Gamcheon, ternyata meninggalkan kesan mendalam pada Presiden Jokowi saat berkunjung ke Busan sambil melewatkan sore di “kampung instagramable” tersebut. Dalam twitnya, Presiden berpesan agar Gamcheon bisa menjadi inspirasi bagi kepala daerah, bagi kampung-kampung dan desa-desa di Indonesia, bahwa yang kumuh pun kalau ditata dengan baik, bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Lebih lanjut lagi, Presiden Jokowi menyebutkan, “Bukan sesuatu yang sulit,”
Apakah benar yang terjadi di Gamcheon bukan sesuatu yang sulit dan berkisar pada penataan, pengecatan, tetapi juga, mengisi kegiatan pemberdayaan? Dan apakah jalan terbaik bagi penataan kampung harus mengedepankan pemberdayaan ekonomi berbasis wisata? Sehingga keniscayaan kampung sebagai kawasan wisata itu seakan-akan tidak terhindari?
Sesungguhnya model penataan kampung yang berbasis pengecatan dan kegiatan pemberdayaan berbasis wisata bukan hal baru bagi kota dan desa di Indonesia. Kampung warna-warni Jodipan di Malang bisa menjadi contoh produk penataan berbasis pengecatan dan kegiatan wisata. Bermula dari inisiatif KKN kelompok mahasiswa, Jodipan menjadi titk awal mulainya program kampung tematik di Malang. Kini ada 20 kampung tematik di Malang, lebih sedikit dari target Festival Rancang Malang. Namun jika menilik lebih lanjut, masalah fundamental pada Kampung Jodipan tetap ada dan tidak hilang – hanya tertutupi oleh warna warni cat. Warga sesungguhnya tidak memiliki keamanan bermukim, ada simpang siur informasi tentang penguasaan lahan. Selain itu tidak ada peningkatan kualitas infrastruktur sanitasi dan drainase. Perbaikan lingkungan hidup, proses adaptasi dan mitigasi bantaran sungai pun tidak terjadi, sehingga warga masih dalam kondisi rentan terhadap banjir. Apakah akhirnya Jodipan bisa menjadi bagian dari pengentasan kawasan kumuh di Malang? Bisa jadi tidak, karena sumber kekumuhan yang ada hanya disembunyikan oleh warna-warni cat.
Kelangkaan ruang dituding sebagai alasan sulitnya mewujudkan infrastruktur dan drainase. Jadi sesungguhnya penataan yang berdampak langsung pada kelayakan dan kesehatan hunian tidaklah terjadi. Dan kepastian bermukim melalui dokumen penguasaan tanah atau bangunan (entah itu berupa SHM ataupun HGB) tidak terwujud, sehingga sesungguhnya apa yang terjadi di Kampung Jodipan masih jauh dari komponen hak atas hunian layak. Jikapun ada peningkatan ekonomi warga, tetap saja warga tidak mampu untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukimannya secara swadaya, apalagi jika harus menyambungkan infrastruktur permukiman kepada kota.
Apa yang terjadi di Jodipan bukan khas Malang belaka. Ternyata sebagian besar tanah dan bangunan di kampung serupa di Semarang juga belum memiliki sertifikat, walaupun Walikota Semarang berjanji membantu pengurusan sertifikat tanah bagi warga. Namun sampai tulisan ini diturunkan, tidak ada informasi lebih lanjut. Menurut peta bidang tanah BPN, memang ada banyak persil tanah Kampung Wonosari yang belum terdaftar.
Lain padang, lain belalang. Lain juga Gamcheon. Gamcheon yang disebut dan dikunjungi oleh Presiden Jokowi tersebut memiliki sejarah panjang, termasuk diantaranya tempat pengungsian pada masa Perang Korea dan sempat menjadi tempat permukiman aliran kepercayaan Taegukdo. Saat menjadi permukiman kelompok Taegukdo tersebut, bentuk bangunan dan permukiman di Gamcheon menjadi permanen, seperti kotak lego, serta dengan pengaturan ketinggian atap. Aturan ketinggian atap itu yang membuat bangunan satu tidak menutupi bangunan lainnya – yang pada akhirnya memaksimalkan potensi yang ditawarkan lansekap perbukitan.
