MUNGKINKAH MEMENUHI KEBUTUHAN HUNIAN LAYAK PARA MILENIAL?
Ini adalah pertanyaan yang mungkin menguak di benak peserta diskusi dan bahkan para narasumbernya.
“Seberapapun kecepatan kita meningkatkan penghasilan, tidak akan bisa mengejar kenaikan harga properti, rumah dan tanah, yang tersedia di pasar.” Demikian kata sineas muda Angga Dwimas Sasongko semalam di diskusi “Hunian Layak adalah Hak Asasi” pada tanggal 11 April 2018 di Goethe Haus, Jalan Sam Ratulangi, Jakarta Pusat.
Lanjutnya: “Karena itu diperlukan perjuangan lebih (secara bersama-sama), selain kerja meningkatkan penghasilan masing-masing. Juga diperlukan keterlibatan institusi yang lebih besar daripada kita masing-masing”. Angga mengatakan itu dengan latar belakang pengalamannya memikirkan 125 orang, umumnya milenial, yang bekerja di berbagai usahanya di bidang perfileman dan per(filosofi)kopian.
Sementara Elisa Sutanudjaja dari Rujak Center for Urban Studies menjelaskan konsep Hak Asasi Manusia atas Hunian Layak, terutama bahwa Hunian Layak tidak hanya sebagai salah satu hak asasi di bidang Ekonomi Sosial Budaya saja, tetapi juga di bidang Sipil dan Politik, serta terkait satu sama lain dengan Hak Asasi lainnya. Di hari itu, Elisa juga ingin mengingatkan bahwa tanggal 11 April 2018 tidak hanya peringatan 2 tahun penggusuran paksa Kampung Akuarium, tetapi juga peringatan 1 tahun Novel Baswedan diserang oleh orang yang tak dikenal dalam perjalanan pulang ke rumah dari sholat subuh di mesjid setempat. Peristiwa ini menunjukkan terjadinya pelanggaran hak hidup Novel, termasuk rasa aman pada kawasan huniannya.
Dalam hal lain, Elisa juga menyatakan bahwa mekanisme pasar sudah gagal dalam memenuhi hunian layak, karena itu demi untuk memastikan hunian layak, termasuk memenuhi target Sustainable Development Goals no.11 dimana salah satu targetnya adalah hunian layak bagi semua pada tahun 2030, maka Indonesia perlu menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia dan meninggalkan kecenderungan pendekatan pasar serta segera menyusun Strategi Hunian berbasis HAM.
Wakil Direktur LBH Jakarta bagian Advokasi, Yuanita juga menegaskan bahwa hunian layak itu adalah kewajiban negara. Namun dalam Undang Undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, kewajiban menyediakan perumahan tak hanya berada pada pemerintah nasional dan daerah, tetapi juga masyarakat. Karena itu berkali-kali Yunita menyuarakan keheranannya, kenapa saat masyarakat mengupayakan pemenuhan hunian layaknya sendiri, justru banyak yang digusur – padahal mereka secara administrasi keagrariaan bisa jadi berhak atas tanah. Dan Yunita kembali mengkritik tentang pandangan umum yang kerap menganggap rusunawa kompensasi korban gusuran paksa itu adalah “charity”, seharusnya negara dan masyarakat sadar, hunian layak itu bukan “charity” tapi memang kewajiban negara.
Peneliti Senior pada KOMNAS HAM, Pihrih Buhaerah, mengungkapkan sudah bukan rahasia lagi di seluruh dunia, dan terutama di Indonesia, bahwa kesenjangan antara peningkatan penghasilan dengan peningkatan harga properti makin besar. Tanpa melakukan apa-apa, bila diserahkan ke pasar saja, krisis perumahan (dan akibatnya krisis produktivitas serta sosial politik) sudah sangat nyata di depan mata. Solusinya menurut beliau: Pendekatan HAM. Negara harus mengendalikan dan mengarahkan ekonomi dengan berbagai instrumennya supaya hunian layak menjadi terjangkau pada tingkat penghasilan yang berlaku. Tidak berguna mengupayakan peningkatan penghasilan saja, kalau harga properti tidak dikendalikan. Hanya pendekatan HAM yang dapat memaksa negara “hadir” menyediakan subsidi atau mengatur pasar dengan target yang jelas (yang tentunya harus merupakan konsesnsus nasional).
Shanty Syahril, dari Taman Bacaan Garasi, mengisahkan jatuh bangunnya upaya beliau dan teman-temannya dalam berusaha mewujudkan hunian sesuai dengan ideologi, yaitu kesadaran bahwa sumber daya dan ruang yang semakin terbatas melalui konsep co-housing. Namun setelah sekian lama berusaha, ternyata sistem di Indonesia tidak berpihak pada pengadaan perumahan alternatif. Petualangan dan kegagalannya mewujudkan co-housing membuat Shanty sadar, bahwa sesungguhnya ada nilai lebih dalam co-housing, yaitu co-housing sebagai cara berbagi sumber daya yang terbatas secara efisien melalui berbagi, dan demi memastikan co-houing maka perlu modal sosial dan kepercayaan. Akhirnya Shanty memutuskan menggunakan ruang tak terpakai dalam huniannya sebagai ruang untuk mengembangkan modal sosial di kawasan permukimannya.
Pembicara lain, Yuli Kusworo dari Arkom Institute Arkomjogja mengungkapkan bahwa dalam pengalamannya ada kepala daerah (dan pemerintahannya) yang secara mandiri melaksanakan pendekatan HAM seperti di atas. Tapi ada juga, bahkan kebanyakan, yang tidak. Menurut dia, hal ini tidak bisa dibiarkan. HAM harusnya menjadi standar di semua daerah, di seluruh Indonesia, tidak bisa tergantung pada selera kepala daerah yang kebetulan paham atau mau. Suatu kehendak politik harus digalang.
Nantikan acara kami berikutnya pada tanggal 16 Mei 2018.
Keren mbak Elisa..
Unfortunately pingin dateng ke Goethe Haus tapi pas berhalangan waktu itu.