Penulis : Nicky Ihsan Pratama. Mahasiswa Universitas Padjajaran. Jurusan Sosiolog & Noor Adzlin Tauchid . Mahasiswa Universitas Indonesia. Jurusan Kriminologi
Apa yang pertama kali terpikirkan ketika mendengar kata kampung di Muara Baru? Mungkin sebagian kita yang awam akan mengeryitkan dahi, mencoba mengingat bajilion serpihan ingatan yang ada didalam kepala dengan kata kunci “kampung” dan “Muara Baru”, bingung dan mungkin saja terasa asing. Sebagian awam lainnya yang mungkin mengetahui hal tersebut, karena mungkin cukup up to date karena mengikuti berita ibukota kemungkinan besar akan terpikir dengan banjir rob yang memang kerap terjadi di kawasan Muara Baru. Wajar, karena memang hasil pencarian teratas di laman pertama mesin pencari Google melampirkan tautan ke portal berita terkait banjir rob di Muara Baru sebagai hasil yang muncul di posisi teratas. Selain itu Google juga menunjukan data query pencarian yang populer terkait Muara Baru lainnya adalah pasar ikan Muara Baru. Namun diluar kedua hal tersebut, kampung di Muara Baru memang lebih dari itu, dan kampung-kampung tersebut kini masih terus menggeliat untuk menemukan identitasnya yang masih abu-abu.
Muara Baru merupakan nama suatu daerah yang berada di utara Jakarta. Muara baru atau yang lebih dikenal dengan Pluit merupakan daerah kawasan industri dan pelelangan ikan, dimana pada daerah ini sangat banyak dijumpai pabrik-pabrik dan gudang-gudang, yang sebagaimana telah menjadi ciri khas kawasan industri. Maka tak heran ketika menyempatkan diri melintasi daerah ini, kita akan sangat sering menemukan mobil truk yang berlalu-lalang membawa produk hasil ikan seperti sirip ikan, kulit ikan, minyak ikan dan lain-lain, tentunya dengan aroma ikan yang khas dan menyengat disepanjang jalan kawasan industri tersebut. Walaupun dengan begitu semaraknya kegiatan indutri perikanan yang ada di kawasan ini, di daerah ini juga terdapat daerah yang merupakan pemukiman penduduk seperti kampung Marlina, Elektro dan Gedong pompa.
Kampung Marlina dan elektro, merupakan daerah perkampungan yang telah di huni semenjak tahun 80an, dan daerah ini juga merupakan daerah yang dahulunya merupakan rawa-rawa hingga kemudaian dihuni oleh masyarakat. Pada saat itu masyarakat mulai membangun perkampungan dengan bangunan yang sangat sederhana dan seadanya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, daerah ini kian dipadati oleh masyarakat luar yang merupakan orang-orang yang ingin mengadu nasib di wilayah Ibukota Jakarta dan orang-orang tersebut mulai menempati daerah perkampungan ini dan kampung ini terus berkembang hingga sekarang. Untuk asal muasal nama kampung Marlina dan elektro, keduanya diambil dari nama pabrik pulpen Marlina dan Gudang Elektronik yang berada di sekitar daerah tersebut karena pada awalnya yang menempati daerah kampung Marlina dan Elektro hanyalah buruh pabrik yang bekerja di pabrik tersebut saja. Kampung Marlina dan Elektro meski bersebelahan, memiliki perangai kampung yang berbeda. Kampung Marlina cenderung lebih ramai interaksi masyarakatnya dan cenderung lebih ceria. Anak-anak kampung Marlina juga lebih aktif dengan mengikuti kegiatan seperti menari yang sering dilombakan. Sedangkan kampung Elektro cenderung lebih sepi dan interaksi masyarakatnya cenderung dari rumah-kerumah karena jalan yang menyempit dan menjadikan antar rumah yang berhadapan saling mudah untuk berinteraksi dari masing-masing rumah. Karena jalan yang menyempit, Elektro juga cenderung lebih gelap karena cahaya yang masuk tertahan oleh bangunan yang ada. Selain itu anak-anak di Elektro juga kurang aktif dalam kegiatan selain mengaji, dan kebanyakan memilih bermain disekitar RT atau kampungnya.

Berbeda dengan Marlina dan Elektro, keberadaan wilayah kampung Gedong Pompa berada lebih dekat dengan waduk Pluit. Alasan dari penamaan kawasan ini dinamakan sebagai kampung Gedung Pompa, hal ini dikarenakan daerah ini berdekatan dengan mesin pompa air yang digunakan untuk menghisap air ketika terjadi banjir. Daerah ini sempat menjadi ramai karena keberadaanya yang sangat dekat laut Jakarta, sehingga banyak dari warganya yang berprofesi sebagai nelayan dan bekerja di kawasan pelelangan dan pasar ikan. Akan tetapi dengan seiring perkembangan zaman, pekerjaan sebagai nelayan mulai banyak ditinggalkan dan warganya beralih ke pekerjaan lain seperti berdagang dan bekerja sebagai buruh. Kuat dari segi relijiusitas dan kegiatan sosial budaya, kawasan Gedung Pompa adalah kampung yang sangat dicintai oleh warganya. Terlihat dengan keberadaan masjid Jami Nurul Al Ikhwan yang selalu ramai dan semaraknya kegiatan sosial budaya seperti pembinaan anak Yatim dan Karang Taruna menjadi bukti yang kuat akan kentalnya nuansa kedekatan antar warganya. Namun terlepas dari segala segi positif yang ada di kampung Gedung Pompa, muncul kekhawatiran dari beberapa warga senior akan lemahnya proses kaderisasi dan generasi mudanya yang makin individualistik, yang mungkin saja ingatan bahwa kampung Gedung Pompa yang pernah menjadi primadona, akan menjadi tetap menjadi legenda yang tetap menjadi legenda.

Kawasan marlina elektro dan gedong pompa memiliki kesamaan bentuk yang wilayahnya merupakan wilayah padat penduduk. Keberadaan sarana dan prasarana yang terlihat saat ini sangat tidak memadai. Mulai dari prasarana seperti lapangan untuk bermain anak hingga lapangan parkir untuk kendaraan bermotor roda dua. Karena hal tersebut, hampir setiap anak bermain di gang-gang atau malah di jalanan tempat kendaraan lewat yang berada di kedua kampung tersebut. Selain berbahaya, orangtua juga kesulitan untuk memantau anak-anaknya bermain sehingga kebutuhan adanya lapangan bermain untuk anak menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Baik untuk anak, maupun orangtua dan warga lainnya.
Permasalahan yang lain juga muncul karena terlalu padatnya bangunan yang berada di kampung tersebut maka kawasan ini rawan dengan bencana kebakaran. Hal ini menjadi masalah besar karena sempitnya jarak antar rumah sehingga api mudah menyebar dan sulitnya mobil pemadam kebakaran untuk masuk karena jalan yang berada di kampung tersebut tidak dapat dilewati oleh mobil pemadam kebakaran. Diperparah oleh seringnya warga tidak tanggap akan antisipasi dan penanggulangan dini dari kebakaran tersebut, sehingga ketika api sudah membesar akan sangat sulit untuk dipadamkan. Bencana lain yang berpotensi untuk muncul karena kepadatan adalah bencana banjir. Hal ini biasanya disebabkan oleh drainase yang belum cukup baik dan juga ada warga yang mengambil lahan selokan sebagai rumah sehingga fungsinya tidak berjalan dengan semestinya. Selain itu juga, banjir yang terjadi disebabkan karena wilayah ini berdekatan dengan laut, sehingga daerah ini juga rawan untuk terjadinya banjir rob. Sampah dan kotoran yang ditaruh sekenanya juga berpotensi untuk kembali ketika terjadi banjir, sehingga masalah kesehatan juga harus menjadi perhatian utama. Tentunya masih banyak masalah lain yang ada di kampung ini, seperti masalah-masalah yang terkait dengan pendidikan, aksesibilitas informasi hingga keamanan. Sehingga melihat kedepan, yang diperlukan oleh ketiga kampung yang berada di Muara Baru ini adalah penataan kampung sebagai jalan untuk memperbaiki masalah yang terjadi.

CAP (Community Action Plan) menjadi salah satu kesempatan agar penataan kampung dapat dilakukan. Didalam CAP, warga dituntut sebagai penggerak dan sumber inspirasi dari rencana penataan kampung. Warga didorong untuk dapat mendulang aspirasi dari warga yang tinggal di masing-masing kampung terkait permasalahan yang ada dan solusi apa yang kira-kira dapat dilakukan untuk menyelesaikan setiap masalah tersebut.
Meskipun tampak sempurna diatas kertas, menjadi suatu permasalahan ketika proses CAP dijalankan, ada banyak warga yang tidak sadar atau lebih parah lagi tidak mengetahui akan identitas kampungnya masing-masing. Permasalahan dan solusi yang muncul dalam medium penarikan permasalahan dari warga seakan berisi permasalahan dan usulan yang normatif dan itu-itu saja. Padahal ketika digali lebih dalam ke sebagian warga, sebagian warga mampu menceritakan potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh kampung tempat mereka tinggal dengan lebih mendalam dari pengalaman yang dialaminya selama tinggal di kampung tersebut. Warga kebanyakan merasa kampungnya ya begitu-gitu saja, sebagaimana berjalannya kehidupan sehari-hari pokoknya. Memang mungkin saja keinginan yang kuat akan diberikannya legalitas dan hak tinggal menjadikan kaku pikiran-pikiran yang ada, sehingga warga sulit untuk bercerita keluar lebih jauh dari sekedar permasalahan dan solusi yang bersumber dari ketakutan akan hilangnya legalitas dan hak untuk tinggal di kampung tersebut. Perlu usaha lebih besar dari warga yang berupaya dalam mengumpulkan masalah dan solusi, agar dapat menggali fenomena-fenomena yang dirasakan secara pribadi oleh masing-masing warga kampung terkait kampungnya masing-masing; dan juga agar warga sadar dan tidak lupa akan keunikan dan ciri khas yang ada di kampungnya. Karena apabila keunikan ini dapat diangkat ke permukaan, maka keunikan dari fenomena dan interaksi yang pernah terjadi di kampung tersebut bisa menjadi salah satu penanda identitas dari kampung mereka masing-masing.