Kota dan Krisis Iklim: Cerita Air dari Pesisir

Anak-anak bermain di genangan banjir rob di Muara Angke

Air yang Dibutuhkan

“Kita dipaksa kaya” demikian ucap Wina, salah satu warga yang tinggal bermukim di salah satu kampung pesisir di Muara Angke, Jakarta Utara, saat ditanya mengenai jumlah pengeluaran keluarganya sehari-hari untuk keperluan air bersih. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dirinya, suami dan kedua anaknya, keluarganya harus merogoh kocek sebesar 500 ribu tiap bulannya untuk membeli air pikulan dari penjual air eceran guna keperluan mandi dan mencuci, itu pun belum termasuk kebutuhan air yang digunakan untuk minum dan memasak. Dengan pekerjaan suaminya sebagai pekerja serabutan dengan pemasukan 2-3 juta per bulan, air bersih–sekalipun kebutuhan dasar–adalah barang mewah bagi keluarganya.

Wina tidak sendiri. Di sepanjang penelitian yang kami lakukan di pesisir Utara Jakarta, khususnya di kawasan Penjaringan, persoalan akses terhadap air bersih selalu muncul ke permukaan sebagai salah satu permasalahan warga. Beberapa warga yang sedari kecil tinggal di kawasan ini menuturkan bahwa dahulu beberapa sumur masih mengeluarkan air tanah yang masih layak untuk digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun saat ini mereka tidak bisa bergantung kepada sumber air tanah dari sumur bor dikarenakan air tanah yang asin dan berbau karena telah terkontaminasi air laut. 

Sekalipun dampaknya paling terasa di bagian pesisir, fenomena intrusi air laut telah menjadi permasalahan akut di Jakarta, temuan pada tahun 2013 bahkan menyatakan bahwa intrusi air laut sudah mencapai kawasan Blok M di Jakarta Selatan (Jakarta Post 2013). Meningkatnya ancaman intrusi air laut tidak dapat dilepaskan dari dua fenomena sosio-alamiah: peningkatan air laut dan penurunan muka tanah atau land subsidience. Meningkatnya suhu permukaan bumi akibat krisis iklim, menyebebakan mencairnya lapisan batuan es yang berdampak pada peningkatan muka air laut. Hal ini semakin diperparah dengan penurunan muka tanah yang disebabkan oleh eksploitasi tidak terkontrol air tanah dan meningkatnya penambahan beban tanah akibat meningkatnya jumlah bangunan (Batubara, Kooy, dan Zwarteveen 2023). 

Sekalipun dampaknya dapat dirasakan di sepanjang kawasan pesisir, namun kelangkaan air bersih juga memperlihatkan bagaimana krisis iklim dirasakan berbeda oleh setiap orang. Bagi warga dengan kemampuan finansial menengah seperti pelaku industri di Muara Angke, persoalan air bersih bukan menjadi maslaah besar. Mereka bisa mengatasinya dengan menggali lebih dalam sumurnya hingga 100 meter untuk memperoleh air bersih. Bagi sebagian besar warga yang lain, hal ini tentu tidak murah, akhirnya banyak dari mereka yang harus bergantung pada akses air bersih yang disediakan oleh perusahaan PAM Jaya yang difasilitasi oleh pemerintah. Meskipun demikian, warga kerap kali dihadapkan pada persoalan akses yang terbatas dan kualitas air yang sering bermasalah. Apabila hal ini terjadi, mereka terpaksa untuk membeli air pikulan yang dijual pedagang di gerobak. Sedang bagi Wina dan tetangganya, jangankan untuk menggali dalam sumur, akses air dari PAM Jaya saja belum lama masuk ke kampungnya. Penyebabnya, selama ini kampungnya tidak diakui oleh pemerintah dan dianggap ilegal, sehingga tidak bisa ada program pemerintah yang masuk dalam bentuk apapun. Baru setelah diakui 2022 lalu, kampungnya baru bisa merasakan air PAM Jaya, itupun dengan akses yang baru dapat mengaliri sebagian kecil kawasan kampungnya.

