Hilangnya Tanah, Hilangnya Hak: Mencari Tenurial baru di tengah Krisis Iklim

Krisis iklim saat ini diakui sebagai salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia. Dalam upaya global untuk mengatasinya, terdapat tiga pilar utama yang menjadi fondasi dari aksi iklim: mitigasi, adaptasi, dan kehilangan serta kerusakan (Loss and Damage). Sementara mitigasi berfokus pada pengurangan emisi gas rumah kaca untuk membatasi pemanasan global dan adaptasi bertujuan untuk menyesuaikan infrastruktur dan kebijakan guna menghadapi dampak krisis iklim, Loss and Damage menangani dampak yang tidak dapat dihindari atau dipulihkan meskipun mitigasi dan adaptasi dilakukan.

Loss and Damage telah muncul sebagai pilar ketiga dalam kebijakan krisis iklim, mencakup konsekuensi yang tidak dapat ditangani hanya dengan mitigasi atau adaptasi, seperti hilangnya tanah akibat naiknya permukaan laut, kehancuran akibat rob dan abrasi yang berulang, atau hilangnya budaya dan mata pencaharian yang tak tergantikan. Loss and Damage sendiri mengakui kerusakan dan kehilangan yang dapat dinilai maupun non-ekonomis. Dengan demikian, hubungan antara mitigasi, adaptasi, dan Loss and Damage menjadi sangat erat. Mitigasi bertujuan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari krisis iklim, sementara adaptasi memastikan bahwa masyarakat dapat beradaptasi dengan perubahan yang tidak dapat dihindari. Namun, ketika dampak-dampak tersebut tidak dapat diatasi melalui dua strategi ini, Loss and Damage datang sebagai langkah terakhir untuk memberikan solusi, termasuk dalam bentuk kompensasi atau dukungan internasional bagi negara dan komunitas yang paling rentan.

Krisis Iklim: Dari Kehilangan dan Kerusakan Hingga Tanah yang Tenggelam

Bagi banyak pulau kecil dan komunitas pesisir, hilangnya tanah akibat naiknya permukaan laut dan cuaca ekstrem adalah salah satu bentuk kehilangan dan kerusakan terkait iklim yang paling parah. Ketika air laut mengklaim tanah mereka, komunitas ini menghadapi kehancuran total atas rumah, mata pencaharian, dan cara hidup mereka.

Desa Timbulsloko 2005 (kiri) dan 2024 (kanan)

Fenomena ini bukanlah hal yang abstrak. Di Indonesia, tempat-tempat seperti Tirtomoyo di Semarang, Timbulsloko di Demak dan Pekalongan di pesisir utara Jawa telah mengalami kehilangan tanah yang signifikan. Di Tirtomoyo, kawasan yang dulunya sawah telah berubah menjadi laut. Sedang di Timbulsloko, sebagian besar wilayah telah berubah menjadi air akibat erosi pantai dan banjir rob, memaksa keluarga-keluarga pindah dan mengancam mata pencaharian lokal. Pesisir Pekalongan, yang dulu merupakan pusat ekonomi masyarakat lokal, telah melihat lingkungan-lingkungan yang seluruhnya tenggelam, memaksa penduduk meninggalkan rumah mereka dan pindah ke pedalaman. Di wilayah-wilayah seperti ini, tenurial tanah yang aman—hak hukum untuk memiliki atau menggunakan tanah—semakin terancam karena tanah itu sendiri menghilang.

UNCLOS dan Tanah yang Tenggelam: Kesenjangan dan Peluang Hukum

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) adalah kerangka kerja internasional utama yang mengatur kedaulatan negara atas hak dan kewajibannya terhadap wilayah laut, batas-batas maritim, dan penggunaan sumber daya laut. Sekalipun berkaitan erat dengan wilayah teritorial suatu negara, namun, UNCLOS tidak secara eksplisit mengatur mengenai tanah yang tenggelam akibat peningkatan muka air laut akibat krisis iklim. Seiring dengan naiknya permukaan laut dan memburuknya erosi pantai, ketidakpastian hukum tentang status wilayah yang tenggelam semakin meningkat.

Indonesia meratifikasi UNCLOS pada 3 Februari 1986 melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985, yang menjadikannya sebagai negara yang terikat pada hukum laut internasional ini. Sejalan dengan perkembangan kajian hukum internasional sebagai bentuk respons atas berbagai permasalahan yang timbul akibat krisis iklim, UNCLOS tidak luput dari perhatian, khususnya bagaimana ketentuan Pasal 5 yang mengatur mengenai garis pangkal (baseline) sebagai elemen penting dalam penetapan wilayah maritim suatu negara dianggap belum mampu kepastian hukum yang cukup di tengah ancaman krisis iklim. Dalam konteks tanah yang tenggelam, kenaikan muka air laut yang telah terbukti mampu “mengusir” kehidupan manusia, ketentuan Pasal 121 ayat (3) juga dianggap mengancam kedaulatan teritorial dan ekonomi khususnya pada negara kepulauan seperti Indnonesia.Bagi negara-negara seperti Indonesia yang menghadapi risiko besar karena ribuan pulaunya, kesenjangan hukum ini bukan hanya mengancam keutuhan teritorial saja, namun juga menciptakan ketidakpastian tentang kemampuan untuk mengklaim hak atas tanah yang tenggelam.

Pentingnya Tenurial yang Aman dalam Menghadapi Tenggelamnya Tanah

Tenurial tanah yang aman sangat penting dalam konteks Loss and Damage, terutama bagi komunitas yang berisiko kehilangan tanahnya akibat naiknya permukaan laut. Tanpa kepemilikan hukum yang jelas, penduduk di wilayah-wilayah seperti pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu, Muara Gembong di Bekasi, Muara Angke di Jakarta, pesisir Demak seperti Kampung Timbulsloko dan sebagian pesisir Pekalongan tidak hanya berisiko kehilangan tempat tinggal tetapi juga menghadapi kesulitan dalam mendapatkan kompensasi atau dukungan untuk relokasi.

Dalam banyak kasus, ketidakamanan bermukim menyebabkan hasil yang tidak adil, karena individu yang terpaksa pindah akan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk membangun kembali kehidupan mereka. Sistem tenurial yang aman menyediakan dasar untuk kompensasi, yang mengakui kerugian ekonomi dan budaya yang terkait dengan tanah. Selain itu, sistem ini memungkinkan penduduk untuk bernegosiasi terkait penguasaan aset, memastikan mereka memiliki suara dalam keputusan tentang masa depan mereka, termasuk kemungkinan relokasi.

Namun, sistem tenurial tradisional mungkin tidak lagi berlaku ketika tanah itu sendiri tenggelam. Ini menimbulkan kebutuhan akan sistem tenurial baru yang dapat mengakomodasi realitas krisis iklim.

Kebutuhan Sistem Tenurial Baru untuk Tanah yang Tenggelam

Seiring dengan meningkatnya hilangnya tanah di Indonesia akibat naiknya permukaan laut, sangat penting untuk mengembangkan kerangka hukum baru untuk tanah yang tenggelam. Beberapa pendekatan potensial meliputi:

  1. Mempertahankan Hak atas Zona Maritim: Di bawah Pasal 76 UNCLOS, negara-negara pesisir mempertahankan hak atas sumber daya di landas kontinen meskipun tanah di atas air hilang. Indonesia dapat mendorong ketentuan serupa diterapkan pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan wilayah pesisir. Ini akan memungkinkan wilayah untuk mempertahankan penguasaan dan pemanfaatan atas tanah yang tenggelam dan sumber daya lautnya, menjaga manfaat ekonomi bagi komunitas yang terkena dampak.
  2. Pengakuan Terhadap Pengungsi Iklim: Konteks pengungsi iklim perlu dikembangkan lebih lanjut, dengan tak hanya mempertimbangkan Hukum internasional, tapi juga membuka kemungkinan pada pengungsi iklim lokal. Bagi komunitas seperti di Timbulsloko dan Pekalongan, ini dapat berarti pembentukan kerangka hukum yang menjamin hak untuk relokasi dan kompensasi, meskipun tanah asal mereka tidak lagi dapat dihuni.
  3. Penarikan Teratur dan Pertukaran Tanah: Negara-negara yang menghadapi hilangnya tanah secara signifikan dapat mengeksplorasi pertukaran tanah atau perjanjian dengan daerah tetangga untuk merelokasi populasi yang terkena dampak. Pemerintah juga dapat terlibat dalam penarikan teratur, sebuah strategi di mana penduduk secara bertahap dipindahkan ke daerah yang lebih aman dengan dukungan hukum dan finansial yang memadai.
  4. Ketentuan Hukum Baru untuk Wilayah yang Tenggelam: Indonesia dapat mendorong pembentukan ketentuan internasional baru di bawah UNCLOS yang secara eksplisit mengakui hak negara dan individu atas tanah yang tenggelam. Ini dapat melibatkan pengakuan hukum atas sistem tenurial maritim, memastikan bahwa komunitas mempertahankan ikatan ekonomi dan budaya dengan wilayah yang dulu milik mereka, meskipun wilayah tersebut tidak lagi di atas air.

Dalam kasus Timbulsloko di Kabupaten Demak, komunitas lokal telah mengalami loss and damage yang signifikan. Sebagian besar wilayah pesisir mereka telah tenggelam, dan penduduk terus menderita akibat abrasi, penurunan tanah dan bercampur dengan banjir rob yang sering terjadi, yang mengancam rumah dan mata pencaharian mereka. Meskipun ada berbagai intervensi pemerintah, seperti pembangunan tanggul (walau pada lokasi yang tidak tepat dan terkontestasi) dan penanaman mangrove, langkah-langkah ini hanya memberikan bantuan sementara. Pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan untuk mengatasi hilangnya tenurial tanah yang aman dan menawarkan solusi hukum dan finansial untuk relokasi atau adaptasi.

NCICD Tahap A yang Rubuh (2020)

Begitu juga di Pekalongan, sebagian besar tanah telah hilang akibat banjir rob. Penduduk yang telah tinggal di sana selama beberapa generasi mendapati diri mereka terpaksa meninggalkan rumah mereka seiring naiknya air laut. Banyak dari mereka tidak memiliki tenurial yang aman, yang menyulitkan mereka untuk mendapatkan kompensasi atau opsi perumahan alternatif. Ketika tanah mereka menghilang, mereka terjebak dalam ketidakpastian hukum, tanpa jalur yang jelas menuju pemulihan atau perumahan yang aman di tempat lain.

Kompensasi, Penguasaan Aset, atau Relokasi: Langkah ke Depan

Seiring dengan Indonesia yang menghadapi tantangan ini, beberapa masalah kunci harus ditangani:

  1. Kompensasi: Komunitas yang terkena dampak harus mendapatkan kompensasi atas hilangnya tanah, rumah, dan mata pencaharian. Kompensasi tidak hanya mencakup kerugian ekonomi tetapi juga dampak budaya dan sosial dari pengungsian, karena komunitas kehilangan hubungan mereka dengan tanah leluhur.
  2. Penguasaan Aset: Komunitas harus memiliki hak suara dalam pengelolaan aset—baik tanah maupun sumber daya laut—setelah tanah mereka tenggelam. Ini termasuk memberikan kendali kepada populasi yang terkena dampak atas proses pengambilan keputusan terkait relokasi, kompensasi, dan akses ke sumber daya laut.
  3. Relokasi: Pilihan relokasi adalah pilihan sulit, dan sebaiknya muncul dan tumbuh dari kehendak masyarakat terdampak, dan bukannya proses top down. Namun, jikapun relokasi terpilih, maka kita tetap memerlukan sistem tenurial baru harus memastikan bahwa penduduk yang dipindahkan diberikan hak tanah yang aman di tempat tinggal baru mereka, dan bahwa proses relokasi dilakukan secara adil, transparan, dan sensitif terhadap budaya.

Tanah Musnah: Kesempatan Perampasan Tanah?

Sesungguhnya Pemerintah, lewat Kementerian ATR/BPN telah mengakui keberadaan tanah tenggelam tersebut. Pemerintah menyebutnya sebagai Tanah Musnah. Bahkan, Kementerian telah mengeluarkan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2021, yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 2024, yaitu tentang tata cara penetapan Tanah Musnah. 

Tanah Musnah adalah meliputi Bidang Tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam, tidak dapat diidentifikasi lagi, dan tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Secara umum, Tanah Musnah ini mencakup definisi kejadian ketertenggelaman tanah akibat krisis iklim, abrasi maupun penurunan tanah. Hak atas tanah tersebut akan dihapuskan, baik bagi tanah yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. 

Hanya, ada ancaman yang muncul dari penetapan Tanah Musnah ini. Dalam kasus rekonstruksi atau reklamasi yang dilakukan setelah penetapan tanah musnah, ada ketentuan penting terkait pihak yang dapat memperoleh hak baru atas tanah tersebut.

Jika pihak yang melakukan rekonstruksi atau reklamasi adalah pemilik awal atau pihak yang berkepentingan (misalnya pemilik lahan sebelum tanah ditetapkan musnah), maka mereka memiliki hak prioritas untuk mendapatkan kembali hak atas tanah tersebut setelah proses reklamasi atau rekonstruksi selesai. Namun, jika tanah musnah tersebut direklamasi oleh pihak ketiga, seperti perusahaan atau pemerintah yang melakukan reklamasi secara kolektif atau dengan investasi yang besar, hak baru atas tanah yang dipulihkan tersebut akan diberikan kepada pihak yang melakukan reklamasi, kecuali ada kesepakatan atau kebijakan lain dari pemerintah setempat yang mempertimbangkan hak-hak pemilik lama.

Ini berarti, pihak yang melakukan reklamasi atau rekonstruksi atas tanah musnah berhak untuk mendapatkan hak baru atas tanah tersebut, terutama jika tidak ada klaim aktif dari pemilik sebelumnya atau jika proses reklamasi dilakukan oleh pihak ketiga dengan investasi yang signifikan​. Sementara itu proses rekonstruksi dan reklamasi harus dilakukan dalam tempo waktu enam bulan setelah ijin diberikan. Tentu saja persyaratan dan kondisi yang ada dalam Peraturan mempersulit kelompok warga miskin seperti di sepanjang Pesisir Semarang Demak. Namun di sisi lain, peraturan tersebut adalah makanan sehari-hari perusahaan real estate/developer besar, termasuk kapasitas permodalannya dalam melakukan reklamasi dan rekonstruksi. 

Peraturan dan pengakuan terhadap Tanah Musnah pada akhirnya tidak memberikan keamanan tenurial baru kepada masyarakat pesisir yang terancam tenggelam. Justru dengan narasi Giant Sea Wall sepanjang Jawa, dimana Presiden baru sedang berwacana untuk meminta investasi dari China, maka risiko perampasan tanah masyarakat pesisir semakin nyata. Alih-alih mendapatkan ganti rugi akibat kehilangan dan kerusakan (Loss and Damage), warga di kampung seperti Timbulsloko malah terancam tergusur paksa dan terusir lewat mekanisme Tanah Musnah, demi reklamasi Giant Sea Wall Pantura. 

Hilangnya tanah yang tenggelam seiring dengan krisis iklim menyisakan banyak persoalan dan tantangan ke depan. Baik kesenjangan hukum dalam pengaturan internasional melalui UNCLOS hingga ragam bentuk intervensi pemerintah nasional hingga lokal menekankan bahwa persoalan tanah yang tenggelam dan loss and damage akan menjadi isu sentral bagi negara-negara seperti Indonesia. Sementara itu, Indonesia masih memiliki banyak PR terkait keamanan tenurial akibat loss and damage. Pilihan yang ada, seperti Tanah Musnah, belum cukup memberikan keamanan tenurial dan berpotensi pada penggusuran paksa. Sementara pilihan relokasi bagi pengungsi iklim seperti di Pekalongan, masih sangat tergantung pada upaya inkrimental dan advokasi. Di tengah itu semua, keamanan tenurial perlu menjadi prinsip dalam setiap wacana kebijakan krisis iklim untuk memastikan warga yang berketahanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *