Saat Rujak Center for Urban Studies baru berdiri 1 tahun yaitu di awal tahun 2012, kami mendapatkan kunjungan dari JanJaap Brinkman dari Deltares dan Heri Andreas dari ITB. Keduanya mempresentasikan kepada kami tentang penurunan tanah pesisir Jakarta dan rencana mega proyek Jakarta Coastal Defense Strategy (JCDS). Di kemudian hari, nama populer proyek tersebut adalah Giant Seawall atau Great Garuda.
Sejak itu, Rujak, tepatnya saya, seperti pemulung, mengumpulkan semua informasi dan pengetahuan tentang JCDS dan proyek-proyek penerusnya. Koleksi lain termasuk presentasi, jurnal, peta, peraturan, hingga studi-studi dari berbagai lembaga pembangunan internasional seperti JICA dan KOICA. Kebijakan terkait penurunan tanah, banjir rob, hingga upaya adaptasinya, terjadi pada masa 2 Presiden dan 7 Gubernur DKI Jakarta yang berbeda. Sebuah kebijakan yang tahapan solusinya selalu tiga langkah, dengan bandroll harga ratusan triliun, mulai dari 400 triliun hingga terakhir Luhut Binsar Panjaitan menyebut harga baru yaitu 1000 triliun.
Saya dan Rujak juga terlibat dalam advokasi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, yang merupakan generasi ketiga dalam upaya panjang menolak reklamasi dan privatisasi teluk dan peisisr Jakarta. Rujak juga terlibat dalam proses advokasi dan pembangunan kembali Kampung Akuarium, yang digusur karena rencana pembangunan tanggul banjir.
Di tahun 2018, lewat diskusi bersama dengan empat seniman yaitu Irwan Ahmett, Tita Salina, Hannah Ekin dan Jorgen Doyle, akhirnya lahirlah kegiatan “jalan-jalan serius” dan “susur pesisir” selama 14 hari penuh. Saya mengusulkan nama Ziarah Utara, dan akhirnya lahirlah Ziarah Utara Jakarta dan keempat seniman tersebut memulai perjalanannya di Februari 2018.
Begitu panjang dan beragam pergulatan Rujak dengan isu pesisir Jakarta. Dan pada awal tahun 2024, Rujak mendapatkan tawaran kolaborasi dari City Science Lab HafenCity University untuk melakukan studi multi-disiplin tentang Sinking Cities. Program tersebut membahas tentang tentang peran kesenian dan kebudayaan terhadap krisis iklim serta penurunan tanah. Pelaksanaan studi berada di Jakarta, Bremen dan Alexandria, kota-kota yang mengalami tantangan penurunan tanah. Kegiatan Sinking Cities di Jakarta meliputi riset kebudayaan, workshop dan lokakarya tentang penurunan tanah, serta residensi kesenian dan pameran.
Program Sinking Cities ini dengan sengaja menyandingkan seni-budaya dan ilmu pengetahuan dalam relasi yang dinamis. Seni bisa saja bereaksi terhadap pengetahuan hingga keputusan politik tertentu, dan di saat bersamaan kebudayaan menjadi alat masyarakat pesisir untuk pelarian hingga “coping mechanism” terhadap perubahan yang terjadi pada pesisir Jakarta.
Ketika masuk masa perencanaan pameran, saya mengangkat diri sebagai kurator. Ini kali kedua saya menjadi kurator – setelah sebelumnya untuk pameran kesenian di Museum Sejarah Jakarta pada tahun 2019. Selain Haratua Zosran yang menjadi peserta residensi Sinking Cities, saya menugaskan duo seniman Irwan Ahmett dan TIta Salina untuk menghasilkan karya seni dengan brief sederhana: karya seni reflektif dan advokatif.
Pendekatan kuratorial yang saya ambil selalu pendekatan berpihak pada yang lemah, pada rakyat miskin dan korban. Kesenian akhirnya menjadi alat untuk advokasi dan mendorong perubahan sosial. Mungkin, istilah kerennya adalah curatorial activism, dan pelakunya adalah activist-curator.
Untuk menjaga dan memastikan perspektif seniman serta kebebasan berekspresinya terjadi, maka saya menciptakan semesta fiktif pada kota fiksi yang bernama Tenggeland. Belakangan saya menambah kalimat puitis terinspirasi dari permainan kata dalam judul film, sehingga bertambah menjadi Tenggeland: The Rise, The Sink and Everything in Between. Naiknya permukaan air laut, tanah yang tenggelam, dan kita dan kami pada ruang antara.
Saya percaya bahwa ada karya seni yang tidak bisa dipisahkan dari konteks tempat, baik tempat penciptaan hingga tempat menampilkan karya. Tak ada yang lebih sempurna dari Museum Bahari Jakarta. Bangunan dari era VOC yang telah melewati ratusan tahun perubahan alam, sosial hingga politik. Terancam tengggelam, tapi tidak kunjung juga tenggelam. Museum pun dikelilingi tembok kota, seperti layaknya sejumlah daerah Pesisir Jakarta dengan tembok NCICD.
Irwan Ahmett dan Tita Salina memproduksi empat karya, yang proses penciptaannya melibatkan puluhan orang, termasuk lebih dari 20 orang warga Kampung Dadap. Artisan dan tukang turut terlibat siang malam membangun maket rumah impian hingga tembok raksasa di tengah courtyard Museum Bahari. Tujuh karya yang ditampilkan, termasuk Haratua dan Rujak, berada dan tersebar di berbagai lokasi Museum Bahari, luar, dalam, lantai dasar, danau, dan sebagainya. Bahkan ada sejumlah karya berada pada lokasi bak #HiddenGem dan ada karya yang sebaiknya di #kunjungisebelumtenggeland.
Pameran ini juga menjadi kesempatan bagi Rujak untuk mengkosolidasi dan merapihkan arsip-arsip dan pengetahuan tentang tembok pantai, pesisir dan penurunan tanah yang telah terkumpul selama 12 tahun lebih. Jika Irwan dan Tita menyediakan hardware, maka Rujak menyediakan software, yang harapannya dapat mengajak refleksi para pengunjung.
Tenggeland bukan sekadar pameran, tetapi sebuah kesimpulan dari perjalanan panjang—perjalanan mengumpulkan pengetahuan, merajut narasi, dan merancang strategi advokasi lewat seni dan budaya. Sejak pertemuan pertama dengan JanJaap Brinkman dan Heri Andreas pada 2012, hingga menghadirkan karya Irwan Ahmett, Tita Salina, dan Haratua Zosran di Museum Bahari pada 2024, perjalanan ini mengajarkan saya bahwa seni bukan hanya respons terhadap realitas, tetapi juga cara membayangkan kemungkinan lain.
Mengkurasi Tenggeland adalah upaya untuk menghubungkan berbagai disiplin—sains, seni, kebijakan, dan kehidupan masyarakat pesisir—ke dalam ruang refleksi dan advokasi. Ada yang hilang dan tenggelam dalam arus pembangunan, tetapi ada pula yang bertahan, melawan, dan mencari cara untuk tetap ada. Dalam proses ini, saya menemukan bahwa pendekatan kuratorial yang berpihak bukanlah sekadar pilihan, melainkan keharusan.
Jika Tenggeland adalah fiksi, maka realitas yang dihadapinya lebih absurd daripada cerita yang kita ciptakan. Dan jika ada satu hal yang saya pelajari dari semua ini, maka itu adalah: perubahan selalu lahir dari keteguhan—dari mereka yang tidak membiarkan kisahnya tenggelam begitu saja.