Pada Oktober 2024, rangkaian acara World Habitat Day dan World Cities Day dirayakan dengan penuh antusiasme. World Habitat Day 2024, yang mengusung tema “Engaging Youth to Create a Better Urban Future,” menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam membentuk masa depan perkotaan yang lebih baik. Tema ini berfokus pada kepemimpinan kaum muda dalam perencanaan kota, aksi iklim, dan pengembangan kota-kota yang inklusif serta tangguh. Di saat yang sama, World Cities Day menekankan “Youth Leading Climate and Local Action for Cities,” yang mengajak kaum muda untuk mengambil langkah-langkah lebih berani dalam menghadapi krisis iklim di perkotaan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyelenggarakan rangkaian kegiatan sejak 07 Oktober 2024 dan masih bisa dikunjungi hingga 19 Oktober 2024 di Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Satu bulan sebelum acara, Rujak Center for Urban Studies (Rujak) menerima undangan untuk menjadi salah satu kontributor pameran dalam kegiatan tersebut. Mengangkat tema Memetri yang berarti memelihara baik-baik / memuliakan / menghormati, pameran tersebut terbagi dalam beberapa segmen yang meliputi semua hal dasar utama di bumi ini yang harus dipelihara oleh setiap makhluk hidup. Dari soal memelihara tubuh (kesehatan), lingkungan, relasi sosial, nilai hidup (kutural), spiritual, dan lain sebagainya.
Rujak diundang menjadi salah satu dari dua organisasi yang dianggap mumpuni untuk mengisi segmen dalam klaster perkotaan. Sejalan dengan tema pameran, Rujak memilih untuk berbagi tentang praktik-praktik habitat perkotaan yang kami inisiasi bersama warga, yang mengedepankan solusi-solusi dari akar rumput, nilai-nilai kolektivitas dan resiliensi warga kampung kota dalam menghadapi tantangan kebijakan pembangunan kota. Beberapa panel yang Rujak sajikan dalam pameran antara lain linimasa Kampung Susun Akuarium, renovasi berpendekatan desain pendinginan pasif di Kampung Marlina, advokasi konsolidasi tanah di Muara Angke dan upaya Kampung Gang Lengkong untuk mempertahankan kampungnya dari pihak swasta. Rujak juga mempresentasikan berbagai publikasi yang dihasilkan dari praktek-praktek kolektif bersama warga kampung kota Jakarta, alat bantu Perencanaan Bersama dan buku “Kota Kota Indonesia”.
Namun, ada ironi besar dalam perayaan ini. Rujak, bersama dengan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) dan Urban Poor Consortium (UPC), baru saja memenangkan Medali Emas 2024 dari World Habitat Award untuk advokasi hak atas hunian layak di Jakarta. Prestasi ini merupakan pengakuan dunia atas kerja keras bersama yang dilakukan untuk mengembalikan hak-hak warga atas hunian mereka, terutama melalui proyek Kampung Susun Akuarium dan Kampung Anak Kali Ciliwung. Ini kali pertama Indonesia mendapatkan Gold Medal setelah dua puluh tahun penyelenggaraan ajang bergengsi ini. Sayangnya, penghargaan bergengsi ini tidak diangkat dalam acara perayaan World Habitat Day dan World Cities Day, yang seharusnya menjadi momen penting untuk mengakui perjuangan hak atas hunian layak di Indonesia.
Hak atas Hunian Layak, Kaum Muda, dan Krisis Iklim
Hak atas hunian layak merupakan salah satu isu paling krusial di kota-kota besar seperti Jakarta. Di tengah krisis iklim yang terus memburuk, akses terhadap hunian yang aman dan layak menjadi semakin penting, terutama bagi generasi muda yang akan mewarisi tantangan ini. Kaum muda jadi terkena beban ganda baik sekarang maupun di masa depan, yaitu Krisis Hunian dan Krisis Iklim.
Kaum muda, khususnya Generasi Z dan Millennials di Indonesia, mendominasi backlog perumahan saat ini pada angka 4,486,704. Banyak dari mereka, terutama dari kelompok masyarakat miskin, menghadapi kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap perumahan yang terjangkau dan layak termasuk karena sulitnya pengakuan tenurial/keamanan bermukim kepada masyarakat informal. Krisis perumahan ini tidak hanya masalah sosial, tetapi juga berkaitan langsung dengan krisis iklim, mengingat bahwa perumahan yang tidak layak sering kali berada di kawasan yang paling rentan terhadap bencana alam, banjir, dan efek buruk krisis iklim.
Namun, tidak adil jika seluruh beban untuk membangun masa depan perkotaan yang lebih baik dan memimpin aksi iklim dibebankan kepada kaum muda, sementara kekuasaan di kota-kota Indonesia dan nasional sebagian besar masih berada di tangan generasi yang lebih tua. Kaum muda, terutama dari kelompok miskin kota, sering kali mendapatkan dukungan minimal dari negara. Daripada memberikan mereka lebih banyak kekuasaan, kesempatan kerja yang adil, dan kemampuan untuk mengembangkan opsi hunian mereka sendiri, termasuk kepastian hak atas tanah di permukiman informal, pemerintah justru mengharapkan kaum muda menjadi “kelompok kreatif” yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Di sisi lain, kelas menengah muda formal dibebani oleh kewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), tanpa adanya opsi hunian layak yang terjangkau bagi mereka.
Generasi muda yang terlibat dalam advokasi hak atas hunian layak tidak hanya memperjuangkan tempat tinggal yang aman, tetapi juga lingkungan hidup yang lebih berkelanjutan. Dengan peran aktif mereka dalam gerakan iklim global, mereka menyadari bahwa krisis perumahan dan krisis iklim saling terkait. Perumahan yang layak dapat berfungsi sebagai benteng pertama dalam melindungi komunitas dari dampak krisis iklim, seperti yang terlihat di proyek Kampung Susun Akuarium dimana terjadi inovasi terhadap desain dan keamanan bermukim, serta Kampung Marlina, di mana desain pasif digunakan untuk meningkatkan sirkulasi udara dan efisiensi energi.
Dengan tema World Cities Day 2024 yang menekankan peran kaum muda dalam memimpin aksi iklim, dan tema World Habitat Day 2024 yang berfokus pada pentingnya keterlibatan kaum muda dalam menciptakan masa depan perkotaan yang lebih baik, Rujak percaya bahwa generasi muda harus berada di garis depan dalam memperjuangkan hak atas kota dan hunian yang adil. Sejalan dengan kedua tema tersebut, perumahan tidak boleh hanya dilihat sebagai kebutuhan fisik, tetapi juga sebagai elemen penting dalam menciptakan kota yang berkelanjutan, tangguh, dan inklusif, terutama bagi generasi muda yang menghadapi tantangan krisis iklim dan krisis perumahan. Dan jika serius, Pemerintah seharusnya memberi kuasa besar dan dukungan kepada kaum muda, dan jangan cuma sekadar menjadi ajang pameran dan omong-omong saja.