Kaum Muda dan Darurat Masa Depan Kota

Oleh: Elisa Sutanudjaja

Tiap Senin pertama di bulan Oktober, kita merayakan Hari Habitat Sedunia. Pada tahun ini, tema untuk tahun 2024 adalah Engaging youth to create a better urban future, atau melibatkan kaum muda dalam membentuk masa depan kota yang lebih baik. Ada 3 kunci di sini yaitu; pelibatan, kaum muda dan masa depan kota yang lebih baik. Kaum muda dalam konteks Indonesia adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16-30 tahun.

Jika mengutip lebih lanjut dari situs UN Habitat, tema Hari Habitat adalah seruan untuk beraksi di kotanya dan memperjuangkan hak atas hunian layak. UN Habitat mendorong agar generasi muda untuk bangkit dan beraksi. Keberadaan mereka dianggap sebagai energi penggerak pengembangan kota lestari, dan kepemimpinan mereka penting untuk menjawab tantangan terkini. 

Itu menurut UN Habitat. Pada kenyataannya, apakah iya generasi muda dianggap penting?

Mari kita melihat kenyataan dan konteks di Indonesia. Di bulan Oktober, 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota sedang dalam masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah secara serempak. Bahkan jauh sebelum mulainya Pilkada, telah terjadi banyak kontroversi yang mempertaruhkan masa depan kota dan generasi muda. Kaum dan usia muda malah dibajak untuk kepentingan politik dinasti yang kemaruk. Kelompok tertentu di DPR berusaha mengubah isi revisi UU Pilkada bertentangan dengan Keputusan MK MK No. 70/PUU-XXII/2024 yang menyatakan semua persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk syarat usia minimal harus ditentukan sebelum tahapan penetapan pasangan calon kepala daerah. 

Muda dibajak, Muda dieksploitasi

Tentu saja kita semua tahu sama tahu, untuk kepentingan siapa pembajakan usia muda dalam revisi UU Pilkada itu berlabuh? Komentar seperti “mendorong kaum muda untuk memimpin” menjadi sangat tidak relevan di masa mahar ongkos politik praktis begitu mahal serta maraknya dinasti politik dan klientelisme. Kaum muda jadi pembenaran dan stempel demi melanggengkan politik dinasti. Rumah Pemilu menemukan adanya ancaman dinasti politik di 35 wilayah. Koalisi gemuk dan kongkalikong yang tak sehat, serta gagalnya partai politik untuk benar bekerja untuk rakyat juga telah membawa munculnya calon tunggal di 37 wilayah

Bagaimana di Jakarta? Pilkada DKI sendiri diawali dengan pembajakan NIK warga oleh salah satu calon independen, Dharma-Kun. Kasus tersebut ternyata tidak membuat Banwaslu dan KPU bertindak. Drama lain di DKI termasuk jegal menjegal salah satu bacalon dan skenario kotak kosong di DKI

Berbagai kisruh jelang Pilkada seakan menunjukkan bahwa masa depan 415 kabupaten dan 93 kota itu hanyalah soal urusan melanggengkan kekuasaan dan dinasti. Calon-calon dipilih parpol belum tentu berdasarkan kepedulian pada kota dan kabupaten tersebut. Untuk kasus Jakarta misalnya, kedua cagub maju untuk melancarkan proyek titipan dan karena mendadak disuruh maju parpol

Jadi bagaimana kita mengharapkan kaum muda untuk terlibat aktif untuk masa depan kota yang lebih baik, sementara para elit sibuk berkongkalikong memupuk kekuasaan dan menjadikan kaum muda cuma sebagai alasan?

Suram dan Darurat?

Berkaca pada kejadian 1 tahun ke belekang bolehlah kita menyimpulkan bahwa elit tidak memikirkan masa depan kaum muda, kecuali masa depan anaknya sendiri. Sementara 50% dari Rumah Tangga yang belum memiliki rumah berasal dari Generasi Millenial dan Z (HREIS, 2021), kaum muda hidup lebih lama (dan sakit lebih panjang) untuk merasakan dampak krisis iklim dan pencemaran udara. Ketidakadilan antar generasi dalam konteks krisis iklim di perkotaan Indonesia terus terjadi, ketika para penguasa dan pengambil kebijakan yang jelas jauh lebih tua, terus mengambil keputusan yang merugikan masa depan, seperti pemihakan kepada energi fosil, pembiaran ketergantungan pada kendaraan pribadi, minimnya dukungan nyata dalam transporatasi massal, hingga krisis perumahan terjangkau terutama yang berlokasi di tengah kota. Keputusan demi keputsan diambil dengan tidak menempatkan hak asasi generasi muda dan generasi yang akan datang

Kaum muda Jakarta dihadapkan pada pilihan calon kepala daerah yang mengusulkan mobil curhat keliling untuk mengatasi isu kemacetan, jalur sepeda layang, pasang AC di halte Transjakarta bagi pengguna TJ yang terpaksa menunggu lama (alih-alih menyediakan lebih banyak bus dan sterilisasi jalur), hingga solusi awan kinton ala Dragon Ball sebagai upaya pengendalian banjir. Jakarta harus memilih antara calon-calon yang seksis dan percaya teori konspirasi. Harus memilih antara yang mengusulkan apartemen mengangkangi jalan dan hendak melanjutkan Giant Seawall, tidak tahu kalau Program  RPTRA di Jakarta masih ada dan meracau soal pendapatan pajak DKI (3000 Triliun?), hingga menggratiskan sewa Jakarta International Stadium yang sebagian pembiayaan pembangunannya berasal dari hutang Dana PEN.

Salah satu calon yang memiliki latar belakang terdekat dengan isu perkotaan seperti Ridwan Kamil malah sibuk dengan urusan kosmetik dan rencana Dubainisasi Jakarta Utara. Ini menunjukkan latar belakang arsitektur dan desain urban tidak otomatis mampu memahami masalah kompleks dan berpikir koheren untuk menyajikan solusi perkotaan yang fundamental. 

Suramkah masa depan Jakarta dan juga kota-kota lain lima tahun ke depan? Sudah darurat? Apakah kita, warga kota bukan dari kalangan elit, baik yang muda dan tua rela menyerahkan masa depan kota kita pada individu-individu seperti yang terjadi pada calon-calon kepala daerah di Jakarta?

Lalu kita bisa apa?

Tentu kita tidak bisa menunggu Ratu Adil. Kalaupun ada Juru Selamat, jangan-jangan Dia baru akan muncul di hari kiamat. Jika UN Habitat mengharapkan kaum muda untuk terlibat dan beraksi demi membentuk masa depan kota yang lebih baik, maka mau tak mau memang kaum muda harus merebut hak atas kota dari para elit oligarkis. 

Apa itu hak atas kota? Kita bisa mendefinisikannya sebagai hak seluruh warga baik dalam masa kini dan masa depan, untuk mendiami, tinggal, memanfaatkan dan memproduksi kota yang adil, inklusif dan lestari. Pada hak tersebut melekat tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan kota yang lebih baik dimana rakyat mengklaim, mempertahankan dan mendorong pemenuhan hak atas kota. 

Bagaimana cara merebutnya? Masih ada harapankah bagi masyarakat biasa di tengah proses politik buruk dan menurunnya kualitas demokrasi ini? Kita bisa mengambil inspirasi dari kota-kota Spanyol seperti Barcelona dan Madrid. Sebelum 2015, selama 40 tahun, hanya ada 2 partai politik yang menguasai lansekap politk nasional maupun lokal. Rangkaian krisis global dan nasional di Spanyol membawa perubahan mendasar pada politik lokal, terutama pasca krisis keuangan global 2008 yang mendorong terjadinya krisis perumahan di Spanyol. 

Untuk pertama kalinya dalam hampir empat puluh tahun demokrasi Spanyol, kota-kota besar di negara tersebut tidak lagi akan dikuasai oleh 2 partai besar: Partido Popular (PP) dan Partido Socialista Obrero Español (PSOE), atau kekuatan politik mapan lainnya, melainkan oleh kekuatan kolektif lokal munisipalitas seperti Ahora Madrid, Barcelona en Comú, dan Cádiz Sí Se Puede, dan lain-lain. Fenomena ini disebut sebagai Munisipalisme

Munisipalisme adalah sebuah konsep yang menekankan pentingnya pemerintahan lokal atau kota (municipal) dalam menjalankan otonomi politik, sosial, dan ekonomi untuk kepentingan warga setempat. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap sentralisasi kekuasaan di tingkat nasional dan global, dan bertujuan untuk memperkuat demokrasi lokal dengan memberdayakan komunitas dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka.

Munisipalisme di Barcelona terjadi melalui sebuah platform warga yang mengambil alih pemerintahan kota pada tahun 2015 dan disebut Barcelona en Comu, atau singkatnya Comu, dipimpin oleh Ada Colau, seorang aktivis hak perumahan. Gerakan ini lahir dari aktivisme sosial akar rumput, terutama berpusat pada hak perumahan, yang terinspirasi oleh gerakan Indignados 2011 di Spanyol (juga dikenal sebagai gerakan 15M), yang menentang kebijakan pemotongan anggaran di sektor perumahan dan menyoroti ketidaksetaraan sosial.

Ada Colau, sebagai pemimpin dari Platform for People Affected by Mortgages (PAH), memperjuangkan orang-orang yang menghadapi penggusuran selama krisis keuangan 2008. Ketika Comu berkuasa, tujuannya adalah untuk menantang politik tradisional dan menerapkan demokrasi langsung. Gerakan ini bertujuan untuk mendesentralisasikan kekuasaan, memungkinkan warga memiliki suara lebih kuat dalam pemerintahan melalui majelis lingkungan dan proses partisipatif.

Salah satu keberhasilan awal yang penting adalah dalam kebijakan perumahan, di mana pemerintah era Colau berusaha meningkatkan perumahan terjangkau dan menerapkan regulasi ketat terhadap Airbnb untuk mengendalikan gentrifikasi. Mereka juga berfokus pada peningkatan layanan publik, investasi dalam kesejahteraan sosial, dan menciptakan ruang perkotaan yang berkelanjutan secara lingkungan. Di bawah kepemimpinan Colau, pengeluaran sosial meningkat secara signifikan, mencerminkan komitmen pemerintahannya terhadap keadilan sosial​. 

Capaian lain termasuk mobilitas, bagaimana Colau mampu mengembangkan sistem grid di Barcelona menjadi kesempatan untuk mengembangkan permukiman bebas kendaraan bermotor, sehingga menghidupkan trotoar dan menjadi surga bagi pejalan kaki dan pesepeda. Penerapan kebijakan tersebut kerap disebut sebagai Superblock

Jalanan Barcelona. Foto oleh Marek Lumi – Unsplash

Saatnya berserikat dan merebut hak atas kota secara terorganisir

Perubahan progresif seperti yang terjadi Barcelona melalui Comu dan Ada Colau bagai pepatah “Habis gelap, terbitlah terang”. Alih-alih warga kota kritis menjadi apolitis dan menyerah melihat kondisi buruk demokrasi di kota serta sulitnya hidup layak, kelompok masyarakat yang kritis berkonsolidasi, mengorganisir dan akhirnya bangkit menguasai balai kota di luar dari partai politik konvensional. 

Proses Pilkada Jakarta yang buruk memang bisa membuat warganya menjadi apatis, namun bisa juga sebaliknya. Dalam waktu dekat memang warga Jakarta hanya dihadapkan pada 3 pilihan buruk, selagi mununggu pilihan yang keempat, yaitu penghadiran kotak kosong di seluruh Pilkada. Kesuraman dan setting-an elit tersebut hanya bisa dilawan jumlah, dan jumlah tersebut ada pada warga. Sama seperti kekuatan “Peringatan Darurat” yang menyeruak di berbagai kota dan berhasil membatalkan agenda revisi UU Pilkada, maka kekuatan bersama warga Jakarta lah yang bisa mengimbangi rencana elit ini. 

Sesungguhnya PR terbesar bukan soal memilih pada tanggal 27 November 2024, melainkan bagaimana mempersiapkan kekuatan warga yang mandiri dan lepas dari kepentingan elit selama 5 tahun ke depan. Bagaimana menjadi kritis terhadap calon pemimpin yang jelas tidak akan bekerja untuk kepentingan warga? Bagaimana “menggolkan” kepentingan warga di saat elit hanya menggunakan warga sebagai kosmetik. Dan akhirnya, apakah mungkin warga bersatu dan bekerja bersama dan akhirnya menghadirkan calon yang murni dari, untuk dan oleh warga. 

Rujak bersama dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat sipil seperti Jaringan Rakyat Miskin Kota, Urban Poor Consortium, Salam Empat Jari, Lab Tanya, Rimpang dan Arsitek Kampung Urban, baru-baru ini memulai upaya untuk menggalang kekuatan agar warga berkonsolidasi, dan menyusun agenda bersama untuk lima tahun ke depan. Dan kolaborasi serta jaringan ini membutuhkan lebih banyak dan terbuka pada berbagai kelompok, organisasi dan masyarakat yang sama-sama ingin Jakarta menjadi adil dan lestari. Suatu Koalisi Warga untuk masa depan kota yang lebih baik. 

Jika pada Hari Habitat ini kaum muda diajak untuk terlibat dan beraksi, maka beraksilah untuk kepentingan kaum muda sendiri terutama untuk masa depan kota. Rebutlah masa depan kota kalian. Aksi tersebut tidak bisa sendiri, namun harus berjejaring dan terkonsolidasi serta egaliter. Agar aksi tersebut berkelanjutan, maka aksi tersebut haruslah selfless dan memajukan tujuan bersama. Tujuan seperti layanan transportasi massal yang terintegrasi, udara bersih, akses air bersih bagi semua, hunian layak di tengah kota, hingga pengurangan sampah dan masih banyak hal lainnya. Maka, kita ubah kemarahan bersama terhadap proses Pilkada yang di luar nurul ini dengan mulai berorganisasi, berkumpul dan memperluas dukungan untuk mencapai tujuan kolektif bersama, yaitu masa depan kota kita yang lebih baik, adil dan lestari. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *