COP 29 Baku yang berlangsung sepanjang November 2024 terkenal dengan sebutan “Climate Finance COP”. Setelah COP 28 Dubai yang banyak berbicara komitmen dan pengoperasionalisasian Loss and Damage Fund (termasuk Global Stocktake), COP 29 bertujuan untuk mempercepat alokasi pembiayaan yang diperlukan guna menghadapi dampak perubahan iklim, terutama di negara-negara berkembang. Namun, dalam berbagai pembicaraan kerap hanya berfokus pada level nasional, sementara kota (atau kerap disebut sebagai subnational), sering terabaikan dalam diskusi dan perencanaan. Padahal kota bisa menjadi garis terdepan dalam menjawab tantangan krisis iklim.
Delegasi Indonesia untuk COP29 ini dipimpin oleh adik Presiden Prabowo Subianto. Selain rentan dengan isu konflik kepentingan, dalam pidatonya di COP 29 di Baku, Hashim S. Djojohadikusumo, menegaskan komitmen Indonesia untuk melanjutkan aksi iklim ambisius yang telah dirintis. Ironisnya, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 8% per tahun, dengan iming-iming memastikan pembangunan yang hijau dan inklusif. Dalam pidatonya tidak ada kejelasan bagaimana Indonesia bisa lepas dari energi kotor seperti PLTU yang bersumber dari batu bara. Indonesia berencana menambah kapasitas pembangkit listrik sebesar 100 gigawatt dalam 15 tahun ke depan, dengan 75% dari energi terbarukan seperti tenaga surya, hidro, panas bumi, dan nuklir. Selain itu, Indonesia berkomitmen merehabilitasi 12,7 juta hektar hutan terdegradasi dengan dukungan pendanaan internasional, termasuk dari Bezos Earth Fund, serta mengurangi emisi karbon dioksida hingga 1 miliar ton.
Ditambah lagi, pidato tersebut lebih menekankan pada mitigasi dan target energi, tanpa cukup menyinggung kebutuhan adaptasi khusus di wilayah perkotaan, di mana dampak perubahan iklim seperti gelombang panas dan banjir paling dirasakan oleh masyarakat miskin. Meski pertumbuhan hijau ditekankan, penting untuk memastikan bahwa strategi iklim juga mencakup pendekatan yang berfokus pada adaptasi di kota-kota, khususnya untuk kelompok miskin rentan yang paling terdampak tetapi berkontribusi jauh lebih sedikit terhadap emisi global.
Konteks Kota-Kota di Asia: Tantangan dan Peluang
Kota-kota di Asia menghadapi tantangan unik akibat urbanisasi yang pesat, kerentanan sosial-ekonomi, dan dampak perubahan iklim. Diperkirakan pada tahun 2050, Asia akan menjadi rumah bagi lebih dari 5.2 miliar, dimana sekitar 1.2 milyar orang akan bermigrasi ke kota-kota, dengan kebutuhan yang meningkat akan perumahan, air bersih, sanitasi, dan transportasi. Namun, lebih dari 60% infrastruktur yang diperlukan masih belum terbangun. Hal ini menciptakan tantangan besar tetapi juga peluang untuk membangun sistem perkotaan yang lebih berkelanjutan dan tangguh.
Sebagian besar kota besar di Asia, seperti Mumbai, Jakarta, Dhaka, dan Manila, menghadapi tantangan akibat kenaikan permukaan laut, banjir, dan gelombang panas yang lebih sering terjadi. Peningkatan suhu perkotaan seperti urban heat menjadi semakin sering dan intens, memperburuk kondisi hidup masyarakat, terutama di permukiman padat dan informal. Di kota-kota ini, suhu yang lebih tinggi dari rata-rata dapat memicu risiko kesehatan seperti dehidrasi, stroke panas, dan penyakit jantung. Permukiman informal tanpa akses ke ventilasi dan pendinginan alami semakin memperparah dampak ini.
Kesenjangan Perencanaan Iklim antara Nasional vs Kota
Selama ini, perencanaan iklim masih didominasi oleh pendekatan top-down yang dipimpin oleh pemerintah nasional, dengan keterlibatan kota-kota sebagai aktor utama yang minim. Padahal, kota-kota memiliki potensi besar sebagai pusat inovasi dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sayangnya, komunitas rentan di perkotaan, seperti masyarakat miskin kota, pekerja migran, dan kelompok marjinal, sering kali terpinggirkan dari proses perencanaan tersebut.
Laporan terbaru mengenai Nationally Determined Contributions (NDC) oleh UN Habitat yang menganalisa NDC 194 negara menunjukkan bahwa hanya 27% elemen perkotaan yang kuat. Sebanyak 66% dari NDC masih menunjukkan konten dan strategi perkotaan yang minim atau bahkan tidak ada sama sekali, mencerminkan kurangnya pemanfaatan potensi kota dalam strategi nasional untuk mengatasi perubahan iklim.