Sempat menjadi wilayah terkumuh di Busan, dan menyebabkan Gamcheon ditinggal pergi penduduknya, terutama penduduk usia produktif. Pemerintah kota Busan sempat mewacanakan untuk melakukan program urban regeneration (dalam konteks Korea berarti penggusuran kampung dan mengubahnya menjadi kompleks apartemen, atau biasa disebut apateu). Hingga pada suatu ketika, Jin Young-Sup dari Art Factory di Dadaepo mengunjungi Gamcheon dan jatuh hati pada ikatan sosial yang erat serta kehidupan berkomunitas yang masih berjalan, sungguh sesuatu langka di kota besar, terlepas dari kondisi Gamcheon yang kumuh. Akhirnya Jin mengajak rekan-rekan seniman dan akademisi berdiskusi bagaimana caranya memperbaiki kondisi Gamcheon melalui kesenian. Strategi kesenian tersebut dipilih lebih karena mereka berprofesi dan berpengetahuan sebagai seniman. Jadi medium kesenian terpilih karena sisi pragmatisme.
Namun, tidak seperti pemerintah kota, seniman tidak memiliki legitimasi formal untuk melaksanakan proyek revitalisasi perkotaan. Sekelompok seniman tidak bisa tiba-tiba datang untuk mengusulkan untuk membangun proyek kesenian, mereka meluangkan waktu untuk berhubungan dengan penduduk, berkomunikasi dengan mereka dan bahkan menjadi teman. Baru di 2007, mereka akhirnya bisa mengadakan pertemuan warga dan seminar. Disini seni dan budaya dipakai sebagai umpan untuk membangun pencitraan tempat, dengan tujuan akhir meningkatkan lingkungan hidup penghuninya.
Peran pemerintah baru muncul kemudian ketika Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata mengadakan sayembara seni publik di 2009. Warga Gamcheon dan Art Factory Dadaepo memasukkan proposal dengan tema Dreaming Busan’s Machu Picchu dan akhirnya berhasil mendapatkan hadiah sebesar $100,000. Uang tersebut dipakai untuk pembuatan karya dan instalasi seni publik. Tahun depannya, mereka kembali memenangkan sayembara lain dari kementerian sama dan membuat program “Miromiro Alley”. Ketika Gamcheon berhasil memenangkan sayembara kedua, dukungan warga terhadap kegiatan kesenian dan para seniman ini semakin meluas. Dan para seniman sendiri semakin memahami sejarah dan karakteristik wilayah dan warganya. Dukungan warga serta eratnya hubungan antara warga dan seniman ini juga dianggap mempengaruhi kualitas instalasi seni publik yang dihasilkan berikutnya.
Pasca sayembara kedua di 2010, Gamcheon mulai menarik minat wisatawan lokal dan Pemkot Busan. Pada tahun 2011, Pemkot Busan membiayai renovasi rumah dan infrastruktur – dan di 2012 Gamcheon masuk dalam program kebijakan regenerasi kampung kumuh atau yang disebut Sanbok Road Renaissance. Kebijakan inilah yang menjadi sumber utama pendanaan transformasi Gamcheon, termasuk memungkinkan kelompok warga dan seniman membentuk unit usaha, membeli rumah-rumah yang kosong dan terlantar serta mengubahnya menjadi galeri seni hingga residensi serta berbagai kegiatan komersial lainnya seperti kafe, toko dan restoran. Akhirnya Gamcheon menjadi simbol kesuksesan program Sambok Road Renaissance.
Memang Gamcheon akhirnya kerap menjadi contoh sukses inisiatif dan kolaborasi warga dalam melakukan perubahan lingkungan, termasuk bagaimana caranya memberdayakan dirinya sendiri, terutama bagi mayoritas penduduk yang sudah berusia lanjut. Berbeda dengan berbagai kampung tematik di Indonesia, Gamcheon tidak memiliki masalah agraria. Strategi perubahan melalui seni dan budaya ternyata benar membawa perubahan infrastruktur secara mendalam, yang tidak hanya di kulit saja. Karya seni yang ditampilkan juga berkualitas dan melalui proses panjang penciptaan dan kurasi, dan bukan sekadar apikasi warna cat.
