Membedah ‘Kota Global’ dan Paradoksnya di Berbagai Belahan Dunia

Scenery of Kikukawa Bridge, Sumida-ku, Tokyo. Photo Credit : Amalia Nur Indah Sari

Pasca Jakarta tidak menjadi Ibukota lagi, ada wacana mencuat sejak tahun 2020, yaitu menjadikan Jakarta sebagai Kota Global. Apakah itu dan apa yang membedakan kota global dengan kota lainnya?

Kota-kota seperti Tokyo, New York, London, Sydney, dan Amsterdam merupakan contoh utama kota-kota global yang menonjol dengan karakteristik unik dan keunggulan mereka dalam berbagai sektor. Tokyo, misalnya, dikenal akan efisiensi tinggi dalam sistem transportasi publik serta pengelolaan kepadatan perkotaan yang memungkinkan kota ini menjadi model kota kompak. Selain itu, Tokyo berhasil menjaga identitas budaya yang kuat meski berada dalam dinamika modernisasi. Sebagai pusat bisnis internasional, Tokyo tak hanya menggabungkan inovasi teknologi dan tata kota yang efektif, tetapi juga menciptakan ruang ideal bagi warganya serta menarik investasi dari seluruh dunia.

New York juga menjadi pusat finansial dan budaya dengan pengaruh besar dalam seni, mode, dan media. Tak hanya di Amerika, juga dunia. Setiap hari, pelaku industri keuangan membuka atau menutup harinya dengan melihat indeks Wall Street. Keberagaman latar belakang kota kosmopolitan  semakin menambah daya tarik New York sebagai magnet bagi pekerja kreatif dan profesional dari seluruh dunia. “Kota yang tidak pernah tidur” ini mencerminkan daya tarik global sebagai pusat yang dinamis dan multifaset.

Sementara itu, Amsterdam menunjukkan bagaimana perencanaan kota yang progresif dapat berkontribusi pada keberlanjutan dan kualitas hidup yang tinggi. Kota ini terkenal dengan infrastrukturnya yang ramah bersepeda, pengembangan ruang hijau yang terintegrasi, serta fokus pada menciptakan ruang yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat. Untuk memperkuat daya tarik globalnya, Amsterdam meluncurkan inisiatif branding kota I Amsterdam pada tahun 2004, sebagai bagian dari upaya untuk mengubah citra kota menjadi pusat yang menarik bagi wisatawan dan profesional dari seluruh dunia.

Kampanye I Amsterdam, yang terkenal dengan slogan dan instalasi ikoniknya di depan Museumplein, berfungsi untuk menciptakan identitas yang mencerminkan keterbukaan dan keberagaman kota. Pemerintah kota bekerja sama dengan lembaga pemasaran dan warga setempat untuk memastikan kampanye ini mencakup berbagai aspek, dari acara budaya hingga pemasaran visual. Strategi ini berhasil mengangkat Amsterdam sebagai kota yang ramah dan dinamis, serta mendukung rasa kebanggaan warga lokal dan citra internasional Amsterdam sebagai pusat kreativitas dan inovasi.

Menurut Oxford Economics Global Cities Index, kota global didefinisikan sebagai kota yang memainkan peran penting dalam menghubungkan ekonomi dunia dan mampu menjadi pusat penggerak ekonomi global. Pengaruh kota-kota ini sangat luas, tidak hanya dalam hal ekonomi tetapi juga inovasi, tata kelola, keberlanjutan, dan kualitas hidup. Kota-kota global menjadi pusat keputusan penting yang mempengaruhi pasar global dan memiliki daya tarik kuat bagi talenta dari seluruh dunia, termasuk perusahaan multinasional. Kota seperti New York, London, dan Tokyo sering menduduki posisi atas dalam indeks ini karena kekuatan finansial, inovasi teknologi, dan pengaruh budaya mereka yang mendunia.

Dalam konteks globalisasi ini, para peneliti seperti Saskia Sassen dan Ananya Roy telah memberikan kontribusi besar dalam memahami dinamika kota global. Sassen, dalam bukunya The Global City, menjelaskan bahwa kota global tidak hanya sekadar entitas geografis, melainkan pusat dari jaringan ekonomi global yang kompleks dengan dampak sosial yang luas. Menurut Sassen, kota global cenderung menjadi tempat konsentrasi kekayaan yang signifikan, yang di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi namun di sisi lain memperburuk ketimpangan sosial. Kota-kota global seperti New York sering kali menghadirkan paradoks, di mana kemakmuran berdampingan dengan kemiskinan yang nyata, mencerminkan bagaimana ketimpangan sosial merupakan isu yang tak terhindarkan.

Sebagai salah satu kota metropolitan terbesar di Asia Tenggara, Jakarta mulai masuk dalam kajian Saskia Sassen mengenai global cities sebagai bagian dari jaringan ekonomi dunia yang semakin kompleks. Dalam publikasi Saskia Sassen Why cities matter, Jakarta masuk dalam berbagai parameter, walaupun pada peringkat menengah. Jakarta kalah dengan Singapura, dan juga Kuala Lumpur. Posisi tengah tersebut mencerminkan perannya yang berkembang namun masih menghadapi tantangan struktural dalam ekonomi global termasuk tantangan dari dalam dirinya seperti infrastruktur mobilitas hingga layanan dasar.  Peringkat Jakarta menunjukkan potensi besar, namun juga menyoroti kebutuhan untuk memperkuat konektivitas global dan mengatasi masalah ketimpangan sosial serta lingkungan. Jakarta, meski belum mencapai tingkat kota global seperti Tokyo atau New York, tetap menjadi pusat regional yang penting dalam ekonomi, budaya, dan politik di Asia Tenggara.