Komunitas rentan ini sering kali tinggal di permukiman informal tanpa akses ke layanan dasar seperti air bersih dan sanitasi, yang meningkatkan kerentanan mereka terhadap bencana. Selain itu, semakin intensnya suhu panas di perkotaan memperburuk kondisi mereka, terutama bagi pekerja informal yang terpapar cuaca ekstrem tanpa perlindungan memadai.
Tantangan dalam Pembiayaan Iklim: Fokus pada Mitigasi dan Skema Utang
Meskipun pembiayaan iklim direncanakan menjadi fokus utama di COP 29, kenyataannya sebagian besar alokasi dana masih terkonsentrasi pada upaya mitigasi dibandingkan adaptasi—terutama di negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sebagian besar dana yang disalurkan diberikan dalam bentuk pinjaman dengan suku bunga pasar, yang justru membebani negara-negara penerima dengan utang baru. Alih-alih menawarkan hibah atau pembiayaan berbunga rendah, negara-negara tersebut terpaksa menghadapi tantangan pembiayaan yang tidak berkelanjutan, sehingga mempersempit ruang fiskal yang diperlukan untuk merespons krisis iklim dengan efektif.
Hingga hari keempat COP 29, laporan harian dari koalisi Urban Transformation—di mana Rujak turut berpartisipasi—menyebutkan bahwa meskipun COP ini diharapkan menjadi “Climate Finance COP” untuk menemukan sumber daya bagi aksi iklim, hingga kini belum ada kemajuan berarti dalam mewujudkan komitmen finansial yang nyata. Sementara negosiasi di jalur lain terus berjalan, belum terlihat pergerakan konkret terkait pendanaan yang tersedia di meja perundingan. Kondisi ini menyebabkan ketegangan di antara banyak negara, dengan diskusi yang masih belum mencapai kesepakatan. Menariknya, perpecahan yang muncul tidak lagi terbatas pada dikotomi Global Utara dan Selatan, melainkan lebih mencerminkan posisi taktis yang lebih dinamis di berbagai alur negosiasi.
Lebih ironis lagi, hingga kini pendanaan yang seharusnya diarahkan untuk adaptasi bagi komunitas rentan di kota-kota masih jauh dari cukup. Sebagian besar dana dialokasikan untuk proyek mitigasi skala besar dan dalam rupa utang maupun pembiayaan, seperti energi terbarukan dan infrastruktur transportasi. Akhirnya tidak menyentuh kebutuhan mendesak masyarakat miskin di permukiman informal, seperti kampung kota. Akibatnya, kota-kota di Asia yang sangat rentan terhadap bencana seperti banjir dan gelombang panas tetap tidak memperoleh dukungan memadai untuk meningkatkan ketahanan lokal mereka. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang signifikan dalam upaya untuk mewujudkan keadilan iklim di level kota.
Peluang dari Deklarasi MAP COP29 untuk Kebijakan Iklim Perkotaan
Di tengah situasi yang tidak menentu ini, muncul peluang baru melalui COP29 Multisectoral Actions Pathways (MAP) Declaration to Resilient and Healthy Cities yang diusung oleh tuan rumah. Deklarasi ini bertujuan untuk meningkatkan kerja sama multisektoral dalam mengatasi tantangan iklim di perkotaan, serta menciptakan koherensi di semua upaya iklim di kota-kota, termasuk memobilisasi pembiayaan iklim untuk kota. Ini menjadi kesempatan strategis yang perlu diawasi dengan cermat, karena dapat membuka ruang bagi kebijakan iklim yang lebih inklusif terkait mitigasi, adaptasi, serta kompensasi untuk “loss and damage” di level perkotaan.
Deklarasi ini juga memberikan harapan bahwa di bawah payung inisiatif baru, strategi iklim perkotaan bisa lebih terintegrasi ke dalam NDC negara-negara, termasuk kebutuhan mendesak untuk mempercepat pendanaan iklim bagi komunitas rentan di kota. Jika dikelola dengan baik, langkah ini dapat menjadi pendorong signifikan bagi kebijakan iklim yang lebih holistik di tingkat subnasional.
Tapi apakah Deklarasi hanya menjadi lip service?
Pentingnya Adaptasi yang Berkeadilan dan Kompensasi ‘Loss and Damage’ bagi Masyarakat Miskin Perkotaan
Adaptasi iklim yang berkeadilan serta operasionalisasi kompensasi untuk “loss and damage” sangat penting bagi masyarakat miskin perkotaan yang paling terdampak oleh perubahan iklim. Data menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia menghasilkan lebih banyak emisi karbon dibandingkan 66% populasi termiskin. Ironisnya, kelompok termiskin ini justru paling merasakan dampak perubahan iklim—baik melalui panas, banjir, rob, maupun penggusuran akibat proyek adaptasi yang tidak inklusif.
Masyarakat miskin perkotaan, yang tinggal di kampung kota keraap hidup tanpa akses ke layanan dasar akibat isu legalitas dan informalitas, akhirnya makin rentan terhadap bencana iklim. Sementara negara-negara kaya dan perusahaan besar lebih mampu beradaptasi, masyarakat miskin tidak memiliki sumber daya untuk melindungi diri mereka dari dampak yang semakin memburuk. Pendanaan yang adil sangat dibutuhkan agar kota dapat memperkuat ketahanan masyarakat miskin melalui inisiatif lokal seperti pembangunan infrastruktur hijau dan penyediaan perumahan yang tahan bencana.
Lalu apa yang sungguh-sungguh diperlukan bagi transisi hijau berkeadilan yang mengutamakan kepentingan masyarakat miskin kota? Berikut rekomendasi mendesak untuk aksi iklim yang berkeadilan di kota-kota Indonesia:
- Prioritaskan kelompok rentan dalam Perencanaan Iklim Revisi NDC untuk mengintegrasikan strategi yang memprioritaskan 40% populasi kota termiskin. Aksi adaptasi harus fokus pada komunitas yang paling rentan.
- Selaraskan kebijakan perkotaan dengan Ilmu Pengetahuan dan Keadilan Sosial Kebijakan urban harus berbasis data ilmiah dan menjamin akses terhadap layanan dasar seperti perumahan, air bersih, energi, dan transportasi untuk kelompok rentan.
- Pengakuan atas solusi berbasis komunitas Dukung inovasi rendah karbon dan solusi komunitas yang hemat biaya sebagai strategi mitigasi dan adaptasi.
- Fokus pada kota-kota kecil dan sekunder Kota-kota kecil harus menjadi pendorong urbanisasi berkelanjutan dengan beralih ke energi bersih dan perencanaan yang mandiri.
- Hindari penggusuran dalam Aksi Iklim Pastikan kebijakan adaptasi tidak menyebabkan penggusuran. Lakukan penilaian risiko yang transparan untuk melindungi komunitas.
- Dokumentasi Kerugian dan Kerusakan Alokasikan dana untuk “loss and damage” bagi komunitas terdampak, memastikan dukungan langsung bagi masyarakat miskin yang terkena dampak bencana.
- Tingkatkan kapasitas kota dan desentralisasi aksi iklim Berikan dukungan keuangan dan teknis untuk meningkatkan kapasitas kota dalam aksi iklim yang terdesentralisasi, terutama dalam menghadapi tantangaan terkini seperti urban heat island
- Siapkan Kota untuk Migrasi Iklim Integrasikan strategi rehabilitasi jangka panjang untuk komunitas yang terpaksa pindah akibat perubahan iklim.
- Solusi Berbasis Alam untuk Meningkatkan Ketahanan Kota Manfaatkan solusi berbasis alam seperti penanaman pohon, taman kota, dan ruang hijau untuk mengurangi panas perkotaan, mengendalikan banjir, dan meningkatkan kualitas udara. Integrasikan infrastruktur biru-hijau untuk meningkatkan ketahanan kota secara alami.
- Pastikan Akses Pendanaan untuk Komunitas Lokal Berikan pendanaan langsung bagi inisiatif komunitas di kota untuk meningkatkan ketahanan terhadap iklim ekstrem.
Mendorong Tindakan Kolektif di Tingkat Kota dan Kelompok Masyarakat Sipil
COP 29 di Baku adalah momen penting untuk menyoroti kebutuhan pendanaan dan pembiayaan iklim yang lebih adil dan inklusif, dengan mengarusutamakan kota dan komunitas lokal, serta masyarakat sipil dalam agenda iklim global. Pemerintah Indonesia harus mulai mengakui dan fokus pada Kota-kota di Indonesia sebagai aktor utama dalam mitigasi dan adaptasi iklim, terutama karena peran mereka yang signifikan dalam mengurangi emisi dan membangun ketahanan. Jangan melulu hanya bicara insentif pajak kendaraan listrik, ekstraksi nikel, jualan karbon dan kebijakan meragukan seperti Carbon Capture Storage.
Dengan mengalokasikan pendanaan iklim langsung ke kota dan komunitas yang paling rentan, kita tidak hanya dapat mencapai tujuan iklim global tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi masyarakat perkotaan di Asia.
Penulis: Elisa Sutanudjaja