Mendanai (Ketimpangan) Aksi Iklim

Desa Timbulsloko 2005 (kiri) dan 2024 (kanan). Komunitas di seluruh Indonesia sudah merasakan dampak mengerikan dari krisis iklim, salah satunya peningkatan muka air laut yang mengancam kehidupan masyarakat.

Dilabeli “finance COP,” pertemuan internasional tahunan yang membahas penanganan krisis iklim, Conference of the Parties (COP) ke-29 yang diselenggarakan di Baku, Azerbaijan diagendakan untuk menyetujui target pendanaan yang meningkatkan komitmen pendanaan saat ini sebesar  $100 miliar dolar pertahun. Pendanaan iklim (climate finance) selalu menjadi isu sentral dalam perundingan krisis iklim. Sejak disahkannya perjanjian United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) pada 1992 hingga Paris Agreement pada 2015, aspek pendanaan selalu menjadi topik perdebatan lantaran berkaitan erat dengan peran dan keadaan ekonomi negara pihak. 

Sekalipun belum ditemukan adanya definisi rigid atas pendanaan iklim, namun Standing Commitee on Finance UNFCC menyatakan bahwa pendanaan iklim merupakan aliran dana yang digunakan untuk mendanai beragam kegiatam, program, maupun proyek yang mengatasi perubahan iklim di segala sektor ekonomi, baik berupa mitigasi ataupun adaptasi di seluruh dunia. Menyadari bahwa ketimpangan emisi karbon baik yang dihasilkan antara negara maju dan negara berkembang, dalam prinsip perjanjian yang mengatur perubahan iklim, dikenal prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC) yang memiliki peranan penting dalam mengatur hak dan kewajiban pihak dalam perjanjian, tidak terkecuali dalam pendanaan iklim.

Berdasarkan pada prinsip di atas, pada Persetujuan Cancun 2010, disepakati komitmen negara maju untuk memobilisasi pendanaan iklim sebesar  $100 miliar per tahun untuk mendanai aksi-aksi iklim negara berkembang hingga 2020 yang melahirkan mekanisme Global Climate Fund (GCF). Melalui Paris Agreement 2015, kesepakatan ini diperkuat dan diperpanjang hingga 2025. Gagal tercapai pada 2020, target $100 miliar baru pertama kalinya tercapai pada tahun 2022 dengan total $115,9 miliar. Pada momen COP 29, negara-negara pihak akan menetapkan komitmen pendanaan terbaru yang acap disebut New Collective Quantified Goal on Climate Finance (NCQG) yang akan menambah target $100 miliar untuk 2025 dan seterusnya. NCQG menjadi krusial mengingat gap yang jauh antara komitmen pendanaan saat ini dengan kebutuhan sebesar $455–$584 miliar per tahun, terlebih, mengingat penetapan target $100 miliar yang cenderung didasari oleh komitmen politik, alih-alih kalkulasi saintifik komperhensif yang benar-benar menghitung kebutuhan negara-negara berkembang. 

Pendanaan Iklim: Bentuk, Proporsi, dan Distribusi

Persoalan pendanaan iklim tidak berhenti pada kesenjangan dengan kebutuhan yang dibutuhkan negara berkembang, meskipun target tahunan tersebut tercapai pada tahun 2022, negara berkembang banyak menjumpai persoalan distribusi pendanaan iklim yang mereka terima. Dengan definisi pendanaan iklim yang begitu luwes, pendanaan iklim mencakup beragam sumber dan bentuk pendanaan, termasuk pendanaan yang bersumber dari anggaran pemerintah, hibah internasional, pinjaman institusi keuangan dunia, hingga mekanisme perdagangan dan pajak karbon. Dalam konteks dukungan finansial internasional, dukungan yang diterima negara berkembang cenderung berbentuk pinjaman ketimbang hibah, terlebih dengan dominannya pinjaman dengan bunga dengan tarif pasar yang lebih tinggi. Menurut data dari OECD, antara 2013 dan 2018, proporsi pinjaman dalam pendanaan iklim publik meningkat dari 52% menjadi 74%, sementara proporsi hibah menurun dari 27% menjadi 20%. Ketergantungan pada pinjaman ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara berkembang mengenai potensi beban utang yang terkait dengan akses ke pendanaan iklim. 

