Oleh Elisa Sutanudjaja dan Dzaki Aribawa Darmawardana
Sekitar pertengahan tahun 2009, saya mendapatkan undangan dari Marco Kusumawijaya untuk bertandang ke kantornya sore hari. Saat itu dia menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, jadi lokasi rapat berada di kantor DKJ, Taman Ismail Marzuki. Sore itu, ternyata ada orang lain turut hadir. Sebagian ada yang saya sudah kenal. Marco menjelaskan rencananya untuk membuat website tentang isu perkotaan dan lingkungan hidup. Menurutnya pengetahuan perkotaan (saat itu) masih berkutat dan berputar di lingkungan yang terbatas, seperti dunia pendidikan dan profesi, sementara khalayak malah tidak terlibat. Sementara pengetahuan adalah prasyarat untuk perubahan.
Website www.rujak.org akhirnya meluncur juga dengan dukungan dari Goethe. Kami sering mendapatkan pertanyaan, “mengapa namanya Rujak? Apakah itu singkatan?”, sampai hari ini. Dan selalu kami jawab, Rujak bukan singkatan. Pemilihan nama Rujak karena makanan satu ini mewakili keberagaman dan keunikan kota-kota Indonesia. Rujak selalu terdiri dari beragam bahan, baik buah, sayuran hingga daging. Bahkan ada kota-kota yang terkenal dengan rujak tertentu, dan berbeda satu-sama lain. Jadi, bukan, Rujak bukanlah Ruang Jakarta. Ada kisah lain terkait “singkatan” tersebut. Salah satu pendiri Rujak, Meutia Chaerani, membantu membuatkan halaman Facebook, dan dia menggunakan nama Ruang Jakarta, dan baru sekitar 8 tahun kemudian kami mengubahnya menjadi Rujak Center for Urban Studies.
Ternyata website Rujak cukup sukses, dan kami mendapatkan banyak komentar dan pertanyaan dari berbagai pihak. Webitenya berwarna-warni, penuh dengan gambar buah dan ikon desain dari Cecil Mariani. Rujak sendiri mulai terlibat dengan advokasi yang cukup besar yaitu saat penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta, yang dianggap tidak melibatkan masyarakat. Dan akhirnya dari website jadi muncul kesadaran perlunya berorganisasi.
Saat itu, awal 2010 hanya ada 2 orang dalam organisasi, yaitu saya dan Marco. Dan tak lama Dian Irawaty turut bergabung. Dimana kantor kami? Bukan di gedung kantor, atau di ruko, melainkan di teras rumah yang hanya seukuran 2 x 3.5 meter. Kalau hujan ya kena tempyas. Alat-alat kantor seperti printer kami tempatkan dalam ruang tamu. Meja dan kursi kerja kami merangkap coffee table. Kami bekerja dengan laptop di pangkuan, dan masih menggunakan laptop pribadi.
Pelan-pelan mulai ada kepercayaan kepada Rujak, dan mulai banyak pekerjaan dan dukungan program, terutama dalam isu tata ruang. Tata ruang perkotaan memang salah satu keahilian kami hingga hari ini. Tak hanya dalam soal membaca tata ruang, tapi juga menganalisa konsekuensi masa depan dari peraturan tata ruang tertentu. Pada 2011, kami menghasilkan banyak kegiatan dan program terkait tata ruang, mulai dari modul dan video tutorial tentang cara memahami tata ruang, klinik tata ruang dimana orang dapat berkonsultasi tentang masalah tata ruang, hingga mengorganisir dan mendampingi kelompok masyarakat yang memiliki permasalahan tata ruang dan perkotaan. Sebarannya mulai dari Pondok Indah hingga Cempaka Putih, Fatmawati hingga Cikini. Salah satu terbitan ikonik kami adalah Kata Fakta Jakarta, yang mengumpulkan berbagai peristiwa, analisa, data, dan esai perubahan dan perkembangan Jakarta dari sejak era Reformasi hingga 2010.
Dan dari teras rumah, akhirnya kami berpindah ke ruangan kantor kecil, di dekat Sarinah, MH Thamrin. Dari hanya 3 orang, kini bertambah menjadi 5 orang. Dari meja kopi, kini berubah menjadi meja kerja. Buku-buku tentang arsitektur dan perkotaan milik Marco dan saya pun turut dihibahkan kepada Rujak, dan menjadikan awal berdirinya Perpustakaan isu Perkotaan, mungkin satu-satunya hingga saat ini di Indonesia.
Setelah bekerja selama 2 tahun awal di Jakarta, kami memutuskan untuk memusatkan perhatian kami pada kota-kota selain Jakarta. Lalu kami mulai “berkeliling” Indonesia dan mencari organisasi dan kelompok masyarakat lokal yang tertarik dengan isu perkotaan. Dan lahirlah program Dinamika Pengetahuan Perkotaan, dan kemudian diteruskan dengan jaringan Urbanisme Warga. Kota-kota yang terlibat adalah Semarang, Surabaya, Makassar, Tangerang Selatan, Banda Aceh, Bandung, Surakarta, Balikpapan, dan Bogor. Dan kemudian merambah ke beberapa kota lain seperti Cirebon, Banjarmasin, Medan dan Kendari. Di sini Rujak memberikan berbagai penguatan kapasitas kepada berbagai organisasi dalam rupa workshop dan pelatihan dan juga membangun jejaring antar kota. Beberapa penerima manfaat dari program ini misalnya Kolektif Hysteria di Semarang, C2O di Surabaya, hingga Lab Tanya di Tangerang Selatan atau Kaki Kota di Banjarmasin. Harapan kami sederhana, agar di masing-masing kota yang unik tersebut juga tumbuh organisasi dan ekosistem seperti Rujak, yang sama-sama bergerak untuk melakukan ko-produksi pengetahuan dan advokasi perubahan menuju kota adil lestari.
Di luar dari kegiatan advokasi dan ko-produksi pengetahuan, Rujak juga memiliki program kesenian dan menggunakan seni sebagai alat untuk mendorong perubahan dan melakukan refleksi dan riset. Di tahun 2012 dan 2013, Rujak mampu menabung sedikit demi sedikit untuk membeli lahan di desa Muntuk, Imogiri. Dengan dukungan Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Rujak membangun Bumi Pemuda Rahayu sebagai pusat residensi bagi seniman dan intelektual muda. Rujak juga banyak bekerja sama dengan seniman dari dalam dan luar negeri untuk berbagai program kesenian. Misalnya Rujak bersama 4 seniman: Irwan Ahmett, Tita Salina, Jorgen Doyle dan Hannah Ekin menginisiasi Ziarah Utara Jakarta di 2018 hingga sekarang, sebuah kegiatan eksplorasi di Pesisir Utara dengan berjalan kaki selama minimal 14 hari. Lewat kerja sama dengan Natasha Sidharta di 2014, Rujak meluncurkan SAM Fund for Arts & Ecology yang memberikan dukungan residensi dan pengembangan kesenian bagi seniman-seniman Indonesia.
Rujak juga menyediakan jasa professional yang berhubungan dengan desain dan perkotaan, misalnya pada tahun 2012 bekerja bersama Yayasan Komodo Kita untuk melakukan desain partisipatif di Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Jasa profesional kami pun tak hanya isu kota dan arsitektur juga, tapi juga merambah ke kerja sama untuk isu mobilitas seperti dengan PT Transportasi Jakarta untuk mengembangkan metode dan penerapan co-design pada pengembangan halte. Jasa profesional kami memang beragam, dari soal energi, lingkungan hidup, kecagarbudayaan, manajemen air dan banjir, kebencanaan, krisis iklim, dan lain-lain.
Sejak tahun 2016, Rujak secara intens melakukan advokasi komprehensif dalam isu hak atas hunian layak. Komprehensif di sini berarti tak hanya riset, tapi juga advokasi di level lokal hingga global, membangun jaringan, berkampanye, hingga membangun dan mengembangkan pilot project dalam berbagai skala dan konteks lokasi. Salah satu pencapaian Rujak sepanjang 2016-2024 adalah upaya kolektif dalam advokasi hak atas hunian layak di Jakarta, bersama dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota dan Urban Poor Consortium. Dari situlah muncul Kampung Susun Akuarium, hingga mendorong upaya pelaksanaan program Community Action Planning di Jakarta. Untuk upaya tersebut, Rujak mendapatkan penghargaan Asia Pacific Housing Innovation Award 2023 dan secara kolektif meraih Gold Medal World Habitat Awards 2024.
Perhatian Rujak atas hunian layak tak hanya terbatas pada isu kaum miskin kota saja, tetapi juga merambah ke kelas menengah perkotaan. Rujak banyak melakukan kajian mengenai densifikasi dan simulasi ruang, terutama di Jakarta. Sejak 2011, Rujak berkampanye bahwa peningkatan lantai dan jenis hunian menjadi hunian multifamily 4 lantai di Jakarta akan cukup menyediakan stok perumahan. Advokasi ini mendorong pada perubahan dalam Rencana Detil Tata Ruang Jakarta di 2022, dimana akhirnya Rumah Flat Multifamily teradopsi dalam RDTR. Bahkan Rujak juga mewujudkan sendiri rencana Rumah Flat dengan mengembangkan sendiri Hunian 4 lantai di Kawasan TOD Dukuh Atas, bersama dengan 7 keluarga. Ini adalah Hunian Flat pertama sejak RDTR 2022 di sahkan.
Sebagai think-act tank, Rujak tak hanya melakukan penelitian, advokasi dan mewujudkan penelitian tersebut dalam berbagai program, proyek dan kegiatan, Rujak juga aktif dalam melakukan ko–produksi pengetahuan perkotaan. Salah satu penerbitan utama Rujak adalah Kota Kota Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak, yang ditulis oleh Marco. Tiga volume buku yang membahas lebih dari 76 kota-kota di Indonesia dari berbagai aspek, mulai dari isu sejarah, ruang terbuka, politik, industrialisasi, hunian, lingkungan hidup, air, arsitektur, dan lain-lain.
Pengalaman panjang Rujak yang beragam pun memberanikan kami untuk membuka berbagai macam kelas dan program peningkatan kapasitas. Sejak tahun 2012, Rujak sudah mengadakan program Menulis Kota, pelatihan yang membangun sensitivitas dan keberpihakan dalam isu perkotaan. Program Menulis Kota selalu bekerja sama dengan jurnalis senior dan aktivis. Belakangan saya baru mengetahui, bahwa salah satu peserta Menulis Kota ternyata menjadi pendiri kelompok arsitek komunitas kota, AKUR, dan bahkan menjadi salah satu pengampu kelompok baca Agraria. Masa pandemi malah membuat Rujak secara kreatif menyelenggarakan sekolah perkotaan secara daring di Mei 2020, yaitu Sekolah Urbanis. Kini Sekolah Urbanis sudah diadakan untuk keempat kalinya dan sudah merambah di kota-kota lain seperti Jogja, dan akan menuju ke Surabaya.
Para pendiri Rujak juga memiliki pengalaman panjang melakukan perencanaan bersama dengan masyarakat, bahkan sejak pembangunan kembali pasca Tsunami Aceh di 2006. Pengalaman dan praktek beragam panjang dalam perencanaan tersebut membuat Rujak akhirnya memutuskan untuk menyusun modul dan pelatihan Perencanaan Bersama yang telah melatih lebih dari 300 orang sejak tahun 2022. Sasaran pelatihan tak hanya umum, mahasiswa dan profesi, Rujak bahkan bekerja sama dengan Bappenas dan telah melatih sekitar 120 PNS dari Bappeda dan Dinas Perumahan dari berbagai provinsi, kota dan kabupaten.
Rujak dimulai secara sederhana, dari teras rumah. Visi awalnya disusun bersama 14 tahun lalu dengan berbagai individu setelah workshop 3 hari di pulau terpecil, tapi 2 jam dari Jakarta. Saat itu berkumpul selain saya dan Marco adalah Suryono Herlambang, Achmad Tardiyana (Apep), Inggriani Arifin, Andrea Fitrianto alias Cak Cak, Shanty Syahril, Irvan Pulungan, Hizrah Muchtar, Ricky Lestari, Antariksa dan Meutia Chaerani. Peserta termuda adalah Kaysan, yang adalah putra Shanty Syahril. 8 tahun kemudian, Kaysan menjadi salah satu peserta residensi di Bumi Pemuda Rahayu, bersama dengan anak-anak desa menyusun panduan pemantauan dan peta burung di Dlingo.
12 individu berbeda latar belakang, profesi, keahlian, usia dan asal, berkumpul dan merumuskan visi Rujak, yaitu mejadi pusat ko-produksi pengetahuan perkotaan, dimana pengetahuan tersebut digunakan untuk bekerja bersama masyarakat untuk mendorong perubahan menuju kota lestari. 14 tahun kemudian Rujak tetap setia menjadi teras, penghubung, pembuat jaringan, inisiator dan yang juga melakukan aksi dan praktek langsung.
Sebutan “think-act” tank sendiri diberikan oleh Helga Leitner, Professor Geografi dari UCLA. Istilah tersebut akhirnya diadopsi 5 tahun lalu untuk setiap perkenalan tentang Rujak. Rujak memang selalu terhubung dengan jaringan global dalam kerja-kerjanya, baik akademisi, aktivis, hingga lembaga internasional. Pemikiran akademisi, seperti Abdoumaliq Simone, mempengaruhi arahan Rujak untuk memusatkan diri dalam melakukan ko-produksi perkotaan dan peningkatan kapasitas untuk kota-kota selain Jakarta. Peran Maliq sendiri, jika diformalkan, adalah Senior Fellow pertama di RCUS. Berikutnya ada banyak akademisi yang bekerja sama dan bersimpati dengan kerja Rujak, seperti Ian Wilson dari Murdoch University, Kyoko Kanki dari Kyoto University, dan banyak lainnya. Hubungan baik dengan beberapa UN Special Rapporteur, contohnya Leilani Farha, juga berkontribusi banyak dalam upaya advokasi hunian layak di Jakarta.
Rujak juga merupakan rumah belajar bagi entah berapa banyak pemagang, pekerja dan peserta program. Beberapa hari lalu, saya dihampiri oleh peserta International Field School di 2019, kerja sama dengan Kyoto University dan Pemprov DKI Jakarta. Kini dia bekerja di Bappenas, dan menuturkan bahwa pengalaman selama 6 hari itu sungguh tak terlupakan dan yang menjadi petunjuk dalam mengambil keputusan pendidikan maupun kerja professionalnya. Ada peserta kelas Perencanaan Bersama yang mengikuti kelas serupa hingga 3x, karena dia ingin belajar langsung dari kasus dan masyarakat yang berbeda. Prinsip magang di Rujak adalah kesetaraan, tak melulu tugasnya adalah sepela. Banyak yang berperan langsung dan bisa memberikan ide untuk dijadikan kenyataan. Misalnya, pemagang Rujak tahun lalu, Maria dari Jurusan Arsitektur Universitas Multimedia Nusantara misalnya, memegang peranan penting dalam perwujudan Petunjuk Teknis Rumah Layak Huni, lengkap dengan kalkulator otomatisnya yang memudahkan calon penerima bantuan rumah untuk membuat RAB secara sederhana dan cepat.
Adalah tak mungkin merangkum seluruh kerja Rujak dalam 1 tulisan ini. Bahkan Rujak hanya menampilkan tak sampai 20% dari aktivitas sepanjang 14 tahun. Pada perayaan usianya yang ke-14 tahun, RCUS mengambil tema “Teras Pengetahuan Kota”. Sebagaimana teras menjadi bagian rumah yang paling mudah diakses dan didatangi serta mengenang titik mula kami yang sederhana, Rujak memilikii semangat yang sama untuk membuka akses dan kesempatan bagi semua orang untuk terlibat pada proses penyemaian, produksi, hingga diseminasi pengetahuan atas kota untuk memecahkan masalah bersama perkotaan yang luar biasa seperti kemiskinan, keadilan, kesetaraan, pluralisme, dan inklusivitas.
Teras juga merupakan ruang beragam makna. Bagi si tamu, teras merupakan ruang untuk melihat–jika bukan mengintip–sebagian isi rumah. Bagi si tuan rumah, teras adalah ruang untuk melihat keluar dan mejumpai tamu-tamunya. Pameran dan rangkaian acara Rujak mencoba untuk mengajak banyak orang untuk berkunjung ke teras, memperlihatkan keberagaman kegiatan, merentang dari persoalan mobilitas, perubahan iklim, kebencanaan, hingga hunian layak yang mengajak kerjasama banyak orang, dari warga kampung, swasta, hingga pemerintah yang tersimpan di rumah pengalaman Rujak.
Lebih dari pada itu, Rujak turut menyadari bagaimana perubahan memerlukan langkah-langkah yang terencana, skala yang lebih besar dan terkolaborasi, komitmen jangka panjang, ketekunan, dan pengorganisasian yang serius. Lima tahun kedepan, Rujak akan berkomitmen untuk bekerja dengan yang paling lemah dalam menghadapi krisis iklim secara berkeadilan dengan mendorong aksi adaptasi-mitigasi di perkotaan. Rujak juga berupaya memperkuat peran Rujak sebagai ko-produsen pengetahuan perkotaan dan pedagogi perkotaan yang kritis.
Di tengah multi krisis yang sedang menghadapi Indonesia, seperti krisis iklim dan krisis hunian, Rujak juga berkomitmen untuk memperluas layanan Rujak untuk masyarakat dalam isu perumahan, tata ruang, dan pertanahan. Rujak juga berkomitmen membantu warga kota yang ingin membentuk hunian kolektif di tengah kota, salah satunya dengan menyelenggarakan klinik konsultasi secara rutin dan pendampingan masyarakat secara langsung. Tentu membesar dan meluasnya kerja Rujak berdampak pada konsekuensi finansial tertentu. Karenanya kami meluncurkan program Sahabat Kota dimana warga kota aktif bisa berkontribusi secara rutin untuk mendukung kerja kami. Rujak akan mengaktivasi kembali program Relawan Kota yang dulunya sempat ada, dan kali ini akan lebih terstruktur. Pendanaan publik lain juga melalui pembuatan dan penjualan merchandise terbatas bekerja sama dengan para seniman dan warga kreatif lainnya. Merchandise perdana yang kami luncurkan adalah kaos dan scarf karya Irwan Ahmett dan Tita Salina, yang diangkat dari Ziarah Utara Jakarta.
Acara publik, klinik dan pameran di penghujung Mei akhirnya kesempatan bagi Rujak untuk melihat keluar, menjumpai orang-orang baru, dan membayangkan kesempatan-kesempatan bersama untuk bisa membuat perubahan untuk ruang kota yang lebih baik, untuk kita semua.