Air yang Tidak Diinginkan

Selain intrusi air laut yang berujung pada kelangkaan air bersih, dampak peningkatan air laut dan penurunan muka tanah lain yang dihadapi oleh Wina adalah banjir rob. Pasang-surut laut sangat berdampak bagi kampungnya yang mulai terbentuk pada dekade 1980an itu, ketika pasang tiba, air laut akan segera menggenangi tempat tinggal nya. Banjir rob menjadi bagian dari realitas sehari-hari yang harus ia dan tetangganya hadapi dari waktu ke waktu. Sekalipun terakhir mengalami banjir rob besar yang disebabkan aliran air laut langsung sejak 2015 berkat pembangunan tanggul, namun air laut masih memiliki jalan lain untuk menggenangi kampung mereka. 

Wina menceritakan kisahnya soal kasur yang ia tiduri tiba-tiba basah dan membangunkannya di tengah malam karena air rob yang rembes dari sela-sela lantai rumahnya. Karena disebabkan pasang laut yang dipengaruhi oleh keadaan bulan, banjir rob hampir selalu mampir pada sore hingga malam hari. Ternyata ia tidak sendiri, saat ia keluar dari rumahnya ternyata banyak tetangganya menghalami hal serupa. Air laut juga mengalir lewat rembesan di jalan-jalan kampung dan drainase yang dibuat swadaya oleh warga. Saat air rob sudah menggenangi kawasannya, air bisa menetap dari satu hingga beberapa hari dan menyebabkan banyak rumah yang tergenang. 

Kawasan Pantura Jakarta memang menjadi salah satu kawasan paling rentan banjir rob di Indonesia. Dengan krisis iklim yang semakin parah, frekuensi banjir rob diperkirakan akan semakin sering terjadi (IPCC 2013). Selain persoalan peningkatan air laut dan penurunan muka tanah sebagaimana yang terjadi pada persoalan intrusi air laut, ahli juga mengidentifikasi keadaan ombak menjadi faktor yang turut mempengaruhi banjir rob (Takagi et al., 2016). Meskipun demikian, penurunan muka tanah menjadi penyebab paling signifikan banjir rob, berdasarkan kalkulasi yang dilakukan oleh Takagi et al, tanpa kebijakan intervensi yang tepat, banjir rob lebih dari 1 meter dapat menggenangi hingga 25,7 km2 area pantura Jakarta pada 2025 hingga 1105 km2 pada 2050 jika angka penurunan muka tanah saat ini tidak berkurang (Takagi et al., 2016). Apabila hal tersebut terjadi, maka kampung Wina menjadi salah satu kawasan paling parah yang terdampak banjir rob mengingat lokasinya yang langsung berhadapan dengan laut.

Besarnya ancaman banjir rob yang mengintai Wina dan tetangganya direspons berbeda oleh masing-masing warga. Salah satu cara adaptasi yang paling umum dilakukan adalah dengan meninggikan lantai rumah atau yang biasa disebut ngurug. Ngurug biasanya dilakukan berkala setiap rumah tergantung kemampuan finansial masing-masing rumah tangga. Saat berkeliling mengitari kampung Wina, kami mengamati bagaimana setiap rumah memiliki tinggi lantai dasar yang berbeda-beda. Beberapa ada yang jauh di atas tinggi jalan, namun beberapa bahkan ada yang lantainya dasar lebih rendah dari pada jalan. Ada pula beberapa yang langit-langit rumahnya begitu tinggi untuk menyisakan ruang seandainya lantainya perlu di-urug lagi, namun ada pula rumah yang untuk masukpun kita harus sedikit menunduk. 

Namun meninggikan rumah saja tidaklah cukup, ada pula usaha bersama yang dilakukan warga untuk mengatasi banjir rob. Solusi kolektif yang biasa digunakan warga adalah dengan mengumpulkan dana guna meninggikan jalanan di kampung mereka secara kampung ataupun tetangga (2-3 rumah). Meskipun demikian, belakangan mereka baru menyadari jika usaha ini malah banyak merugikan mereka sendiri karena menyebabkan banyaknya rumah yang lebih rendah dengan jalan. Setelah berdiskusi dengan kampung-kampung lain yang difasilitasi RW, keluarlah gagasan untuk meninggikan tanggul yang ada di dekat kampung mereka secara serempak dan terkoordinir oleh RW. Mereka menyebut proyek swadaya ini sebagai “Replika NCICD”, sekalipun tidak ada dana yang diberikan pemerintah pada proyek adaptasi permukiman warga ini sebagaimana yang dikucurkan pemerintah pada mega-proyek tersebut.  

