Penulis : Rizky Ramadityo . Mahasiswa Universitas Indonesia . Jurusan Arsitektur
Hari sudah mulai sore. Sembari turun dari sepeda motor, kedua kaki saya mulai menapaki tanah yang berupa puing-puing basah berserakan setelah diguyur hujan seharian. Saya pun langsung bergegas menuju Masjid berukuran sedang yang berdiri di depan saya. Sambil berjalan, saya mengamati lingkungan sekitar, dan tidak nampak banyak bangunan, hanya terlihat beberapa bedeng sederhana, warung, dan pos polisi pamong praja yang berdiri di atas area puing-puing bangunan. Banyak orang sudah terlihat menunggu di dalam Masjid. Ya, hari itu adalah hari pertama saya berpartisipasi dalam rapat antara warga Kampung Akuarium dan tim pendamping warga. Agendanya adalah membahas mengenai rencana kampung mereka yang akan dibangun, fasilitas apa saja yang ada di dalamnya, dan bagaimana peletakannya. Beberapa poster dan lembaran gabus pun sudah siap untuk menjadi media diskusi.
Tak lama, rapat pun dimulai. Rupanya, beberapa orang sudah ditugaskan dari rapat sebelumnya untuk membuat design kasar kampung mereka. Hari itu, agenda utamanya adalah mendengar pemaparan dari para warga yang membuat design kasar tersebut di depan semua warga. Kami pun dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari satu orang warga yang membuat design kasar, beberapa warga lainnya dan satu atau dua pendamping sebagai penengah. Setelah pembuat design kasar menjelaskan rencananya, warga lain pun memberi tanggapan dan memberi usulan baru. Setelah itu, barulah semua warga mendengar presentasi dari masing-masing kelompok atas usulan design barunya. Pada akhir rapat, dibuatlah satu gambar besar yang berisi rencana tata letak bangunan-bangunan di Kampung Akuarium baru yang akan dibangun nanti dan sudah disepakati warga. Tak lupa juga kami membicarakan tentang jumlah unit yang harus dibangun, ukuran masing-masing unit, dan regulasi yang berlaku. Berbekal design tersebut, para arsitek dari pendamping kemudian membuat kemungkinan-kemungkinan tata letak bangunan Kampung Akuarium baru dalam bentuk 3D modeling, untuk dipresentasikan pada rapat selanjutnya dan didiskusikan dengan warga. Akhirnya, berdasarkan hasil diskusi dengan warga, keluarlah desain final dari Kampung Akuarium baru yang dipresentasikan ke warga dan mendapat respon positif. Design final tersebut kemudian ditunjukkan kepada Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam acara peringatan dua tahun penggusuran kampung yang juga dibarengi dengan peresmian design Kampung Akuarium yang baru.

Menjadi pendamping warga Kampung Akuarium memang cukup berbeda dari pendamping kampung lain, demikian juga dengan karakteristik warganya. Pekikan dan teriakan seperti “Kembalikan kampung kami!” atau ucapan-ucapan yang bernada “Kami berjuang untuk kembalinya kampung kami” memang kerap terdengar di setiap rapat, sehingga menyebabkan suasana diskusi menjadi ‘panas’. Maklum, kejadian penggusuran paksa yang terjadi dua tahun yang lalu rupanya masih meninggalkan luka yang mendalam. Bagi mereka, lahan bekas kampung Akuarium saat ini bukan hanya dipandang sebagai lahan kosong semata, tapi merupakan medan perjuangan mereka dalam memperoleh hak mereka kembali, yaitu Kampung Akuarium baru yang dapat ditinggali seperti sedia kala.
Fenomena Kampung Akuarium merupakan fenomena yang menarik untuk diamati, baik terkait dengan proses perancangan partisipatorisnya maupun terkait dengan kampung itu sendiri. Salah satu buku yang cocok dijadikan bahan referensi untuk mengamati fenomena tersebut adalah buku “Pengorganisasian Rakyat dan Hal-Hal yang Belum Selesai” oleh Marsen Sinaga. Buku ini membahas secara mendalam mengenai sepak terjang ArkomJogja, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfungsi untuk melakukan pendampingan warga terkait dengan hunian mereka.
Yuli Kusworo, sang koordinator umum ArkomJogja dalam buku tersebut menjelaskan bahwa profesi arsitek yang bekerja bersama-sama dengan komunitas (warga) mempunyai beban lebih berat daripada arsitek yang bekerja sendirian, karena ia akan lebih banyak bersinggungan dengan aspek sosial-budaya dengan pendekatan kemanusiaan dan partisipatoris yang menjadikan warga sebagai subjek utamanya. Keberadaan arsitek komunitas memang sangat dibutuhkan mengingat semakin kuatnya pengaruh kapitalisme terutama di kota-kota besar, yang menjadikan warga kelas menengah ke bawah semakin terhimpit dengan maraknya fasilitas megah yang hanya dinikmati oleh orang-orang berduit saja. Hal ini senada dengan yang dikatakan Badiou (2008) yang dikutip oleh penulis buku “Pengorganisasian Rakyat dan Hal-Hal yang Belum Selesai”, di saat orang-orang kecil tidak mempunyai kekuatan finansial ataupun militer, mereka hanya dapat keluar dari masalah-masalah tersebut jika usaha mereka dilakukan dengan bersama-sama.
Hal ini pula yang sangat ditekankan di proses perancangan Kampung Akuarium baru. Para pendamping senantiasa berusaha menjaga kekompakan warga dengan memastikan semua elemen warga hadir saat rapat, dan memicu terjadinya diskusi. Akan tetapi, jangan sampai warga menjadi dimanjakan dengan hadirnya para pendamping, karena justru mereka lah yang merupakan tokoh utama pada proses perancangan ini. Jadi, dalam hal ini, tugas pendamping adalah melakukan pengorganisasian dan pemberdayaan masyarakat untuk memberi mereka kekuatan, tapi tidak sampai memanjakan mereka.

Ada beberapa tahapan perancangan partisipatoris yang dipaparkan oleh penulis, yaitu pemetaan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pada proses perancangan Kampung Akuarium, tahapan pemetaan dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap tata letak dan fungsi bangunan pada Kampung Akuarium sebelum digusur. Di situlah letak kesulitannya, karena tidak ada peta Kampung Akuarium sebelum digusur yang dapat diakses baik di internet ataupun media cetak lainnya. Memasuki proses perencanaan, tim arsitek dari pendamping bertindak sebagai pembuat gambar rancangan kampung berdasarkan apa yang diajukan oleh warga. Dalam tahap ini, komunikasi harus berjalan dengan baik untuk memastikan bahwa design yang dibuat oleh tim arsitek pendamping sesuai dengan apa yang diharapkan warga. Sejauh ini tahap perancangan baru sampai di tahap perencanaan. Sementara tahap pelaksanaan dan evaluasi belum bisa dilaksanakan karena masih menunggu beberapa proses hukum.
Penulis juga menyebutkan bahwa perancangan partisipatoris mempunyai banyak manfaat dari berbagai aspek, seperti ekonomis, psikologis dan politis. Secara ekonomis, perputaran uang terjadi secara internal di dalam warga, sehingga pengembalian uang tertuju kepada warga, bukan pengembang. Pada proses perancangan Kampung Akuarium, dana pembangunannya sendiri akan digelontorkan oleh pemerintah, bukan dari warga. Pembayaran swadaya yang melibatkan warga hanya terjadi saat akan mengadakan acara peringatan dua tahun penggusuran, dan juga pada rapat-rapat bersama pendamping. Secara psikologis, proses perancangan rumah sendiri akan membuat mereka akan lebih percaya akan kemampuannya sendiri, yang mana hal itu merupakan modal utama mereka untuk keluar dari jerat kemiskinan dan kapitalisme. Dalam proses perancangan Kampung Akuarium, para pendamping senantiasa mencegah warga untuk menyerahkan semuanya kepada pendamping, atau dengan kata lain, warga tidak boleh menjadi termanjakan dengan hadirnya para pendamping. Semua keputusan diserahkan kepada warga, sedangkan para pendamping hanya membantu mereka dalam proses pengambilan keputusan saja. Secara politis, perancangan partisipatoris bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan diri warga dalam lingkup politik untuk angkat suara dalam persoalan-persoalan lain yang mereka hadapi. Mengalami proses-proses yang memperhitungkan suara mereka, tenaga mereka dihargai secara ekonomis, dan penilaian mereka dianggap penting membuat warga lebih berdaya secara kolektif. Proses perancangan Kampung Akuarium tidak hanya melibatkan para warga dan pendamping, tapi juga pemerintah. Instansi pemerintah seperti Dinas Perumahan kerap kali diundang dalam rapat agar mereka dapat mendengar langsung aspirasi warganya. Hal itu juga dapat membuat warga merasa lebih percaya diri dan lebih ‘dianggap’ keberadaannya oleh pemerintah.
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai gotong royong, perancangan yang bersifat partisipatoris merupakan hal yang sangat penting. Namun sayang, warga masih jarang dilibatkan dalam proses perancangan dan perencanaan tersebut, dan pemerintah sering terkesan mengeluarkan keputusan yang lebih berpihak kepada para pemodal, bukan kepada rakyat kecil. Oleh karena itu, sudah sepatutnya proses perancangan partisipatoris semakin banyak dilaksanakan dan dipopulerkan untuk mewujudkan warga yang mempunyai kekuatan lebih untuk melawan ketidakadilan dan kapitalisme.
Pingback: Ketangguhan Pesisir Kota Jakarta dalam Menghadapi Multibahaya - perkim.id