Bagi negara-negara berkembang dengan kerentanan krisis iklim yang tinggi, distribusi pendanaan iklim juga bermasalah. Saat proyek-proyek adaptasi seperti membangun infrastruktur yang tangguh dan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dianggap sebagai proyek dengan return investasi yang rendah, pendanaan iklim cenderung berfokus mendanai aksi mitigasi karena dianggap lebih menguntungkan. Secara historis, alokasi pendanaan iklim lebih banyak difokuskan pada mitigasi daripada adaptasi. Sebagai contoh, pada 2013–2014, hanya 16% dari pendanaan iklim global diarahkan untuk adaptasi, sementara 77% digunakan untuk proyek mitigasi. Bagi negara-negara seperti negara kecil kepulauan (small island developing states), ketidakseimbangan ini telah lama menjadi perhatian bagi negara-negara berkembang yang menghadapi ancaman iklim langsung seperti peningkatan muka air laut dan meningkatnya bencana cuaca yang ekstrim.

Pendanaan Iklim dan Ketimpangan Multi-Skala

Pada laporannya mengenai pendanaan iklim, media asal Jerman, Deutsche Welle (DW) menemukan bahwa negara-negara kurang berkembang (least developed countries) menghadapi tantangan besar untuk dapat mengakses kanal-kanal pendanaan iklim. Nyatanya, temuan DW menemukan bahwa di antara negara-negara berkembang pun, negara berkembang dengan kategori pendapatan tinggi memperoleh pendanaan iklim per kapita yang lebih tinggi ketimbang kategori pendapatan lainnya. Dengan karakteristik dominan dukungan finansial berupa pinjaman dengan bunga tinggi, negara-negara kurang berkembang mengalami kesulitan untuk mengakses pinjaman tersebut dikarenakan kapasitas fiskal yang terbatas. Ketika pun mereka hendak mengajukan pinjaman, persyaratan yang didesain oleh institusi finansial internasional dianggap terlalu rumit dan sangat sulit untuk dapat dipenuhi oleh mereka. 

Selain ketimpangan pada lanskap internasional, ketimpangan dalam pendanaan iklim juga terbentuk pada skala nasional hingga lokal. Saat emisi karbon yang dihasilkan oleh 1% populasi terkaya di dunia melebihi emisi karbon yang dihasilkan oleh 66% termiskin (Oxfam 2023), banyak aksi-aksi iklim justru gagal menyelamatkan kelompok ekonomi lemah dan malah memperkaya kalangan kelas atas. Bryant dan Webber memperlihatkan bagaimana obligasi hijau (green bonds) yang dikeluarkan mendanai infrastruktur perkotaan di New York dan Cape Town, bukan hanya memperparah ketimpangan sosio-spasial yang ada, namun juga ikut berkontribusi pada meningkatnya beban pajak dan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat (Bryant dan Webber 2024). Selain itu, mereka turut mengilustrasikan bahwa proyek infrasturktur berketahanan yang didanai pinjaman institusi finansial internasional seperti seperti Jakarta Urban Flood Mitigation Project (JUFMP) and the National Capital Integrated Coastal Development/ Great Garuda Sea Wall (NCICD/ GGSW) di Jakarta berpotensi menggusur banyak sekali kampung-kampung di Jakarta (Bryant dan Webber 2024).

Di tengah kebutuhan atas pendanaan iklim yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, pemahaman dan aksi kolektif untuk memperoleh pendanaan iklim yang didorong kepentingan publik menghadapi krisis iklim menjadi penting. Maka dari itu, Rujak Center for Urban Studies hendak mengadakan kelas yang mengambil tema “(Urban) Climate Finance Workshop: Understanding the Gap,” kegiatan ini difokuskan untuk memperdalam pengetahuan dan mengembangkan kemampuan aktivis, profesional, mahasiswa, dan pemangku kepentingan  lainnya dalam lanskap pendanaan iklim, khususnya dalam mengatasi peluang dan tantangan bagi kota-kota di Indonesia. 

Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan ini, sila nantikan di kanal sosial media kami.

 

Penulis: Dzaki Darmawardana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *