungkinkan seniman mengekspresikan diri secara bebas.
- Pasal 7 – Langkah-langkah untuk Mempromosikan Ekspresi Budaya, yang menekankan perlunya negara untuk mendukung lingkungan yang kondusif bagi penciptaan dan distribusi ekspresi budaya.
- Pasal 11 – Partisipasi Masyarakat Sipil, yang menegaskan pentingnya peran komunitas dalam melindungi kebebasan berekspresi.
- Pasal 20 – Hubungan dengan Perjanjian Internasional Lainnya, yang memastikan bahwa kebijakan budaya selaras dengan prinsip hak asasi manusia global.
Selain itu, seni juga menemukan jalannya di ruang publik dan media digital. Instalasi seni di ruang terbuka memungkinkan pesan kritis diakses oleh masyarakat luas, mengaburkan batas antara seni dan kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, platform digital memberikan ruang tanpa batas, memungkinkan karya seni menyebar secara luas dan menjangkau audiens global.
Dalam konteks kebebasan berekspresi, seni kritik bukan hanya medium ekspresi, tetapi juga alat perlawanan terhadap pembungkaman suara-suara kritis. Dengan menjamin bahwa kebebasan berekspresi tetap dilindungi sesuai dengan Konvensi UNESCO 2005, negara tidak hanya mendukung keberagaman budaya, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis.
Potensi masa depan kritik lewat seni
Kritik bukan sekadar tindakan oposisi; ia adalah tindakan penciptaan. Kritik mendorong dialog, memicu refleksi, dan mendorong inovasi. Ketika terwujud dalam seni dan budaya, kritik menjadi semakin kuat, membentuk masyarakat dengan menantang narasi yang ada dan menginspirasi perubahan transformatif. Seperti yang dikemukakan Rancière, seni memiliki kapasitas untuk “mendistribusikan kembali yang dapat dirasakan,” memungkinkan perspektif baru untuk muncul. Dalam era perubahan sosial, lingkungan, dan politik yang cepat, peran kritik dalam seni tetap sangat penting, mendorong manusia menuju masa depan yang lebih adil, reflektif, dan imajinatif.
Dengan memperkuat suara-suara kritis melalui instalasi seni kontemporer, kita dapat mengungkap ketimpangan, menantang struktur kekuasaan, dan membayangkan kemungkinan baru. Karya Ai Weiwei, Superflex, Forensic Architecture, hingga Tenggeland menunjukkan bagaimana kritik artistik tidak hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga menuntut pertanggungjawaban dan menyerukan perubahan sistemik. Melalui tindakan kreatif perlawanan inilah kita meniti jalan menuju dunia yang lebih lestari, adil, dan setara.