Suasana kawasan Shibuya, Tokyo. Kredit foto : Amalia Nur Indah Sari

Sementara itu, Ananya Roy menggugat narasi kota global yang sering kali berfokus pada kota-kota di Barat. Dalam penelitiannya, Roy mengangkat isu-isu di kota-kota belahan selatan dunia atau Global South, yang mengalami tantangan besar dalam hal informalitas perkotaan, krisis perumahan, dan keadilan sosial. Dari sini, ia memperkenalkan konsep Worlding Cities, di mana kota-kota di Global South—seperti Jakarta, Mumbai, dan Lagos—berjuang membangun karakter mereka sendiri di tengah konteks global yang serba cepat. Melalui Worlding Cities, Roy menunjukkan bahwa kota-kota ini tak hanya sekadar meniru model kota global dari Barat, tetapi justru mengembangkan identitas global mereka yang unik dan sesuai dengan tantangan lokal yang dihadapi.

Dalam prosesnya, kota-kota Global South tak terhindarkan dari fenomena urbanisme spekulatif, yaitu ketika tanah dan properti menjadi objek spekulasi yang menguntungkan sebagai bagian dari ambisi kota untuk menarik investasi global. Fenomena ini, yang telah dipelajari lebih lanjut oleh Ananya Roy dan Michael Goldman, sering kali berujung pada penggusuran warga lokal yang tidak mampu bersaing dengan kapital besar. Goldman, dalam Speculative Urbanism and the making of the next world class city, menjelaskan bagaimana branding kota global memicu spekulasi lahan yang masif, khususnya di kota-kota seperti Bangalore, India. Goldman menunjukkan bahwa proyek-proyek real estat komersial sering dibangun dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal, mengakibatkan penggusuran dan memperburuk kesenjangan sosial di perkotaan.

Konteks ini juga terlihat dalam penelitian terbaru oleh Helga Leitner dan Eric Sheppard yang mengkaji dinamika urbanisme spekulatif di Jakarta. Kota yang kini tengah bertransformasi untuk mengukuhkan posisinya sebagai kota global ini juga mengalami tantangan serupa, khususnya dalam menjaga keseimbangan antara investasi global dan kesejahteraan warganya. Leitner dan Sheppard mengungkapkan bahwa salah satu dampak dari urbanisme spekulatif di Jakarta adalah meningkatnya harga lahan dan properti di wilayah strategis, yang kemudian memicu pengusiran masyarakat berpenghasilan rendah dari pusat kota. Kawasan-kawasan yang sebelumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah kini menjadi lahan komersial atau perumahan mewah yang hanya dapat diakses oleh kalangan elite.

Penelitian kolektif  Leitner, Goldman, Sheppard dan lain-lain di Jakarta dan Bengalore juga menggarisbawahi bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran di Jakarta dan sekitarnya, seperti proyek Transit-Oriented Development (TOD) hingga kawasan industri yang dikembangkan swasta, sering kali dirancang untuk menarik investasi tanpa memperhitungkan dampak bagi warga lokal. Kawasan Menteng Atas, seperti yang distudi oleh keduanya, dekat dengan rencana transportasi terintegrasi, justru beralih fungsi menjadi proyek real estat eksklusif yang membatasi aksesibilitas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Begitu pula proyek reklamasi pantai yang berdampak pada penggusuran komunitas pesisir yang telah menetap di wilayah tersebut selama bertahun-tahun. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan perencanaan kota di Jakarta, yang lebih berpihak pada investor, pada akhirnya memperkuat ketidakadilan sosial dan ekonomi yang ada.

Dari berbagai contoh di atas, terlihat bahwa ambisi menjadi kota global tidak hanya membawa peluang tetapi juga tantangan yang besar. Kota-kota di seluruh dunia, termasuk Jakarta, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa manfaat dari perkembangan ekonomi juga dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari buku  Worlding Cities: Asian Experiment and the Art of being Global oleh Ananya Roy, kita dapat melihat bahwa kota-kota di Global South memiliki pendekatan berbeda dalam mencapai tujuan ini, yaitu dengan membangun karakter global yang sesuai dengan kebutuhan dan realitas lokal mereka.

Pemahaman yang lebih mendalam tentang aspirasi dan kompleksitas kota global diharapkan dapat mendorong terbentuknya kebijakan perkotaan yang lebih adil dan berkelanjutan. Kota global yang ideal seharusnya mampu menyeimbangkan kepentingan global dan lokal, menciptakan ruang yang inklusif, serta memastikan bahwa keuntungan dari perkembangan ekonomi bisa dirasakan oleh semua kalangan. Pandangan-pandangan ini mengingatkan kita bahwa dalam membentuk kota-kota masa depan, inklusivitas dan keadilan harus menjadi prioritas yang tak terpisahkan dari ambisi ekonomi global.

Apakah Jakarta mampu menjadi kota global sesungguhnya? Atau dia hanya menjadi kendaraan para elit untuk melakukan praktek spekulatif seperti yang terjadi di Bengalore?

 

 

Penulis : Elisa Sutanudjaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *