Dalam masa 100 hari kepemimpinan gubernur baru, Joko Widodo mengeluarkan wacana untuk memberlakukan sistem nomor polisi Ganjil-Genap yang akan diberlakukan di sepanjang jalur-jalur yang dilewati oleh TransJakarta. Sebelumnya, sepanjang sepengetahuan Rujak Center for Urban Studies, konsep tersebut tidak pernah diutarakan beliau disaat masa kampanye Pilkada. Kebijakan Ganjil-Genap tersebut konon dikaji berdasarkan hibah dari Australia, seperti menurut berita ini.
Kebijakan Ganjil-Genap adalah salah satu cara roadspace rationing, atau kebijakan untuk membatasi penggunaan ruang jalan. Kebijakan 3in1 itupun termasuk dalam kebijakan roadspace rationing. Beijing, di jelang dan saat Olimpiade 2008 menggunakan kebijakan tersebut dengan maksud untuk mengurangi polusi udara dan memperbaiki kualitas udara. Sementara London menerapkan kebijakan mirip namun lebih radikal, yaitu menutup beberapa akses jalan di saat Olimipade 2012.
Ada beberapa kota yang menerapkan kebijakan tersebut misalnya Athena dan banyak kota-kota Amerika Latin seperti Mexico City, Santiago, Bogota dan lain-lain. Namun apakah kebijakan roadspace rationing di kota-kota tersebut berhasil? Berdasarkan laporan riset Bank Dunia terhadap kebijakan tersebut di Mexico City, kebijakan tersebut gagal. Dalam 6 bulan justru terjadi peningkatan jumlah berkendara, dan bukannya menurun.
Dalam laporan yang berjudul Rationing Can Backfire: The Day Without A Car in Mexico City malah menunjukkan kebijakan tersebut adalah kontraproduktif, yang justru akan menimbulkan kemacetan dan meningkatnya pencemaran udara. Untuk lebih jelasnya, silakan baca kebijakan tersebut pada lampiran dibawah:
Lalu kembali menjadi pertanyaan kepada Jakarta. Tepatkah kebijakan ganjil-genap jika diterapkan di Jakarta? Ataukah dia justru membuka berbagai macam peluang dan usaha serta kreativitas warga? Atau jangan-jangan dia akan bernasib seperti kebijakan di Mexico City, yang justru mendorong warga kelas ekonomi tertentu untuk membeli kendaraan ke 2,3 dan seterusnya.
Lalu bagaimana jika kebijakan road space rationing jika tidak dibarengi dengan kebijakan transportasi umum dan tata ruang? Bukankah justru malah menjebak warga Jakarta kedalam kehidupan tanpa bisa memilih alternatif.