Dua orang pengguna escooter sewaan meninggal dunia pasca ditabrak mobil di sekitar FX Sudirman, dini hari 10 November 2019. Kejadian tersebut mengejutkan Jakarta dan sekaligus menimbulkan pertanyaan publik tentang keamanan penggunaan escooter di trotoar dan jalan Jakarta. Korban meninggal akibat penggunaan escooter ini tak hanya terjadi di Jakarta saja, namun juga terjadi di Auckland, Singapura hingga Los Angeles dan London.
Demam persewaan escooter berbasis platform memang sedang melanda dunia, tak hanya Jakarta. Menurut data Boston Consulting Group, ada 12 penyedia jasa persewaan escooter berbasis platform yang memperebutkan pasar dunia yang diperkirakan senilai $ 40-50 milyar, dengan 3 pasar terbesar berasal dari Amerika Serikat, Eropa dan Cina. McKinsey sendiri memperkirakan bahwa pasar persewaan berbasis platform untuk mobilitas mikro (escooter, e-bike dan sejenisnya) di Amerika Serikat, Eropa dan Cina akan sebesar $ 300-500 miliar di tahun 2030. Tentu proyeksi valuasi pasar tersebut menggiurkan. Ini sesuai dengan sifat kapitalisme platform.
Apa itu kapitalisme berbasis platform (atau Platform Capitalism)? Pada dasarnya, itu adalah jenis model bisnis yang baru dominan didasarkan pada penyatuan kelompok yang berbeda. Facebook dan Google menghubungkan pengiklan, bisnis, dan pengguna sehari-hari; Uber menghubungkan pengemudi dan penumpang; dan Amazon dan Siemens membangun dan menyewakan “cloud” sebagai infrastruktur platform yang mendasari ekonomi kontemporer. Yang menjadi dasar – dan menunjukkan pergeseran kapitalisme yang lebih luas – adalah sentralitas data. Data adalah sumber daya dasar yang mendorong perusahaan-perusahaan ini, data pula yang memberi mereka keunggulan dibandingkan pesaing. Platform, pada gilirannya, dirancang sebagai mekanisme untuk mengekstraksi dan menggunakan data itu: dengan menyediakan infrastruktur dan intermediasi antara berbagai kelompok. Platform ini kemudian menempatkan diri pada posisi di mana mereka dapat memantau dan mengekstrak semua interaksi antara kelompok-kelompok ini. Seluruh kondisi inilah yang menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik mereka.
Escooter adalah komoditas, sementara aplikasi menjadi platform. Bagi penyedia jasa, pangsa pasar penyewa escooter adalah kue menggiurkan. Fenomena penggunaan escooter di Jakarta sendiri menjadi makin relevan dengan kebiasaan bermedia sosial. Bukannya tak mungkin 12 platform escooter akan masuk ke pasar Indonesia, terutama Jakarta dan kota-kota besar lain, seperti Denpasar dan Surabaya.
Dalam beberapa klaim, kerap disebutkan bahwa escoteer membantu pergerakan jarak dekat di dalam kota. Grab Wheels di Jakarta pun mudah ditemui di kawasan Sudirman Thamrin, hingga Sabang dan Blok M. Kawasan tersebut memang memiliki keragaman aktivitas dan beragam layanan transportasi publik, termasuk Transjakarta, Commuter Line dan MRT Jakarta. Namun apakah benar demikian?
Dalam survey kepada 1000 responden pengguna e-scooter di sepanjang Sudirman Thamrin yang baru saja selesai dan dilaksanakan oleh Rummaya Batubara dari Universitas Airlangga menyebutkan bahwa hanya 35% yang menggunakan escooter untuk sarana transportasi, sementara sisanya menggunakan untuk keperluan rekreasi. Sementara pengguna terbesar escooter berada pada usia kisaran 20-35 tahun, dengan total 55%. Mengingat sebagian besar wilayah pelayanan Grabwheel adalah wilayah padat pelayanan transportasi publik, ternyata penggunaan Grabwheel tersebut tidak berkorelasi dengan kepentingan last mile-first mile, ataupun mendukung mobilitas. Untuk daerah seperti Blok M, Cikini, Menteng, Thamrin, Sudirman, cakupan dan jarak antar halte transportasi umum memang cukup berdekatan, yaitu berkisar 250 meter hingga 750 meter (untuk MRT). Sementara jarak 250 meter bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 5 menit. Jadi penggunaan Grabwheel di lokasi yang ada di Jakarta sekarang tentunya lebih berkorelasi dengan rekreasi daripada untuk mendukung mobilitas jarak dekat.
Hasil survey diatas agak menyerupai hasil penelitian penggunaan escooter di kota-kota Jerman. Penelitian ini menggunakan metode clustering dari data pengguna jasa penyewaan escooter pada periode 22 April hingga 20 Oktober 2017. Kemudian peneliti membagi menjadi 4 kluster yaitu: power user (kluster 0), casual user-Gen X (kluster 1), casual user – Gen Y (kluster 2), dan pengguna sekali-kali (kluster 3). 77% pengguna adalah laki-laki, dan umur yang dominan adalah 27 tahun.
Dari karakteristik power cluster pun tidak menggunakan e-scooter sehari-hari, dan jarak antara penggunaan adalah 4.6 hari. Jumlah power cluster pun hanya 4.4% dari seluruh pengguna, walaupun jumlah penggunaan yang terjadi dari power cluster menduduki peringkat kedua, yaitu sebanyak 23.99% dari total.
Tentunya jika ingin membuat kebijakan yang komprehensif dan tepat guna, Jakarta dan pemerintah pusat masih perlu melakukan banyak kajian dan ujicoba. Pemerintah sebaiknya meminta pihak penyedia jasa, seperti Grab, untuk memberikan data agar bisa dianalisa lebih lanjut sehingga kebijakan yang dikeluarkan, termasuk aturan dan sanksi adalah kebijakan yang bisa diimplementasi secara efisien dan efektif di lapangan. Jangan sampai kebijakan yang dikeluarkan justru merepotkan pemerintah sendiri terutama saat penegakan hukumnya.
Langkah selanjutnya
Pasca 3 bulan operasional platform escooter di Berlin, ternyata terjadi 74 kecelakaan, 65 kasus pengguna mabuk dan 233 pelanggaran lalu lintas. Pengemudi escooter yang mabuk banyak ditemukan pada malam hari, dan polisi memberlakukan tilang yang sama dengan pengguna lalu lintas lainnya.
Sementara di Amerika Serika sendiri, sejak akhir 2017 hingga awal 2019, terjadi 1545 kecelakaan berdasarkan data yang dikumpulkan dari 110 rumah sakit dan 5 dinas di 47 kota. Dan dalam berbagai kasus kecelakaan, ternyata sangat sedikit orang yang menggunakan alat perlindungan. Dari 20 kasus kecelakaan di 1 rumah sakit, hanya 1 orang yang memakai helm. Memang banyak pemerintahan kota dan negara gagap terhadap wabah e-scooter, Pasca operasional penyewaan escooter ini berjalan, pemerintah kota sebetulnya tidak menyangka bahwa penggunaan escooter akan terekslasi secara cepat dan sangat populer, hingga dipakai secara bersamaan di berbagai tempat.
Masing-masing kota dan negara sudah, sedang dan mulai menanggapi polemik penggunaan escooter pribadi ataupun aplikasi mobilitas mikro. Pasca meningkatnya kecelakaan akibat escooter (dan ebike) di New York City, Walikota memutuskan untuk melarang penggunaan escooter, hanya dapat digunakan pada tempat tertentu. Singapura pun demikian.
Rekomendasi
Berdasarkan penelitian dari Universitas Airlangga, mayoritas pengendara escooter menggunakannya untuk keperluan rekreasi. Karena itu, selagi menunggu penelitian yang lebih komprehensif, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan agar membatasi penggunaan escooter berdasarkan lokasi. Itu artinya, bisa saja escooter berbasis platform hanya boleh beroperasi di kawasan tertentu, seperti kawasan pariwisata (contoh Taman Mini Indonesia Indah, Monas, dan lain-lain). Satu bulan sebelum terjadinya kecelakaan naas di dekat FX Sudirman, penulis sudah memperingatkan soal pentingnya keselamatan dan sebaiknya penggunaan escooter hanya pada kawasan tertentu, termasuk kawasan wisata. Jikapun akhirnya pemerintah memperbolehkan penggunaan escooter pada kawasan perkantoran seperti Sudirman-Thamrin maupun SCBD dan Mega Kuningan, maka pemerintah harus tegas menentukan dimanakah escooter tersebut diperbolehkan: trotoar atau jalan? Jangan sampai pemerintah membuat peraturan yang justru sangat sulit diimplementasikan dan tidak realistis.
Pengaturan pada pengguna escooter pribadi tentu lebih mudah dibandingkan escooter platform. Walaupun demikian, ada kesamaan, yaitu pemerintah harus sama-sama mengatur aturan keselamatan (helm dan alat pelindung lainnya) hingga batas kecepatan. Kepatuhan pada peraturan jangan hanya dituntut pada pengguna saja, tetapi pemerintah harus memastikan agar operator juga mengedepankan keselamatan pengguna (misalnya dengan penggunaan helm), memastikan escooter berada dalam kondisi baik dan prima serta berkoordinasi dengan pemerintah terutama dalam perihal penelitian dan penggunaan data.
Operator juga bisa berperan serta dalam hal penegakan, misalnya mencabut akses pengguna jika pengguna kerap kali melakukan pelanggaran. Keterlibatan operator tidak cukup dengan hanya memperlihatkan video tutorial penggunaan. Operator harus lebih proaktif menjaga keselamatan dan kenyamanan pengguna. Terlebih, jika kecelakaan pada pengguna escooter terus meningkat, tentu pemerintah terdorong untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat dan bahkan melarang penggunaanya.
Perlu juga disadari bahwa ada beberapa jenis asal muasal escooter, yaitu escooter milik pribadi dan penyewaan escooter. Perbedaan ini juga perlu dipahami, misalnya bisa saja tujuan penggunaan escooter pribadi adalah untuk mendukung mobilitas jarak pendek. Atau bisa juga escooter pribadi digunakan dalam pekerjaan (misalnya jasa pengantar makanan dan barang).
Dibandingkan kota-kota di negara lainnya, Jakarta sedikit beruntung karena wabah escooter baru terjadi 5-6 bulan terakhir – dan masih berada pada lokasi tertentu. Belajar dari pengalaman masifnya pelanggaran dan gangguan dari platform yang lainnya seperti Grab dan Gojek motor (ataupun mobil), maka memang sebaiknya pemerintah Jakarta dan pusat segera melakukan penelitian untuk membuat kebijakan yang tepat guna dan rasional. Selain melakukan penelitian untuk memahami fenomena dan karakter penggunaan lebih lanjut, akan lebih baik pemerintah memberlakukan uji publik dan uji coba pada waktu tertentu dan melakukan evaluasi dini atas hasil uji coba tersebut. Jikapun pada akhirnya pemerintah memutuskan bahwa escooter hanya boleh digunakan pada kawasan terbatas, misalnya tempat wisata, maka pengelola taman wisata pun sebaiknya melakukan kajian medalam sebelum pemberlakuan – agar memastikan kebijakan dan sanksi terhadap pengguna dapat benar-benar dijalankan dan ditegakkan.