Krisis Iklim, Kota, dan Ketimpangan

Krisis iklim secara perlahan menampilkan dirinya pada penggalan cerita Wina dan tetangganya tentang irisan hidupnya dengan kelangkaan air bersih dan air rob. Sekalipun pada diskusi hari itu kami tidak mendengar kata-kata seperti “perubahan iklim”, “krisis iklim”, atau “pemanasan global” diucapkan secara pasti oleh warga, namun sesungguhnya mereka sudah berjibaku untuk menghadapi persoalan nyata fenomena global itu setiap hari, baik mereka sadari atau tidak. Kisah tentang kelangkaan air bersih dan air rob menawarkan satu di antara banyak sudut pandang dalam memahami dampak krisis iklim, khususnya bagi kota dan warganya. Perhatian terhadap dampak krisis iklim terhadap kawasan perkotaan tentu menjadi semakin mendesak, mengingat sebagian besar penduduk Indonesia saat ini telah tinggal di perkotaan dengan angka yang terus-menerus meningkat. 

Penggalan cerita Wina dan tetangganya juga mengingatkan bagaimana dampak krisis iklim berkaitan erat dengan nilai keadilan. Saat emisi karbon yang dihasilkan oleh 1% populasi terkaya di dunia melebihi emisi karbon yang dihasilkan oleh 66% termiskin (Oxfam 2023), bagaimana kemampuan adaptasi yang dapat dilakukan oleh Wina dan tetangganya perlu dilihat sebagai fenomena ketimpangan bagi kaum miskin kota. Dampak krisis iklim pada kota yang berpengaruh signfikan bagi kelompok miskin kota tidak hanya terjadi pada kelangkaan air bersih dan banjir rob saja, melainkan juga fenomena meningkatnya urban heat island (pulau bahang perkotaan) yang lebih rawan terjadi permukiman padat penduduk di perkotaan (Ramsay et al., 2022), hingga memperparah penyakit yang disebabkan oleh suhu panas (Martiwi Diah Setiawati et al., 2022). Dengan demikian, memahami dan mengatasi dampak krisis iklim juga merupakan upaya untuk memahami dan mengatasi ketimpangan yang terjadi di kota.

 

Referensi 

Theresia Sufa, “Seawater intrusion grows in the capital”, Jakarta Post (2013) https://www.thejakartapost.com/news/2013/06/07/seawater-intrusion-grows-capital.html.

Bosman Batubara, Michelle Kooy, Margreet Zwarteveen, “Politicising land subsidence in Jakarta: How land subsidence is the outcome of uneven sociospatial and socionatural processes of capitalist urbanization” Geoforum, Vol. 139 (Februari 2023)

IPCC (2013) Working Group I Contribution to The IPCC Fifth Assessment Report Climate Change 2013: The Physical Science Basis, Final Draft Underlying Scientific-Technical Assessment, Intergovernmental Panel on Climate Change (2023)

Hiroshi Takagi, Miguel Esteban, Takahito Mikami, Fujii Daisuke, “Projection of coastal floods in 2050 Jakarta, Urban Climate, Vol.17 (2016)

Oxfam, Climate Equality: A Planet for the 99%, Report, (Oxfam, 2023)

Emma E. Ramsay, et al., “Spatio-temporal development of the urban heat island in a socioeconomically diverse tropical city”, Environmental Pollution, Vol. 316 (2023)

Martiwi Diah Setiawati et al., “Extreme heat vulnerability assessment in Indonesia at the provincial level” The 2nd Conference of Sustainability and Resilience of Coastal Management, IOP Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 1095 012021 (2022)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *