Historic Urban Landscape, Melihat Muko City dan Jakarta [International Field School 2020 : Hari 4]

Kota bukanlah monumen, tetapi karya kolektif manusia yang beraktivitas di dalamnya. Pesan yang amat dalam disampaikan oleh Elisa Sutanudjaja dalam International Field School sesi Historic Urban Landscape. Sesi tersebut membandingkan antara kasus dua kota yang berkelindan dengan sejarahnya: Kota Jakarta di Indonesia dan Kota Muko di Jepang. Kota Jakarta dikupas oleh Elisa Sutanudjaja dan Kota Muko dikupas oleh Hiroki Taniguchi.

Baik kota Muko maupun kota Jakarta memiliki kemiripan aspek historis. Kedua kota tersebut hadir dari kelindan panjang proses sejarah yang mengikat warganya dan kini bertahan di era modern yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian konteks dengan zaman. Biar pun sesama kota bersejarah, rupanya nasibnya kini berbeda.

Kota Muko tetap menjadi kota yang kompak dan relatif padat dengan luas hanya 7,72 km2. Di lain sisi, Jakarta yang dulunya merupakan kota pelabuhan kecil bernama Batavia kini bahkan telah membentuk konurbasi Jabodetabek dengan penduduk lebih dari sebelas juta jiwa. Jakarta dan Muko sama-sama berjuang menemukan relevansi-relevansi sejarah dengan kehidupan masa kini. Namun, kasus yang terjadi sangat kontras antara tindakan yang diambil Muko dengan Jakarta.

Kota Muko


Muko shrine, sumber gambar: https://www.kyototourism.org/en/sightseeing-info/images/7559_img1.jpg

Muko terletak dekat kota Kyoto dan dihubungkan dengan jalan dan rel kereta api. Kota Muko memiliki pola pemanfaatan ruang yang cukup unik. Kota Muko tidak hanya berfokus pada kegiatan ekonomi sekunder selayaknya kota-kota lainnya, Kota Muko tetap menjaga dan melestarikan hutan bambu yang ada di kota tersebut. Selain itu, di Kota Muko juga ada depot kereta yang besar karena Kota Muko dilintasi dua lin kereta.

Muko sebagai kota kecil yang kental dengan aspek-aspek sejarah, sampai kini warganya masih memiliki rasa kepemilikan yang sama akan warisan-warisan budaya sejarah yang masih bertahan. Warga Kota Muko memiliki ikatan rasa kepemilikan dengan kotanya dan artefak-artefak seperti rasa kepemilikan dengan Muko Jinja Shrine yang telah berdiri lebih dari seribu tahun lamanya. Ikatan rasa kepemilikan ini diwujudkan dalam kepedulian akan preservasi dan konservasi yang melibatkan warga karena telah ada konsensus nilai yang dipegang bersama oleh warga Kota Muko.

Cuplikan Paparan Hiroki Taniguchi tentang Area Lanskap Sejarah kota Mukou

Artefak-artefak sejarah di Kota Muko rencananya akan diutilisasi sebagai objek wisata. Dengan program yang berfokus pada perawatan dan peningkatan mutu wisata. Ada lima kebijakan dasar mengenai historic urban landscape di Kota Muko, yaitu public relation, upbringing, preservation and utilization, landscape, dan tourism promotion. Taniguchi menekankan bahwa Kota Muko sejatinya tidak terlalu jauh dari Kyoto dan berpotensi berkembang melalui pariwisata sejarah. Maka dari itu, pemerintah kota Muko menekankan landscape repair dengan tetap melestarikan budaya demi pariwisata yang berbudaya.

Dalam rangka mengoptimalisasi potensi Kota Muko, pemerintah setempat memiliki beberapa proyek, yaitu promosi, peningkatan fasilitas, transport hub, perbaikan jalan, peta wisata, information center dan signage, pelestarian monument, logo dan branding, serta landscape. Semua hal tersebut dilakukan dengan semangat membangun kota bersama yang membahagiakan dan hidup berdampingan dengan sejarah yang membentuk kota.

Jakarta

Cuplikan Paparan Elisa Sutanudjaja tentang Grid city plan kota Jakarta

Jakarta bermula dari Batavia yang merupakan ibu kota Hindia Belanda ketika zaman penjajahan. Batavia dirancang oleh perencana Belanda yang bernama Simon Stevin dengan konsep kota efisien berbentuk grid yang kaku. Rencana tersebut tidak lestari karena dianggap tidak sesuai dengan konteks kolonialisme yang menganut sistem sosial yang diskriminatif. Namun, Kota Tua sempat diajukan ke UNESCO untuk menjadi warisan budaya dunia menggunakan rencana yang digagas Simon Stevin. Padahal, menurut Elisa Sutanudjaja rencana tersebut semakin tidak relevan di masa kini dan otentisitas rencana serta warisan budaya Kota Tua tersebut dipertanyakan.

Bahkan, demi mewujudkan gengsi warisan dunia, Kota Tua melakukan revitalisasi hingga menggusur sebagian warga. Hal ini dinilai Elisa Sutanudjaja sebagai paradigma yang salah mengenai konsep historic urban landscape. Warga adalah bagian tak terpisahkan dari kota dan elemennya karena kota merupakan dinamika sosial. Kota adalah karya kolektif bersama kelompok masyarakat yang tinggal di dalamnya, bukanlah monument yang mati tetapi konstruksi yang dinamis. Bu Elisa memaparkan sebuah benang merah yang seharusnya mendasari historic urban landscape, yaitu konsensus nilai-nilai yang dipegang warga mengenai interpretasi ruang kota bersejarah.

Maka dari itu, Elisa dalam pemaparannya mengajukan beberapa proposal terkait pembangunan kota yang berkelanjutan dengan mengkonservasi historic urban landscape, yaitu:

  1. Pembangunan kota bersejarah yang kontekstual terhadap perkembangan zaman. Menjadikan proses pembangunan sebagai proses yang dinamis dan multisectoral komprehensif sehingga melihat sejarah sebagai lapisan-lapisan perkembangan kota. Selain itu juga mengiringi nilai-nilai yang ada di dalam kehidupan masyarakat kota.
  2. Perubahan paradigma pembangunan yang kini elitis seharusnya inklusif dan partisipatif diiringi dengan leadership. Proses pembangunan seharusnya lebih banyak melibatkan warga setempat yang memang bergantung pada ruang hidup sebagai bagian dari kerangkan Man-Activity-Space seperti yang disampaikan oleh Doxiadis.

Kota Muko memberi contoh pendekatan yang baik sebagai preseden desain dan pengembangan kota yang partisipatif beriringan dengan masyarakatnya sebagai bagian dari kota yang inklusif. Barangkali, Jakarta bisa mengembangkan kota lebih baik menimbang potensi sejarah panjang yang dimilikinya dengan mengubah paradigma yang tadinya elitis dan eksklusif menjadi pengembangan yang partisipatif dan inklusif.

Sesi lengkap diskusi dapat disimak melalui :
https://youtu.be/MDcHwf3pz6c

Penulis : Aidan Raditya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *