Oleh Haratua Zosran Abednego
“Jakarta tenggelam” kini sudah menjadi isu yang populer di kalangan penduduk Jakarta. Proses pengarusutamaan isu ini di kalangan publik, telah membingkai permasalahan banjir tidak lagi semata-mata sebagai proses alamiah. Banjir diperkenalkan kembali sebagai diskursus perubahan iklim dan kenaikan air laut global dalam kerangka mekanisme tata kelola baru di Jakarta. Membingkai banjir sebagai implikasi dari krisis iklim pun memperkenalkan kerangka dan mekanisme baru bagi tata kelola dan penanganannya di Jakarta.
Salah satunya adalah kehilangan serta kerusakan (loss and damage). Diperkenalkan di COP27 Mesir, dua tahun lalu, kerangka ini menyediakan skema pembiayaan untuk menghitung ongkos perubahan iklim yang selama ini ditanggung masyarakat paling terdampak —yang tidak jarang pula secara swadaya. Dalam konteks Jakarta, ini merujuk kepada biaya-biaya yang dikeluarkan masyarakat kampung pesisir Jakarta Utara untuk beradaptasi dengan ancaman tenggelam, meliputi, beberapa di antaranya: biaya mengurug rumah dan jalanan, penyediaan air kemasan karena langkanya sumber air bersih, dan tambahan bahan bakar kapal bagi nelayan akibat tangkapan yang semakin jauh.
Namun, kebutuhan skema loss and damage atas pengukuran yang akurat berisiko membuat isu perubahan iklim menjadi perkara finansial yang semata-mata menyangkut “orang dewasa” saja. Nyatanya, Jakarta tenggelam bukan cuman perkara orang dewasa. Anak-anak dan kaum muda pesisir Jakarta telah terpapar Banjir lebih prematur dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Generasi muda sekarang telah menanggung beban perubahan iklim tak terhitung yang menjelma ke dalam keseharian mereka, termasuk proses tumbuh kembang. “Kehilangan dan kerusakan” yang muncul dari banjir rob memiliki implikasi yang lebih menubuh bagi anak-anak yang menghabiskan masa kanak-kanaknya, bermain dan mengenal lingkungannya yang semakin ambivalen, jika tidak “amfibius” —antara darat dan lautan.
Bermain
Mendekati isu ketertenggelaman melalui bingkai ini, pada 15-16 September, seniman program residensi “Sinking Cities”, Haratua Zosran dan kurator dari Mekong Cultural Hub, Ashlay Yoon mengadakan lokakarya dengan 11 anak-anak dan kaum muda terdampak banjir di Jakarta Utara (selanjutnya dirujuk dengan ‘partisipan’), yakni Kampung Akuarium, Tanah Pasir, dan Kampung Muka. Proses pengikutsertaan anak-anak dan kaum muda dilakukan secara sukarela. Awalnya, kegiatan berfokus kepada anak-anak dan kaum muda Kampung Akuarium, yakni Rasya (16 tahun), Nasya (15), Fanny (15), Marcell (13), Baim (14), Arya (14), Intan (11), dan Wahyu (17). Namun, kelompok kami membesar di hari kedua setelah teman-teman mereka yang tinggal di kampung-kampung sekitar Penjaringan bergabung, seperti Geysa (15) dan Alifah (15) dari Tanah Pasir, dan Adit (15) dari Kampung Muka.
Lokakarya ini dilakukan untuk menemu-kenali isu ketertenggelaman secara lebih fenomenologis— dengan kata lain, menyelami kembali interaksi anak-anak dan kaum muda dengan lingkungan sekitarnya yang secara drastis diubah oleh tidak hanya banjir, tetapi juga respon-respon pemerintah terhadap banjir yang tidak jarang alpa mengalamatkan kebutuhan dan pengalaman mereka.
“Bermain” muncul ke permukaan sebagai konsep dan pendekatan yang partikular dalam mengalamatkan isu ketertenggelaman dari perspektif anak-anak dan kaum muda. Apabila, misal, cublak-cublak suweng mengenalkan anak-anak dengan nilai moral yang berlaku di lingkungan sosialnya, petak umpet mengenalkan anak-anak dengan lingkungan fisik, baik lingkungan binaan maupun alamiah.
Catatan konsep lokakarya
Bermain di hutan bakau, menangkap biawak, bermain di tegalan, di kebun, mencuri jagung. Memanjat pohon kelapa untuk diambil buahnya, menangkap ikan dan kepiting… berenang— melalui permainan, anak-anak memperkenalkan diri dengan lingkungan sekitarnya, bentang alam beserta perubahan-perubahannya. Mendekati isu iklim melalui konsep ‘bermain,’ krisis iklim didekap ke dalam observasi dan pengalaman yang lebih intim dan menubuh.
Maka dari itu, metode riset kreatif dan partisipatif dikerahkan untuk menemani eksplorasi konsep ini. Lokakarya dibagi ke dalam empat sesi, yakni tebak nama (menggunakan flashcard), pemetaan, photovoice/keliling kampung, dan bingo.
A. Flashcard
- Pertama, Hara dan Ashlay membagikan satu dek flashcard berjumlah 21 kartu individual (dengan beberapa duplikat, berjumlah total 30 kartu) kepada para partisipan. Masing-masing kartu didesain dari observasi dan cerita warga Kampung Akuarium untuk memuat ilustrasi bentang alam, kegiatan, habitat (flora dan fauna), dan lingkungan binaan yang karakteristik dengan dan dapat ditemui di daerah pesisir.
- Para partisipan kemudian dipisah menjadi dua kelompok dan masing-masing dibagikan 15 kartu. Di tengah aula tempat lokakarya berlangsung, tersebar kertas sobekan yang berisi deskriptor kartu dalam bahasa Inggris. Peserta diminta untuk merundingkan terlebih dahulu nama obyek di dalam kartu dalam bahasa Indonesia, sebelum kemudian menyamakan deskriptor bahasa Inggris dengan kartunya.
Walaupun sulit untuk menamai, misal, jenis ikan (yang walaupun tidak jarang mereka konsumsi), cara mereka mengenali isi kartu-kartu ternyata menunjukkan pengalaman kehidupan di pesisir yang sangat spesifik. Malahan penggunaan flashcard menguji asumsi ‘kedekatan’ masyarakat (muda) pesisir dengan ekosistem laut melampaui kemampuan menyebut nama belaka:
Ketika Baim berusaha untuk mengingat nama ikan tongkol, hal pertama yang muncul di kepalanya justru fakta bahwa ikan tongkol bisa dibeli menggunakan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Memey, yang biasa menemani ayahnya melaut, menyebut ikan patin sebagai “ikan lele gendut.” Beberapa kartu lain juga menantang keseragaman nama yang lazimnya digunakan. Memey dan Nasya menyebut mercusuar sebagai “lampu lalu lintas laut” sementara Rasya,“lampu merah laut.”
Penggunaan kartu ini juga justru berfungsi sebagai faux pas (false step) dalam mengkaji ulang bahwa objek-objek observasi tentang lingkungan bermain tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan pengalaman inderawi lainnya yang lebih partikular, seperti pendengaran dan rasa keseimbangan. Ketika mereka mencoba menamai kartu, cerita pengalaman mereka dengan objek-objek di kartu terkuak dengan sendirinya:
Rasya dan Baim mengingat kala perahu kecil yang mereka tumpangi mulai berayun-ayun dengan kencang pasca melewati “lampu lalu lintas laut,” yang mereka sebut sebagai batas antara laut tenang dengan ombak. Intan merasa angin di atas tanggul sangatlah sejuk karena berhadapan langsung dengan laut.
B. Pemetaan
- Setelah flashcard, partisipan diajak untuk memetakan kegiatan dan perjalanan yang biasanya mereka lakuan setiap harinya, mulai dari bangun sampai kembali tidur, dengan spidol warna, stiker, dan foto di atas peta. Sesi ini berfungsi untuk menjejaki indeks-indeks inderawi yang dialami partisipan setiap harinya —apa yang paling prevalen dan apa yang kini sudah hilang (akibat perubahan iklim maupun penggusuran).
- Tiga peta dengan skala berjenjang disediakan dan Kampung Akuarium berada di titik tengah. Mereka memulai penjejakan peta dengan menempel stiker berwarna yang menandakan rumah, lalu tujuan-tujuan perjalanan mereka, seperti “sekolah,” “tempat bermain,” “tempat kerja orangtua,” dan “tempat belanja/jajan.”
- Peta yang disediakan merupakan peta sekitar dua tahun lalu, yakni setelah pembangunan dua gedung susun Kampung Akuarium setelah penggusuran tahun 2016. Para partisipan langsung mengenali bahwa peta tidak lengkap (sekarang, Kampung Akuarium telah memiliki empat blok hunian susun).
Secara otomatis, partisipan langsung membandingkan rute perjalanan mereka dengan tempat-tempat bermain sebelum penggusuran, seperti tempat biasa terjun berenang, titik-titik menangkap ikan dan kepiting, tempat nongkrong yang kini sudah tidak ada, dan pohon-pohon yang sudah ditebang setelah penggusuran.
Baim dan Rasya dulu belajar berenang dengan menggunakan gabus, dari dermaga kampung (sekarang tanggul) ke kapal Pinisi yang menambat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebelum dibangunnya tanggul, Marcell dan Arya menangkap ikan dan kepiting di dermaga dekat jembatan ke arah Kampung Luar Batang. Nasya dan Memey sering bermain di dekat mobil sampah di selatan kampung dan memanjat pohon kelapa untuk mengambil buahnya.
C. Keliling Kampung
- Di hari selanjutnya, partisipan diminta untuk menunjukkan rute kegiatan mereka yang sebelumnya dibubuhkan di atas peta secara langsung. Partisipan dibagi ke dalam dua kelompok dan merundingkan rute mana saja yang hendak mereka lewati.
- Selama perjalanan, kami meminta partisipan untuk mengambil foto hal-hal yang mereka anggap menarik untuk mereka bagikan di akhir sesi.
- Untuk memudahkan, kami menyiapkan beberapa kategori foto yang dapat atau tidak mereka ikuti, ke dalam bentuk kartu Bingo.
D. Kartu Bingo
- Beberapa kategori yang kami sediakan menyerupai tema-tema yang tercantum di dalam flashcard. Namun, kini partisipan memiliki kebebasan untuk menginterpretasi tema-tema yang disodorkan sesuai dengan cerita dan pengalaman mereka masing-masing.
- Setelah perjalanan keliling kampung, partisipan berkumpul kembali ke titik awal keberangkatan dan mendiskusikan foto-foto yang mereka ambil selama keliling kampung.
- Foto-foto akan di-”evaluasi” bersama. Para partisipan akan mengirim foto yang mereka ambil ke dalam grup Whatsapp yang sudah dibuat sebelumnya, dan partisipan lain akan menilai apakah foto tersebut cocok dengan kategori yang tertera di dalam kartu bingo.
- Partisipan menjelaskan foto yang mereka ambil untuk membela diri mereka masing-masing. Ketika ditemukan konsesus dari masing-masing partisipan bahwa foto mereka “cocok” dengan kategorinya, mereka akan mencoreng kategori tersebut di kartu bingo.
- Partisipan yang berhasil mencoreng satu garis (4 kategori) di kartu bingonya diberi penghargaan.
Diskusi menarik muncul ketika foto-foto ditampilkan di layar proyektor, termasuk alasan masing-masing partisipan mengambil foto untuk kategori tertentu. Salah satu kategori yang paling menarik adalah “warisan sejarah.”
Memey, yang menghabiskan mayoritas masa kecilnya tinggal di atas kapal setelah penggusuran, memilih foto kapal ayahnya untuk kategori ini. Menurutnya, kapal ini merupakan saksi sejarah “bertahannya” warga Kampung Akuarium, termasuk ia dan keluarganya, di tengah masa penggusuran. Ketika berjalan keliling kampung, Intan mengambil foto gedung Mitra Bahari (di Jalan Pakin) untuk kategori “warisan sejarah”-nya. Menurutnya, (yang kemudian disambut oleh partisipan yang lain) gedung Mitra Bahari adalah ‘penunjuk’ (landmark) Jakarta Utara. “Kalau sudah lihat gedung Mitra Bahari, tandanya sudah sampai di Jakarta Utara,” sambut Rasya.
Refleksi
‘Bermain’ tidak jarang luput dari aspek kajian budaya yang kini mulai mewarnai diskursus perubahan iklim. Penelitian iklim cenderung mengobservasi daya adaptasi dan resiliensi masyarakat yang kasat mata dan dapat dianalisis secara material (i.e. perubahan mata pencaharian, siasat meninggikan hunian, kehilangan serta kerusakan [loss and damage]) —sebagai sumber primer dalam kajian maupun perencanaan tata kelola iklim. Kecenderungan ini alih-alih berisiko mengabaikan daya kreatif yang dapat muncul dari kelangkaan material akibat bencana iklim itu sendiri.
Program residensi Sinking Cities yang menaungi lokakarya ini menawarkan perspektif lain teresebut. Berangkat dari kerangka ICOMOS perihal proteksi warisan budaya sebagai solusi adaptasi perubahan iklim, program ini memungkinkan eksplorasi praktik kebudayaan masyarakat yang lebih mendalam dan sering kali bekerja di celah-celah kondisi ketertenggelaman.
Melalui permainan, kita diajak untuk “bermain” dengan kompleks-nya konsep ‘bertahan’ yang banyak disematkan kepada masyarakat garis-depan krisis iklim; juga bagaimana kita dapat menavigasi realitas ketertenggelaman secara lebih imajinatif. Karena membayangkan kondisi menghuni lingkungan rawan bencana nan prekariat seperti Kampung Akuarium membutuhkan dosis seimbang antara kemampuan dan daya imajinasi yang besar.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ketenggelaman merupakan realitas yang tidak dapat dihentikan, apalagi dikembalikan ke kondisi sebelumnya. Anak-anak dan kaum muda akan tumbuh menjadi dewasa di kondisi baru ini. Praktik kesehariannya akan menjadi semakin luwes dibandingkan generasi sebelumnya. Memikirkan kembali ’budaya’ di tengah ketertenggelaman menyetel kembali realitas yang berimplikasi secara temporal tersebut, baik tentang apa yang dianggap masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Maka dari itu, lokakarya ini dibentuk untuk mengalamatkan sekitar wacana ketertenggelaman dan implikasinya secara fisik kepada warga Akuarium dan anak-anak serta kaum mudanya. Setelah pembangunan tanggul, anak-anak dan kaum muda sudah semakin jarang melihat laut. Tanggul yang tinggi dan tipis membuatnya jadi rawan jatuh, dan orangtua tidak memperbolehkan mereka untuk memanjatnya.
Cerita tentang anak-anak yang tenggelam di laut depan Akuarium mulai bermunculan, padahal sebelumnya merupakan spot berenang yang lazim bagi anak-anak. Lumpur lempung mulai mengendap di laut depan kampung karena pompa air bekerja hampir tiap hari karena kecemasan akan banjir. Akibatnya, anak-anak yang lompat untuk menyelam rawan tertancap dengan kepala menujam terlebih dahulu. Para orangtua mengakui pada salah satu sesi wawancara bahwa banjir tidak pernah menjadi masalah utama di Kampung Akuarium. Sementara, banjir dijadikan alasan utama Kampung Akuarium digusur, 2016 lalu.
Di sini, masa kanak-kanak menjadi canggung. Air tidak lagi menjadi lingkungan bermain yang nyaman bagi mereka. Berenang menjadi berbahaya, ikan sudah tidak lagi ada, dan pemandangan laut tidak lagi menarik karena terhalang tembok. Ruang bermain semakin sempit dan anak-anak menjadi semakin terpaku pada gawai. Seperti tanah lempung di depan tanggul Kampung Akuarium, anak-anak menegosiasi masa tumbuh kembangnya yang terletak di patahan daratan/lautan. Dan kini, daratan menang atas lautan.
Ketika kita memikirkan hidup di tengah ketertenggelaman yang lebih aman, kadang kita mengabaikan hal-hal yang membuat tinggal di pesisir menjadi lebih bermakna. Lokakarya ini menampilkan salah satunya, yakni kemungkinan mempersepsikan laut tidak sebagai musuh, tetapi sebagai tempat bermain yang menyenangkan.
. . .
Baca juga refleksi Ashlay Yoon mengenai workshop ini di medium.