Namun pasca populernya Gamcheon, ternyata ada masalah-masalah baru muncul, dan disertai juga ketidakpuasan sebagian besar warga. Seiring dengan populernya Gamcheon menyebabkan permintaan akan ruang dan bangunan meningkat. Harga tanah dan bangunan pun mengalami peningkatan, walaupun tidak seperti banyak kampung tematik Korea lainnya, seperti di Ihwa-dong, Seoul. Fragmentasi tanah dan kepemilikan tanah-bangunan di Gamcheon mengerem kenaikan harga tanah. Namun tetap saja, pada tahun 2009 saat program kesenian pertama dimulai, harga tanah di Gamcheon meningkat hingga 140%.
Banyak warga mengeluh bahwa pada akhirnya mereka tidak menerima manfaat langsung dari pariwisata, dan satu persatu penduduk meninggalkan Gamcheon – entah menyewakan bahkan menjual rumahnya. Bahkan sebagian besar penduduk merasa tidak memiliki kebanggaan tinggal di Gamcheon dan bahkan tidak melihat program Gamcheon membuka lapangan pekerjaan baru bagi mereka. Dan ternyata pengeluaran turis di Gamcheon pun tidaklah besar, rata-rata 800 Won (atau sekitar 10.000 rupiah), sementara dampak gentrifikasinya begitu besar. Perubahan Gamcheon sesungguhnya terjadi dalam tempo waktu cukup singkat, dan mereka pun masih dalam tahap untuk terus menerus untuk memperbaiki kebijakan yang ada, terutama untuk memastikan agar tujuan utama revitalisasi Gamcheon ini tercapai, yaitu kehidupan yang lebih baik bagi penghuninya.
Jikapun Presiden Jokowi menginginkan Gamcheon menjadi inspirasi bagi para kepala daerah, maka dia harus melihat Gamcheon lebih dari sekadar soal pariwisata dan peningkatan ekonomi (yang pada kenyataannya ternyata tidak berpengaruh banyak bagi warga Gamcheon). Yang bisa dipelajari oleh Indonesia adalah kekumuhan bukan semata-mata soal cat dan seni belaka, namun ada persoalan keamanan bermukim – termasuk bagaimana caranya memastikan agar warganya tidak tergusur secara ekonomi. Proses penciptaan seni publik partisipatif yang berkualitas juga bukan sekadar urusan CSR perusahaan cat dan Instagram – namun mengalami proses panjang memahami sejarah, potensi dan bahwa karakter warga dan permukimannya. Tidak ada yang instan.
Sayangnya, inspirasi bagi kepala daerah (dan perangkat maupun sebagian komunitas) kerap kali disalahpahami sebagai imitasi. Seperti layaknya konsep pencitraan (branding kota) I Amsterdam yang memiliki proses penciptaan dan konsensus yang panjang, ternyata begitu sampai di Indonesia hanyalah bagaimana menaruh logo kota dalam rupa tulisan besar-besar di berbagai sudut kota dan tempat wisata. Yang perlu kita pelajari dari Gamcheon adalah jatuh bangun, kegagalan serta apa yang mereka pelajari dari kegagalan tersebut. Bukan produk akhirnya.
Proses negoisasi dan diskusi terus menerus yang terjadi di Gamcheon kembali mengingatkan, bahwa tujuan utama perbaikan adalah mempertahankan sifat “kampung” yang guyub dan ikatan sosial serta komunitas di Gamcheon. Hal-hal itulah yang membuat Jin Young-Sup jatuh cinta pertama kali pada Gamcheon. Bukan soal seni dan pariwisata belaka, harap ingat, keduanya hanya alat mencapai tujuan. Semoga Presiden melihat lebih jauh dan mengenali cara hidup yang hendak dilestarikan di Gamcheon, melebihi dari kosmetik cantik dan mahal yang sekarang melekat di Gamcheon.
Pingback: Lama dan Baru - Rujak